Polisi Bantah Siksa Tahanan Demo Rusuh di Bandung: Penganiayaan Itu Tidak Ada

2 weeks ago 22

Liputan6.com, Bandung - Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) membantah telah memperlakukan secara keji seluruh tahanan yang ditangkap dalam aksi demonstrasi 29 Agustus-1 September 2025 di Kota Bandung.

Menurut Kepada Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jabar, Hendra Rochmawan, bantahan ini diterbitkan usai Tim Advokasi Bandung Melawan yang menuding adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam proses penahanan.

"Apa yang disampaikan oleh tim advokasi Bandung itu tidak benar. Jadi ketika mereka ditahan di kepolisian, sejak pemeriksaan awal sudah kami berikan akses untuk pendamping hukum mereka. Selama pemeriksaan pun kami perlakukan mereka secara baik dan sesuai SOP," ujar Hendra dalam siaran medianya di Bandung, Jumat (26/9/2025).

Hendra mengatakan seluruh proses penanganan terhadap para tersangka dilakukan sesuai prosedur standar operasional (SOP) kepolisian, termasuk dalam hal pemberian akses bantuan hukum.

Hendra menyanggah adanya penganiayaan terhadap para tahanan. Dia memastikan bahwa tidak ada bentuk kekerasan atau penyiksaan sebagaimana dituduhkan.

"Yang dikatakan mereka selama ditahan di kepolisian ada penganiayaan itu tidak ada. Kami yakinkan hal itu bisa langsung dikonfirmasi kepada pengacara-pengacara mereka," kata Hendra.

Otoitasnya mengklaim bahwa kelompok anarko merupakan pemicu ricuhnya demonstrasi. Seluruh tahanan demo yang ditangkap, kata Hendra, mayoritas terlibat perusakan hingga provokasi yang menimbulkan kerusuhan bahkan kerusakan.

Seluruh tahanan yang ditangkap pada umumnya diatas pukul 21.00 WIB dan sebagian ditangkap karena diakun media sosialnya sering melakukan provokasi kekerasan saat demo dan langsung mengunggah tindakan anarkis.

"Proses hukum terhadap para tersangka berjalan sesuai ketentuan. Setiap kendala dalam pemeriksaan, dilakukan dengan metode konfrontasi sesuai aturan demi kepentingan pengembangan kasus, bukan dengan cara-cara di luar hukum," terang Hendra.

Polda Jabar meminta masyarakat agar tidak terprovokasi oleh informasi yang tidak terverifikasi, serta menegaskan komitmennya dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam setiap proses penegakan hukum.

Aduan Tim Advokasi Bandung Melawan

Sebelumnya diberitakan Liputan6.com, Tim Advokasi Bandung Melawan melapor ke Ombudsman Jabar terkait kasus dugaan penyiksaan polisi terhadap Ferry Kurnia Kusuma, seorang korban salah tangkap saat unjuk rasa protes tunjangan DPR RI berujung rusuh di Bandung, akhir Agustus 2025 silam.

Dugaan penyiksaan itu terjadi usai Ibu Ferry, Iyen, mendapatkan pengakuan dari anaknya yang ditahan polisi sejak Selasa (2/9/2025), saat bertemu langsung di Gedung Tahanan dan barang Bukti (Tahti) Kepolisian Jawa Barat.

Dari wajahnya, Iyen merasakan betul bagaimana kondisi psikologis anaknya saat bertemu langsung meski dibatasi dinding kaca. Badannya gemetar menandakan sang anak masih di bawah tekanan. Obrolan keduanya juga dilakukan bisik-bisik, sampai akhirnya sang ibu bertanya pelan, apakah penyiksaan di malam itu saja?

"Setiap hari juga masih disiksa, dikepretan, ditampar, sama ditendang," kata Iyen, menirukan omongan sang anak, sambil menahan tangis, Rabu (24/9/2025).

Iyen menegaskan, dirinya tidak akan pernah menerima sang anak diperlakukan dengan banyak tekanan, kekerasan, serta intimidasi verbal dan nonverbal.

Dari pertemuan singkat itu, Iyen mendapati kondisi sang anak dengan pelipis mata kanan sobek, kondisi mata kanan dan kiri lebam membiru, dua kelopak mata memerah menandakan adanya pendarahan di sepasang mata, dua tangannya gemetar, dan kondisi tubuh lesu terdampak dari mental di bawah tekanan dan disetrum.

"Menemui Kepala Unit (Kanit) bernama Jujun, dalam percakapan kami lebih memilih untuk segera membebaskan Ferry. Namun jawaban dari Kanit, 'Ibu maaf, anak ibu sudah mengakui kesalahannya. Ibu tahu tidak isi percakapan ataupun chatting anak ibu itu apa? Perihal pembebasan anak ibu, saya belum bisa memutuskan karena belum ada perintah dari atasan'," kata Iyen menceritakan.

Di lokasi yang sama adik korban salah tangkap polisi, Ivan Ferdiansyah, menjelaskan awalnya tidak memberitahu kedua orang tuanya saat mendapat kabar kakaknya ditangkap aparat keamanan.

Perhitungannya adalah jangan sampai membawa berita buruk bagi kedua orang tuanya. Namun usai menguruskan kakaknya di Kepolisian Daerah Jabar tidak kunjung berhasil, maka kedua orang tuanya pun diberitahukan informasi Ferry, kakaknya ditangkap polisi.

"Namun dikarenakan tidak ada kepastian terus menerus ketika saya di Polda dari hari awal saya ke sana, makanya kami menghubungi, memberitahu mamah dan bapak saya, bahwa kakak saya telah berada di Polda. Namun setelah sekian lama menunggu, saya merasa adik tidak menerima dan merasa seperti dimainkan. Dan ketika di sana saya sudah bertanya beberapa kali dan jawaban masih dalam penyelidikan. Entah itu penyelidikan apa, sampai saya menunggu hingga jam 3 subuh," terang Ivan.

Ivan menerangkan kepolisian juga menjanjikan akan memberikan keterangan melalui aplikasi perpesanan WhatsApp kepadanya. Tetapi usai 20 hari berlalu ucap Ivan, tidak ada kabar soal kakaknya yang kini ditahan.

Kata Tim Advokasi Bandung Melawan

Kuasa Hukum Ferry dari Tim Advokasi Bandung Melawan, Deti Sopandi, menyebutkan penyiksaan yang diderita korban salah tangkap merupakan kesewenangan polisi dalam menangani unjuk rasa protes tunjangan DPR RI berujung ricuh di Jawa Barat.

"Saya coba menginformasikan ini ada keluarga dari saudara Ferry yang memang dia salah tangkap. Dia diperlakukan sewenang wenang tidak manusiawi, martabatnya direndahkan, padahal dia hanya ingin nongkrong. Nongkrong itu kan hak semua orang, orang boleh nongkrong di mana saja boleh, enggak boleh ditangkap. Kita mendapatkan cerita dari keluarga sudah 20 hari lebih dari ditahan diperlakukan tidak manusiawi, maka kita kawal keluarga sekarang kita untuk mendesak laporan ke Ombudsman," terang Deti.

Deti mengaku timnya banyak menerima kasus salah tangkap serupa dengan seperti Ferry. Tapi beberapa keluarga yang melaporkan hal itu, ada yang enggan untuk menindaklanjuti karena pengakuan mereka kalau lapor kepolisian itu dirasakan mereka akan diabaikan dan memakan waktu.

Ada juga keluarga yang memilih sudah menganggap ini beres begitu saja tanpa ada pembelaan. Data dari posko pengaduan orang hilang dan ditahan periode 29 Agustus-1 September 2025 terdapat 60 aduan.

"Mayoritas tidak lanjut atau cuma dari ada yang Ferry saja yang keluarganya mau mengungkap kebenarannya kondisi terkait mereka. Pengaduan yang salah tangkap itu enggak hanya ada Ferry, tapi ada beberapa orang yang salah tangkap. Kita belum ada konfirmasi soal misalkan orang hilang kontak mengadu ada keluarganya ada kerabatnya temannya sampai hari ini kita belum dapat konfirmasi," tutur Deti.

Korban Salah Tangkap

Kendala yang dihadapi Tim Advokasi Bandung Melawan untuk menelusuri korban salah tangkap dan hilang saat unjuk rasa berujung ricuh itu akibat tidak diberikan keleluasaan memberikan bantuan hukum oleh kepolisian.

Ferry ditangkap saat hendak membeli rokok ke warung pada dengan 30 Agustus 2025 pukul 21.00 WIB di sekitar area parkir depan Gedung Graha Merah Putih Telkomsel Indonesia, Jalan Japati, Kota Bandung.

"Beli rokok waktu itu katanya. Beli rokok lalu disergap oleh entah siapa itu ya, entah polisi atau intel enggak tahu saya. Lalu dibawa katanya. Saya juga menerima berita itu dari adik dari anak saya. Jadi saya terus terang saja saya tidak menerima dengan adanya kekerasan dari pihak polisi itu. Maka saya mengharapkan sekali untuk bebaskanlah anak saya," harap Ayahanda Ferry.

Usai tengah hari Rabu itu, pemeriksaan dan penyerahan laporan aduan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi Polisi Daerah Jabar kepada tahanan diterima oleh petugas Ombudsman. Untuk menjaga privasi pelapor, Ombudsman Jabar menyatakan pertemuan itu tertutup. 

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |