Liputan6.com, Semarang - Ratusan triliun rupiah atau setara dengan hampir sepersepuluh APBN, musnah dalam pusaran korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari skandal Jiwasraya hingga mega-korupsi Timah yang merugikan Rp 300 triliun. BUMN seolah menjadi ladang subur bagi praktik culas.
UU BUMN terbaru menambah drama yakni dengan menyebut bahwa direksi dan komisaris bukan lagi penyelenggara negara. Kondisi ini dikhawatirkan banyak pihak akan berpotensi menjadi tameng hukum saat hendak ditindak. Atas hal ini, pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH, memperingatkan Revisi Undang-Undang KPK (RUU KPK) dan UU BUMN 2025 berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. “Revisi ini akan menjadikan kewenangan KPK dibarrier dan menempatkannya di bawah eksekutif,” katanya.
Lebih lanjut Henry mengkhawatirkan bahwa KPK tak lagi efektif dan mampu menangani kasus korupsi besar. Penyebabnya adalah dalam UU BUMN 2025 muncul pasal imunitas direksi BUMN. “BUMN ini mengelola aset negara, sehingga butuh pengawasan yang ketat," katanya.
Menurutnya dalam pembentukan hukum, seharusnya tetap berpegang pada filosofi hukum. Dan yang paling penting adalah adil. Bisa mencegah dan memberi sanksi sebuah kejahatan. “Seperti kata Plato bahwa kita harus membuat hukum untuk mengekang kejahatan, bukan menciptakan celah bagi pelaku," katanya.
UU yang baik harus transparan dan melindungi rakyat, bukan kaum elitis. Dia mendesak dilakukan pengawasan ketat.
Fakta Seputar Korupsi di BUMN
UU BUMN 2025 yang disahkan DPR pada 4 Februari 2025 memicu protes publik dan aktivis, khususnya Pasal 9G. Pasal itu menyebut secara tegas “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara.” Bersama Pasal 3X Ayat (1), pasal ini membatasi wewenang KPK atas korupsi BUMN.
Aktivis IM57+ Institute, Lakso Anindito, mempertanyakan siapa yang berhak menindak korupsi di BUMN. Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil juga menyorot tajam. Menurutnya direksi BUMN bertugas mengelola aset negara sehingga mereka adalah penyelenggara negara bukan orang swasta. "Jika bukan penyelenggara negara. Ini apa?” katanya.
Sementara itu Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Erma Rini, menyebut bahwa revisi tersebut justru akan meningkatkan transparansi dan daya saing BUMN. Hingga Mei 2025, Kejaksaan Agung mencatat 12 direktur utama BUMN yang terseret korupsi. Beberapa diantaranya sangat menonjol dan mendapat perhatian publik adalah Riva Siahaan (PT Pertamina Patra Niaga), kasus minyak 2018-2023 di korupsi timah PT Timah 2015-2022.
Lalu ada nama Heru Hidayat dan yang merugikan Rp22,78 triliun atas kasus Jiwasraya. Kemudian Emirsyah Satar di kasus PT Garuda Indonesia saat pengadaan pesawat 2011-2021. Dari yang menonjol itu saja, total kerugian Rp525,28 triliun atau setara 14,5% APBN 2025 (Rp3.621,2 triliun), dengan rincian: Pertamina Rp193,7 triliun, Timah Rp300 triliun, Garuda Rp8,8 triliun, Jiwasraya Rp22,78 triliun.
Atas hal itulah Prof Henry mendesak reformasi BUMN dan penguatan KPK. “Korupsi BUMN jelas merugikan rakyat, KPK harus makin independen agar bisa berpihak kepada rakyat selaku pembayar pajak dan pemilik uang negara,” tegasnya.