Liputan6.com, Sikka - Nasib pilu dialami Mama Martina Bala (53), warga Kampung Magesayang, Dusun Wairbleler, Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, NTT. Ia dan empat anaknya bertahan hidup di sebuah gubuk reot seluas 2,5 x 4 meter.
Gubuk reot itu berdinding pelupuh bambu yang nyaris roboh, dengan lantai tanah dan tanpa fasilitas dasar yang layak.
Rumah ini juga belum memiliki meteran listrik. Untuk penerangan malam hari, keluarga miskin ini menumpang aliran listrik dari tetangga.
Di bagian belakang rumah, dapur sederhana berdiri tanpa dinding, beratapkan seng bekas, menghadap ke arah kali kering. Untuk mandi dan buang air, mereka harus menumpang ke kamar mandi milik tetangga.
Kondisi ini telah berlangsung sejak 2019, setelah mereka pindah dari tanah milik seorang dermawan dan relawan kemanusiaan asal Belgia yang akrab disapa Mama Belgi, yang sebelumnya mempekerjakan Mama Martina sebagai pengasuh anak di Panti Asuhan milik Mama Belgi di Watublapi pada tahun 2000 sampai April 2004.
Mama Martina kemudian pindah sebagai pengasuh anak di Panti Asuhan Stela Maris Nangahure sejak Mei 2005 sampai pada Juni 2010.
Bersama anak-anaknya, Mama Martina kemudian pindah ke tanah kebun milik Mama Belgi yang berada di sebelah Jembatan Magesayang pada Juni 2010 sampai Februari 2016. Setelah tanah milik Mama Belgi itu dijual ke pihak lain, Mama Martina dan anaknya pindah tinggal di salah satu rumah kosong milik salah satu warga di Kampung Magesayang hingga September 2019.
Lewat kerja keras anak sulung Mama Martina di Kalimantan, mereka akhirnya membeli tanah berukuran 10×20 meter dan membangun rumah meski sangat sederhana.
Simak Video Pilihan Ini:
Cerita Polisi Ternak 40 Ribu Ekor Ayam, Ingin Pensiun Bahagia
Hidup dari Tenun dan Buruh Tani
Suami Mama Martina telah meninggalkannya sejak anak-anak masih kecil. Sejak saat itu, Mama Martina harus menjadi tulang punggung keempat anaknya.
Mama Martina memiliki enam anak, namun dua diantaranya saat ini mencari nafkah sebagai buruh di Kalimantan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Mama Martina dan anak-anaknya bekerja serabutan di kebun milik tetangga, menanam jagung dan ubi. Selain itu, ia juga menenun sarung yang dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam sebulan, ia mampu menghasilkan sekitar 4 lembar. Hasil penjualan digunakan untuk membeli benang, pewarna kain, dan kebutuhan pokok seperti beras.
"Sehari kami hanya makan sekali. Kalau ada beras kami bisa makan nasi, kalau tidak makan jagung goreng dengan daun ubi. Yang penting kami bisa makan,” ujar Mama Martina.
Anaknya, Ronald, juga bekerja membantu tetangga dengan mengiris pohon lontar untuk nira pembuatan moke. Ia putus sekolah saat duduk di bangku kelas VIII SMP. Sementara Oktavia, yang sempat bersekolah kelas VIII di SMP Negeri 01 Waigete, terpaksa berhenti karena keterbatasan ekonomi meski mendapatkan bantuan beasiswa PIP.
Dua anak laki-laki Mama Martina kadang harus menginap di rumah teman atau rumah keluarga terdekat karena rumah terlalu sempit untuk ditinggali bersama-sama.
Tak Ada Bantuan Pemerintah
Meski telah terdata sebagai calon penerima bantuan rumah pada Oktober 2023 lalu, hingga kini Mama Martina belum menerima bantuan apa pun dari Pemerintah Desa Hoder.
“Mereka dari kantor desa sudah datang dan foto rumah, katanya akan ada bantuan. Tapi sampai sekarang belum ada bantuan apa-apa,” keluh Mama Martina.
Ia berharap bantuan rumah benar-benar diberikan kepada keluarga yang membutuhkan, bukan justru kepada warga yang lebih mampu.
Sementara itu, Ketua RT 009, Fransiskus Nong Efendi, membenarkan kondisi mengenaskan yang dialami Mama Martina dan keluarganya. Ia mengaku sudah menyampaikan laporan kepada pihak desa, namun belum ada realisasi.
“Semoga ada perhatian dari Pemkab Sikka. Kami sebagai tetangga hanya bisa membantu sebisanya. Kasihan mereka tidur berdesakan dalam rumah yang nyaris roboh,” ucapnya penuh harap.