Liputan6.com, Yogyakarta - Pemilihan Paus baru akan dimulai pada tanggal 7 Mei 2025 setelah meninggalnya Sri Paus Fransiskus pada Senin, 21 April 2025. Dicky Sofjan, Dosen Program Doktor Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (SPs UGM) yang pernah bertemu dengan Sri Paus Fransiskus pada pertengahan tahun 2024 saat menghadiri konferensi oleh organisasi Focolare, sebuah gerakan sosial keagamaan yang berbasis di bawah naungan Vatikan memberikan kenangannya. “Satu hal yang paling membekas dari beliau menurut saya adalah kepedulian dan keterbukaannya terhadap komunitas di luar Katolik, khususnya terhadap umat Muslim,” kata Dicky di Kampus UGM, Jumat 25 April 2025.
Menurutnya Sri Paus Fransiskus selalu memiliki keinginan yang tulus untuk membangun jembatan antara komunitas Katolik dan Muslim. Terbukti dari kunjungannya ke berbagai negara mayoritas Muslim seperti di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia, dan termasuk Indonesia yang ia kunjungi tahun lalu.
Dicky juga memberikan catatan soal dokumen persaudaraan (Fraternity Document) yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Grand Syaikh dari Al-Azhar, Mesir, pada tahun 2019. Dokumen tersebut menjadi simbol penting dalam membangun kerja sama lintas agama. “Bagi saya ini merupakan lompatan teologis yang besar. Sri Paus Fransiskus juga mengakui bahwa keselamatan tidak hanya eksklusif untuk umat Katolik, tapi juga bisa diraih oleh umat agama lain,” ujarnya.
Dicky juga menyoroti intensitas kepedulian seorang pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari Sri Paus Fransiskus. Keberpihakan Sri Paus Fransiskus terhadap kaum miskin dan tertindas, termasuk apa yang terjadi dengan masyarakat Palestina sangat membekas di hati Dicky. Sri Paus Fransiskus secara konsisten mengecam agresi Israel dan selalu membela rakyat Palestina. “Ia bahkan rutin menelepon pemimpin Katolik di Gaza selama perang untuk memastikan kondisi komunitas di sana apakah aman,” kenangnya.
Terpisah, Margareta Rosemary, alumnus Prodi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA UGM) dan Mahasiswa Magister Teknik Sistem Energi Terbarukan UGM mengenang akan kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada September 2024. Ia masih ingat karena menjadi salah satu dari puluhan ribu umat yang beruntung dapat menghadiri misa akbar di Gelora Bung Karno, Jakarta, dan sempat mendapatkan rosario langsung dari Sri Paus Fransiskus.
“Saat mendengar berita duka dari Vatikan, saya tergerak membuat tanda salib. Rasa duka tentu ada, namun juga kelegaan. Dalam iman Katolik kami percaya bahwa hidup hanya diubah, bukan dilenyapkan. Kematian menjadi pintu masuk menuju sukacita abadi bersama Bapa di Surga dan para kudusNya,” katanya.
Menurut Margareta, kehadiran Sri Paus Fransiskus telah membawa pesan perdamaian, kesederhanaan, dan cinta kasih sebagai nilai-nilai yang selalu diperjuangkan sepanjang hidupnya. Paus Fransiskus juga dikenang sebagai pemimpin yang peduli pada kelestarian bumi.
Salah satu warisan pemikirannya tertuang dalam ensiklik Laudato Si’, yang ia tulis sebagai “Surat cinta” bagi seluruh umat manusia, mengajak semua orang untuk menjaga keutuhan ciptaan. Ensiklik ini menginspirasi banyak orang, termasuk Margareta, untuk mengubah gaya hidup mereka. “Saya membuat eco-enzim di kos, bersepeda ke kampus, makan sampai habis, punya barang secukupnya, dan membuat konten seputar lingkungan. Semua itu berawal dari inspirasi Bapa Suci,” ujarnya.
Bagi banyak umat Katolik seperti Margareta, Sri Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga teladan hidup. Kesederhanaan hidup yang ditunjukkan Sri Paus Fransiskus tak hanya tampak dalam ajarannya, tetapi juga dalam wasiat terakhirnya yang meminta makamnya dibuat sederhana di tanah, tanpa hiasan khusus, hanya bertuliskan “Franciscus”. Lagi-lagi, kata Margareta, keutamaan ini juga dihidupi sampai akhir. “Tugasnya di dunia sudah selesai, kini menjadi pendoa bagi kami yang masih berziarah di dunia ini. Terima kasih Paus Fransiskus, teladanmu akan terus kami hidupi dalam peziarahan ini,” ujar Margareta.