Liputan6.com, Yogyakarta - Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fisipol UGM Hempri Suyatna menanggapi soal terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pengentasan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Hempri menyebut keberhasilan pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya bergantung pada instruksi normatif, namun dukungan tingkat implementasi penyelesaian akar persoalan di lapangan. "Substansi Inpres ini sudah bagus, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana implementasinya. Jangan sampai hanya berhenti pada aturan di atas kertas," ujarnya, Selasa (29/5/2025).
Hempri mengatakan masalah penyelesaian yang perlu diselesaikan adalah perbedaan persepsi para pemangku kepentingan tentang konsep kemiskinan dan kesejahteraan. Pasalnya ada perbedaan dalam data dan indikator masyarakat miskin dari Badan Pusat Statistik dengan Bank Dunia dan masih sering terjadi ketidaksamaan pandangan antara pemerintah, swasta, hingga masyarakat tentang siapa yang masuk kategori miskin atau sejahtera.
“Jangan-jangan ketidakmampuan pengentasan isu kemiskinan selama ini disebabkan karena para pengambil keputusan tidak memiliki persepsi yang sama tentang konsep kemiskinan dan kesejahteraan sehingga memunculkan fenomena salah sasaran,” ujarnya.
Hempri memberikan catatan dalam tiga strategi utama dalam Inpres Pengentasan Kemiskinan Ekstrem tersebut, yakni pengurangan beban pengeluaran, peningkatan pendapatan, dan penurunan kantong kemiskinan. Menurutnya pendekatan ini baik, namun perlu dilengkapi dengan penguatan dimensi sosial dalam upaya pengentasan kemiskinan.
"Kemiskinan jangan hanya dilihat dari dimensi ekonomi. Kita memiliki modal sosial yang kuat, seperti gotong royong dan solidaritas komunitas yang seharusnya dioptimalkan dan diberdayakan mengingat indeks kedermawanan dan religiositas masyarakat kita begitu tinggi," ungkapnya.
Hempri menegaskan dalam implementasi Inpres ini penting adanya fleksibilitas pendekatan di tiap daerah. Ia menilai bahwa Inpres ini harus berfungsi sebagai pedoman umum, sedangkan pelaksanaannya di tingkat daerah perlu disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan lokal. "Kalau diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan karakteristik daerah, khawatirnya malah tidak efektif. Harus ada variasi model pembangunan sesuai kekuatan lokal masing-masing," jelasnya.
Sementara, Hempri menyoroti persoalan klasik yang berulang dalam upaya pengentasan kemiskinan, yaitu lemahnya koordinasi antar-lembaga. Hempri menegaskan hingga kini tumpang tindih program masih kerap terjadi, baik di antara lembaga pemerintah sendiri, antara pemerintah dan swasta, maupun dengan masyarakat.
"Kita sudah punya BUMDes dan koperasi unit desa. Lalu muncul lagi koperasi merah putih. Ini menunjukkan kolaborasi dan koordinasi kita masih jauh dari ideal. Kalau setiap ganti rezim ganti kebijakan, kita terus mulai dari nol. Sebaiknya yang sudah ada diperbaiki dan diperkuat, bukan dihapus dan diganti," tuturnya.
Dalam konteks efisiensi anggaran yang saat ini digaungkan pemerintah, Hempri menegaskan pentingnya penerapan efisiensi yang adil dan merata di semua tingkat pemerintahan. "Kalau daerah diminta berhemat, pusat juga harus sama. Jangan sampai pusat tetap jor-joran, ini soal keadilan," ujarnya.
Hempri pun mendorong pemerintah dalam menyusun master plan pengentasan kemiskinan yang komprehensif dan berjangka panjang. Menurutnya, walaupun telah ada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), diperlukan sebuah blueprint khusus yang lebih terarah dan mendetail untuk mengawal pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan. "Kontrol terbaik adalah dari masyarakat. Dengan pengawasan yang kuat dari level desa dan kelurahan, ketidaktepatan sasaran bisa segera terdeteksi dan diperbaiki," ujarnya soal Inpres Pengentasan Kemiskinan Ekstrem.