Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif tinggi unilateral yang dapat mencapai hingga 70% terhadap negara mitra dagang yang dinilai tidak memberikan konsesi setimpal.
Berdasarkan tim riset Kiwoom Sekuritas Indonesia yang dikutip Rabu (9/7/2025), sejumlah negara pun kini berebut menyepakati kesepakatan perdagangan bilateral untuk menghindari lonjakan tarif tetap sebesar 32%-46%.
Pada Senin, 7 Juli 2025, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang memperpanjang tenggat penerapan tarif dari 9 Juli menjadi 1 Agustus 2025. Namun, ia menegaskan tenggat tersebut tidak 100% bersifat tetap. Ia juga masih terbuka
terhadap usulan alternatif dari negara-negara mitra. Tarif-tarif baru ini tidak akan digabungkan dengan tarif sektoral yang telah diberlakukan sebelumnya, seperti pada otomotif, baja, dan aluminium.
Selain itu, Trump juga secara khusus mengumumkan tarif 25% terhadap seluruh barang impor dari Jepang dan Korea Selatan berlaku 1 Agustus 2025. Ia mengatakan,
tarif ini sebagai respons atas defisit perdagangan yang dianggap mengancam ekonomi dan keamanan nasional AS. Dalam surat resmi kepada PM Jepang Ishiba Shigeru dan Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung, Trump memperingatkan bahwa setiap pembalasan tarif akan dibalas lebih besar, dan mendorong perusahaan kedua negara untuk memindahkan produksinya ke dalam negeri AS jika ingin menghindari tarif.
Trump juga telah mengirimkan pemberitahuan resmi kepada 14 negara, termasuk Tunisia, Malaysia, Kazakhstan, Indonesia, dan Thailand, dengan struktur tarif antara lain:
- 25%: Tunisia, Malaysia, Kazakhstan
- 30%: Afrika Selatan, Bosnia-Herzegovina
- 32%: Indonesia
- 35%: Serbia, Bangladesh
- 36%: Kamboja, Thailand
- 40%: Laos, Myanmar
Sebagai tambahan, Trump juga mengumumkan rencana tarif tambahan sebesar 10% untuk negara-negara BRICS seperti Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, jika kebijakan mereka dinilai "anti-Amerika".
"Langkah ini diyakini sebagai reaksi terhadap meningkatnya gerakan de-dollarization yang selama ini diasosiasikan dengan blok BRICS. Saat ini BRICS telah berkembang menjadi 11 negara anggota, yakni Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia,” ujar Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata.
Posisi Indonesia
Lalu bagaimana posisi Indonesia?
Liza menulis, Indonesia ditargetkan tarif 32% karena dinilai menerapkan hambatan non tarif antara lain Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan izin impor.
"Sesungguhnya pemerintah telah melakukan lobi besar-besaran dengan target mendapat tarif yang lebih kecil dari Vietnam agar dapat pertahankan daya saing. Jika gagal, RI berisiko kehilangan akses pasar AS dan terguncang dari sisi investasi dan kurs,” kata dia.
Berikut langkah strategis atau bargaining power yang dirilis pemerintah Indonesia berdasarkan tim riset Kiwoom Sekuritas Indonesia:
- Tawaran Impor Barang AS USD 34 Miliar, melebihi surplus dagang RI-AS (USD 18–19 miliar).
- Alokasi Energi USD 15,5 Miliar: Pembelian minyak, LNG, gasoline dari AS.
- Komitmen Impor Gas & Produk Pertanian: Gandum, kedelai, kedelai susu.
- Fasilitas untuk Perusahaan AS: Pelonggaran TKDN, Akses GPN, Proteksi kekayaan intelektual.
- Mineral Kritis: Akses prioritas untuk AS, Pengetatan kepemilikan asing, Kolaborasi rantai pasok nikel.
- Pengadaan Pesawat & Alutsista: Garuda Indonesia dan Kemenhan jajaki pembelian dari AS.
- Penurunan Tarif Komoditas AS: Hingga nol untuk 1.700 produk (70% total impor AS ke RI).
- Pelibatan BUMN & Danantara: Mendanai dan mengeksekusi strategi negosiasi.
Dampak ke Emiten
Seiring sentimen itu, apa saham yang akan terkena dampak tarif 32% terhadap saham emiten di Indonesia?
Senior Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta menuturkan, jika Indonesia kena tarif 32% berdampak terhadap sektor tekstil, tetapi saham emiten sektor tekstil kurang likuid. Ditambah kinerja emiten tekstil yang belum baik seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).
"Lebih ke industri tekstil. Tentunya imbas pergerakan saham yang tidak likuid dari dinamika perang tarif yang ditetapkan Donald Trump dan dampak dari pandemi COVID-19,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Sementara itu, dalam riset tim Kiwoom Sekuritas Indonesia menyebutkan, sejumlah emiten yang kena dampak antara lain PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL), PT Erated Djaja Tbk (ERTX), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), PT Tifico Fiber Indonesia Tbk (TFCO), PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY), PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Selain itu, PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Mayora Indah Tbk (GIAA), PT Charoen Pokphand Indonesia (CPIN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL).
Emiten dan Sektor Saham
1.Sektor Tekstil dan Garmen
PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL), PT Eratex Djaja Tbk (ERTX)
Eksposur: Ekspor garmen dan kain ke pasar ekspor termasuk Amerika Serikat kontribusi 20-30%
Dampak: Tarif 32% membuat produk garmen Indonesia jauh kalah bersaing dengan Vietnam dan Bangladesh. Potensi koreksi ekspor 15-25%.
2.Sektor FMCG
PT Mayora Indah Tbk (MYOR)
Eksposur: Produk makanan ringan dan minuman ke pasar AS. Kontribusi ekspor sekitar 20% total revenue.
Dampak: Produk konsumsi punya price elasticity tinggi di pasar mass market, potensi kehilangan pangsa pasar.
3.Sektor Agribisnis
PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT Japfa Comfeed Tbk (JPFA)
Eksposur: Ekspor pakan ternak, olahan ayam, dan produk agribisnis ke berbagai negara, termasuk AS (via pasar komunitas Asia & restoran Asia-Amerika).
Dampak: Meski ekspor langsung ke AS relatif kecil (<10%), risiko tarif berdampak ke rantai pasok agribisnis RI secara lebih luas—terutama untuk value-added poultry.
4.Sektor Kesehatan
PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO)
Eksposur: Produk herbal & FMCG niche (jamu, suplemen) dengan pertumbuhan ekspor ke AS (kontribusi masih <10%).
Dampak: Gangguan ekspor pada segmen suplemen dan consumer health bisa menahan pertumbuhan ekspor tahunan SIDO di bawah 5%.
Emiten dan Sektor Lainnya
5.Sektor Makanan
PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP)
Eksposur: Ekspor mi instan dan makanan siap saji, termasuk ke komunitas Asia di AS.
Dampak: Produk mass market seperti Indomie sangat sensitif harga—tarif 32% berisiko menurunkan volume penjualan.
6.Sektor Nikel
PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA)
Eksposur: Tidak langsung, tapi supply chain nikel Indonesia—terutama untuk EV battery—sedang ditargetkan AS sebagai bagian dari pengamanan mineral kritis.
Dampak: Tarif tinggi bisa memicu reorientasi supply chain AS ke negara non-BRICS.
7.Sektor Hilirisasi dan Logam
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL)
Eksposur: Sebagai bagian dari rantai pasok baterai EV dan logam kritis, ekspor langsung ke AS terbatas tapi masuk radar strategis AS.
Dampak: Tarif dapat memicu AS menurunkan ketergantungan pada rantai pasok Indonesia, khususnya untuk nickel downstream.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.