Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menantang Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk membuka data daerah di Indonesia yang menyimpan APBD dalam bentuk deposito. Dedi mengaku telah melakukan pengecekan langsung bahwa Pemprov Jabar tidak mengendapkan uang di bank seperti keterangan Purbaya.
Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Senin (20/10/2025), Purbaya melansir data Bank Indonesia per 15 Oktober yang menyebutkan 15 daerah menyimpan dana di bank. Antara lain adalah DKI Jakarta Rp 14,683 triliun, Jawa Timur Rp 6,8 triliun dan Jawa Barat Rp 4,17 triliun.
Dedi Mulyadi mengaku sudah memeriksa langsung apakah Pemerintah Provinsi Jawa Barat menaruh uang sebesar itu di Bank BJB dalam bentuk deposito.
"Saya sudah cek tidak ada yang disimpan dalam deposito. Saya tantang Pak Menkeu (Purbaya) untuk membuka data dan faktanya, daerah mana yang menyimpan dana dalam bentuk deposito," kata Dedi dikutip Selasa (21/10/2025).
Dedi mengatakan, di tengah efisiensi saat ini pemerintah daerah ada dalam periode mempercepat belanja publik. Dia menyakini tak semua daerah kesulitan atau sengaja menunda belanja dan memarkir uang di bank.
"Di antara kabupaten kota dan provinsi yang jumlahnya sangat banyak ini, pasti ada yang bisa melakukan pengelolaan keuangan dengan baik, bisa membelanjakan, belanja kepentingan masyarakatnya dengan baik. Dan bisa jadi juga ada daerah-daerah yang tidak bisa membelanjakan keuangan daerahnya dengan baik," kata Dedi.
Namun menurutnya, di tengah upaya daerah mengelola keuangan tersebut ada kemungkinan provinsi atau kabupaten kota yang menyimpan uang dalam bentuk deposito.
"Nah, tentunya ini adalah sebuah problem yang harus diungkap secara terbuka dan diumumkan kepada publik secara terbuka, sehingga tidak membangun opini bahwa seolah-olah daerah ini tidak memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan keuangan," kata dia.
Dedi Mulyadi Minta Purbaya Umumkan ke Publik
Menurut Dedi, kesan yang ditimbulkan akibat opini tersebut membuat daerah tersudutkan karena dituding belanja publiknya lebih kecil dibanding belanja aparatur dan memilih memarkir dana agar bisa memperoleh sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa).
"Hal ini akan sangat merugikan daerah-daerah yang bekerja dengan baik. Efeknya adalah kalau semuanya dianggap menjadi sama, daerah yang bekerja dengan baik akan mengalami problematika pengelolaan keuangan, sehingga daerahnya terus-menerus mengalami penurunan daya dukung fiskal dan ini sangat berefek buruk bagi kinerja pembangunannya," jelas dia.
Menurut Dedi, Menkeu Purbaya sebaiknya mengumumkan ke publik terkait dugaan tentang dana Rp 200 triliun yang masih tersimpan di bank oleh daerah-daerah dan belum terbelanjakan.
"Sebaiknya daripada menjadi spekulasi yang membangun opini negatif tentang kinerja pemerintah daerah secara keseluruhan, umumkan saja daerah-daerah mana saja yang belum membelanjakan keuangannya dengan baik dan uangnya masih tersimpan dengan baik, bahkan ada yang disimpan dalam bentuk deposito," ucap dia.
Langkah ini dinilai perlu dilakukan Menkeu Purbaya yang kerap menyinggung ketidakmampuan daerah mengelola fiskal untuk juga bersikap fair pada daerah.
"Nah, hal ini sangat penting, untuk apa? Untuk menghormati daerah-daerah yang bekerja dengan baik," kata Dedi.
Purbaya Ungkap Banyak Pemda Endapkan Uang di Bank
Sebelumnya, Purbaya menyebut Pemda mengendapkan uangnya tidak di bank pembangunan daerah (BPD) masing-masing, melainkan di Bank Jakarta.
Adapun berdasarkan data Bank Indonesia (BI) yang diolah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dana mengendap di rekening kas daerah senilai total Rp233 triliun itu meliputi simpanan pemerintah kabupaten (pemkab) Rp134,2 triliun, simpanan pemerintah provinsi (pemprov) sebesar Rp60,2 trilliun dan pemerintah kota (pemkot) sebesar 39,5 triliun.
Mendagri Tito Karnavian memaparkan data terbaru Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan bahwa uang pemda yang mengendap di rekening kas daerah mencapai Rp233 triliun.
Secara terperinci, simpanan pemerintah kabupaten (pemkab) merupakan yang terbesar yakni Rp134,2 triliun. Kemudian, simpanan pemerintah provinsi (pemprov) sebesar Rp 60,2 triliun dan pemerintah kota (pemkot) sebesar 39,5 triliun.
Namun, Tito menilai data itu kurang valid. Dia mencontohkan data simpanan pemkot yakni Banjar Baru yang mencapai Rp 5,1 triliun padahal pendapatannya tidak mencapai Rp 5 triliun.
Temuan itu, lanjut Tito, mendorong pihaknya untuk mengecek langsung ke setiap rekening kas pemda. Hasilnya, total simpanan kas pemerintah provinsi, kabupaten dan kota hanya mencapai Rp 215 triliun.
Secara terperinci, simpanan pemda itu meliputi Rp 64 triliun di provinsi, kabupaten Rp 119,9 triliun dan kota Rp 30,1 triliun. Artinya, ada selisih Rp18 triliun antara data BI dan yang dihimpun Kemendagri dari rekening kas daerah.
Menurut Tito, ada beberapa hal yang melatarbelakangi simpanan pemda masih tinggi. Beberapa di antaranya adalah efisiensi sebagaimana amanat Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, penyesuaian visi dan misi program prioritas kepala daerah terpilih setelah pelatikan, kendala administratif, serta proses penyesuaian penggunaan e-Katalog versi terbaru.