Bos DBS Soroti Pentingnya Diversifikasi bagi Investor Global

Liputan6.com, Jakarta - Kepala eksekutif bank terbesar di Asia Tenggara, DBS Group, Tan Su Shan memperingatkan investor untuk bersiap menghadapi periode ketidakpastian  pasar global.

Dengan valuasi pasar saham Amerika Serikat (AS) yang semakin tinggi, CEO DBS Tan Su Shan menilai volatilitas akan terus mewarnai berbagai sektor keuangan dunia.

"Kami telah melihat banyak perubahan harga yang ekstream di pasar. Bisa di saham, bisa di suku bunga, bahkan di valuta asing,” ujar Tan saat wawancara dengan CNBC, dikutip Senin, (10/11/2025).

"Dan saya pikir perubahan harga yang ekstream ini akan terus berlanjut," ia menambajkan.

Tan Su Shan, yang resmi menggantikan Piyush Gupta sebagai CEO DBS pada Maret 2025, menyoroti kekhawatiran investor terhadap tingginya valuasi saham-saham teknologi AS, terutama kelompok yang dikenal dengan sebutan "Magnificent Seven.”

Kelompok saham tersebut mencakup Amazon, Alphabet (induk usaha Google), Meta, Apple, Microsoft, Nvidia, dan Tesla.  tujuh perusahaan raksasa teknologi yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pendorong utama lonjakan indeks Wall Street.

“Misalnya, ada triliunan dolar AS yang terikat hanya di tujuh saham itu. Dengan konsentrasi seperti ini, wajar jika muncul kekhawatiran kapan koreksi pasar akan terjadi?," ujar Tan.

Koreksi Pasar Dinilai Sehat

Peringatan Tan muncul tak lama setelah sejumlah analis dan lembaga keuangan besar, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), memperingatkan potensi koreksi akibat lonjakan valuasi saham yang tidak seimbang.

Pada Global Financial Leaders Investment Summit di Hong Kong, sejumlah eksekutif papan atas memperkirakan terjadi penarikan atau koreksi pasar sebesar 10% hingga 20% dalam kurun 12 hingga 24 bulan ke depan.

CEO Morgan Stanley, Ted Pick, dalam forum yang sama menilai koreksi pasar semacam itu justru merupakan hal yang sehat dan bisa menjadi momentum penyeimbangan pasar.

Tan sependapat. "Sejujurnya, koreksi itu akan menyehatkan,” ujar Tan.

Ia mencontohkan, pergerakan saham Advanced Micro Devices (AMD) dan Palantir Technologies yang meski mencatatkan kinerja di atas ekspektasi, justru mengalami penurunan harga saham bersama indeks Nasdaq.

Dia menuturkan, fenomena ini menjadi sinyal, pasar sedang mencari keseimbangan setelah periode pertumbuhan yang agresif di sektor teknologi.

Ajakan untuk Diversifikasi Investasi

Selain memberi peringatan tentang koreksi pasar, Tan juga menekankan pentingnya diversifikasi portofolio bagi para investor global.

“Baik itu dalam portofolio, rantai pasokan, maupun distribusi permintaan, diversifikasi sangat penting,” ujarnya.

Ia menambahkan, Asia khususnya Singapura kini memiliki peluang besar untuk menjadi tujuan investasi alternatif bagi para pelaku pasar global yang ingin mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

“Singapura memiliki supremasi hukum, sistem keuangan yang transparan dan terbuka, serta stabilitas politik yang kuat. Ini membuat kami menjadi tempat yang baik untuk berinvestasi,” jelas Tan. “Jadi menurut saya, Singapura bisa menjadi pilihan yang menarik untuk diversifikasi investasi Anda.”

Dengan pengalaman lebih dari 35 tahun di bidang perbankan dan pengelolaan kekayaan, Tan meyakini, pergeseran arus investasi global ke Asia akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan, terutama seiring dengan meningkatnya minat terhadap aset di kawasan dengan ekonomi yang lebih stabil.

Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street bervariasi pada perdagangan Jumat, 7 November 2025. Pergerakan wall street yang terjadi seiring saham terkait kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) cenderung melemah. Selain itu, rilis data ekonomi terbaru juga menambah kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi.

Indeks Nasdaq turun 0,21% ke posisi 23.004,54. Hal ini seiring tekanan di saham AI. Berlawanan dengan dua indeks saham acuan lainnya, indeks S&P 500 dan Dow Jones menguat. Indeks S&P 500 menguat tipis 0,13% ke posisi 6.728,80 dan indeks Dow Jones bertambah 74,80 poin atau 0,16% ke posisi 46.987,10. Demikian mengutip CNBC, Sabtu (8/11/2025).

Selama sepekan, tiga indeks acuan di wall street melemah. Hal ini seiring kekhawatiran terhadap valuasi sektor teknologi. Indeks Nasdaq merosot 3%, dan catat kinerja terburuk dalam sepekan sejak 4 April, saat indeks turun 10%. Indeks S&P 500 dan Dow Jones masing-masing melemah lebih dari 1% dalam sepekan.

Saham-saham melonjak dari level terendah setelah Pemimpin Minoritas Senat AS Chuck Schumer menawarkan rencana baru kepada Partai Republik yang akan mengakhiri penutupan pemerintah Amerika Serikat yang memecahkan rekor.

Berdasarkan proposal itu pendanaan jangka pendek akan disediakan untuk operasional pemerintah federal dengan imbalan perpanjangan satu tahun kredit pajak undang-undang perawatan terjangkau yang ditingkatkan.

Di tengah penghentian itu, kekhawatiran investor terhadap kekuatan ekonomi Amerika Serikat semakin meningkat. Sebuah survei dari Universitas Michigan mengungkapkan pada Jumat kalau sentimen konsumen telah mendekati level terendahnya.

Data itu muncul hanya sehari setelah perusahaan Challenger, Gray & Christmas melaporkan pengumuman pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Oktober mencapai level tertinggi untuk bulan tersebut dalam 22 tahun.

Investor hanya mendapatkan sedikit informasi mengenai data ekonomi karena penutupan yang sedang berlangsung. Biro Statistik Tenaga Kerja seharusnya merilis laporan penggajian nonpertanian pada Jumat.

Namun, untuk bulan kedua berturut-turut, mereka tidak dapat melakukannya. Para ekonom yang disurvei Dow Jones memperkirakan laporan tersebut akan menunjukkan penurunan 60.000 lapangan kerja dan peningkatan tingkat pengangguran menjadi 4,5%.

Senat diperkirakan memberikan suara pada Jumat untuk memajukan langkah pendanaan sementara yang telah disahkan DPR. Kesenjangan pendanaan federal terlama yang pernah ada ini telah menimbulkan ancaman bagi aktivitas ekonomi, termasuk menyebabkan gangguan penerbangan akibat kekurangan pengendali lalu lintas udara, yang telah bekerja tanpa bayaran sejak Oktober.