Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Ini Rekomendasi MPM PP Muhammadiyah untuk RUU PMI

8 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Diskusi Publik bertema “Rancangan Undang-Undang PMI: Mewujudkan Pekerja Migran yang Berkemakmuran dan Berkeadilan” pada Jumat (11/07/2025) secara luring di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat. Diskusi ini bertujuan dalam rangka merespon RUU Pekerja Migran Indonesia (PMI) khususnya mengenai perlindungan hukum dan jaminan terhadap pekerja migran.

Diskusi ini menyoroti berbagai persoalan pekerja migran baik persoalan kemanusiaan, perlindungan hukum serta belum adanya penyelesaian yang tuntas terhadap persoalan-persoalan tersebut. MPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan SaranMu (Sahabat Migran Berkemajuan) yang berkolaborasi bersama Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah dalam agenda ini menggandeng beberapa stakeholder pemangku kepentingan seperti Kementrian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Badan Legislatif DPR RI serta akademisi UAD dan pakar ketenagakerjaan. 

Revisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi momen krusial yang tidak hanya menyangkut dimensi hukum, tetapi juga keadilan sosial, kemanusiaan, dan keberlanjutan pembangunan bangsa. Pekerja migran Indonesia masih terus menghadapi tantangan serius mulai dari eksploitasi, kekerasan berbasis gender, penempatan non-prosedural, hingga lemahnya skema perlindungan di negara tujuan dan saat mereka kembali ke tanah air. Arah revisi UU PMI mesti dikawal agar tidak berorientasi pada liberalisasi tenaga kerja, memperkuat peran swasta dan meminggirkan peran negara serta komunitas dalam sistem pelindungan. 

Dalam merespon Rancangan UU PMI, Majelis Pemberdayaan Masyarakat menyoroti beberapa poin persoalan yakni masih tingginya angka penempatan non-prosedural dan perdagangan orang, rendahnya literasi migrasi aman khususnya di wilayah kantong PMI, skema perlindungan di negara tujuan masih lemah, tidak adanya skema reintegrasi pasca kepulangan yang terpadu, masih minimnya keterlibatan ormas dan masyarakat sipil dalam sistem perlindungan.

Arah revisi RUU PMI juga seharusnya memberi ruang kepada masyarakat untuk terlibat dalam pemantauan, edukasi, advokasi, serta perumusan kebijakan migrasi secara kolaboratif. MPM memandang bahwasannya organisasi masyarakat dan civil society dapat terlibat secara langsung melalui upaya pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia baik sebelum keberangkatan maupun setelah kepulangan. 

Keterlibatan Masyarakat Sipil 

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di dunia. Setiap tahun, ratusan ribu warga negara Indonesia meninggalkan tanah air menuju berbagai negara tujuan untuk bekerja. Mereka tidak berangkat dalam kondisi ideal, tetapi justru terdorong oleh keterbatasan ekonomi, minimnya kesempatan kerja di dalam negeri, dan tekanan struktural yang menjadikan migrasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Sehingga sudah menjadi keharusan bahwa negara hadir sebagai pihak yang memberikan solusi dan penyelesaian atas persoalan tersebut serta menjamin perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia.

Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah memandang bahwa kebijakan migrasi harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai keadilan sosial, etika keislaman, dan pemberdayaan komunitas. Muhammadiyah menekankan bahwa pekerja migran bukan sekadar objek ekonomi global melainkan subjek kemanusiaan yang memiliki hak, martabat, dan potensi untuk diberdayakan.

Persoalan yang dialami pekerja migran bukan hanya pada saat penempatan, akan tetapi sebelum penempatan hingga setelah kepulangan. Pada saat sebelum penempatan tidak semua calon pekerja migran memiliki kapasitas dan bekal pengetahuan hukum yang sama, sehingga ketika PMI bermigrasi di negara penempatannya seringkali mengalami kegagapan ketika mengalami persoalan dan belum mendapatkan perlindungan yang semestinya. Dalam hal ini juga berdampak pada pekerja migran ketika pasca kepulangan ke tanah air, banyak sekali purna PMI tidak memiliki bekal keterampilan untuk melanjutkan hidup di tanah air, yang pada akhirnya berdampak pada kemerosotan ekonomi dan mengalami kemiskinan. 

Dalam konteks ini, keterlibatan organisasi masyarakat sipil, termasuk Muhammadiyah menjadi sangat penting. Dengan jejaring akar rumput, pengalaman dalam gerakan pemberdayaan dan pendampingan, dan nilai-nilai etis yang dianutnya, Muhammadiyah memiliki posisi strategis untuk memastikan bahwa kebijakan migrasi tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga menjamin hak dan martabat manusia. Program-program seperti "Desa Migran Berkemajuan" dan pemberdayaan komunitas migran di negara tujuan adalah contoh nyata kontribusi masyarakat dalam memperkuat sistem pelindungan PMI. 

Rekomendasi Kebijakan atas RUU PMI

Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan salah satu sektor yang penting dan perlu mendapat perhatian lebih, oleh sebab itu Muhammadiyah melalui MPM berupaya untuk terlibat secara strategis dalam konteks perlindungan pekerja migran Indonesia. Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) merumuskan rekomendasi kebijakan terhadap RUU PMI yang tercantum pada policy paper dengan poin-poin rekomendasi yang menyasar pada pasal-pasal seperti perubahan dalam ketentuan umum, persyaratan pekerja migran, penguatan perlindungan pekerja migran di negara tujuan, peran dan kewajiban pemerintah dalam perlindungan sosial, pelayanan penempatan dan perlindungan terpadu, perubahan pelaksana enempatan pekerja migran Indonesia, proses rekrutmen dan seleksi PMI, jaminan keuangan bagi perusahaan penempatan dan Penambahan Kewajiban Pelaporan bagi Pekerja Migran Perseorangan. 

Selain itu, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah juga merumuskan rekomendasi penambahan pasal pada RUU PMI yaitu tentang Kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan negara tujuan yang harapannya dapat memperluas akses lapangan kerja bagi pekerja migran Indonesia serta memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan pekerja migran. Kemudian rekomendasi penambahan pasal pada aspek Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan Pekerja Migran untuk Memperkuat peran masyarakat sipil dalam perlindungan pekerja Migran serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kebijakan perlindungan pekerja migran. Selanjutnya rekomendasi penambahan pasal mengenai Mekanisme Pengampunan bagi Pekerja Migran Non Prosedural dalam rangka untuk Memudahkan pendataan pekerja migran yang tidak melalui jalur resmi agar bisa mendapatkan perlindungan hukum dan menekan praktik eksploitasi pekerja migran yang tidak memiliki dokumen resmi. Poin rekomendasi tersebut merupakan bentuk respon MPM terhadap RUU perubahan ketiga atas UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah berkomitmen untuk terus memperjuangkan keadilan sosial bagi PMI. Revisi UU PMI 2025 harus menjadi momentum memperkuat perlindungan, bukan melanggengkan kerentanan. Negara wajib hadir bersama masyarakat sipil dan ormas keagamaan dalam menciptakan tata kelola migrasi yang adil, beradab, dan berkemajuan

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |