Liputan6.com, Bandung - Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat (Jabar), Ono Surono, menyampaikan, pihaknya telah menerima menerima surat usulan penonaktifan Yudiansyah sebagai Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) setalah diduga terlibat kasus intoleransi di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi.
“DPC PDI Perjuangan Sukabumi juga telah melakukan investigasi dan meneliti keterlibatan yang bersangkutan,” kata Ono dalam keterangan pers tertulis dikutip Liputan6.com (11/7/2025).
“Dari hasil penyelidikan, sangat disayangkan ternyata ada dugaan keterlibatan Yudiansyah, sehingga DPC PDI Perjuangan Kabupaten Sukabumi membuat surat usulan penonaktifan yang bersangkutan dari kepengurusan partai,” tambahnya.
Wakil Ketua DPRD Jawa Barat ini mengatakan Jawa Barat masih berada di rating tertinggi kasus intoleransi dan kekerasan, karenanya PDI Perjuangan harus menjunjung nilai-nilai Pancasila bukan sebaliknya malahan ikut serta melakukan intoleransi dan kekerasan terhadap peribadahan umat agama lain.
“DPD PDI Perjuangan Jawa Barat akan mengambil sikap tegas, tak hanya usulan penonaktifan saja tetapi juga pemecatan sebagai kader partai. Semoga persoalan ini dapat menjadi catatan bagi seluruh kader PDI Perjuangan,” cetusnya.
Ono Surono juga mengajak seluruh kader PDI Perjuangan agar turut menjaga kebebasan dan keleluasaan kegiatan agama apapun dan memastikan masyarakat mendapatkan hak asasi sebagai manusia untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing.
“Nilai-nilai toleransi harus benar-benar diimplementasikan dalam setiap kegiatan partai dan interaksi dengan masyarakat,” pungkasnya.
Insiden Cidahu
Sebelumnya diberitakan, suasana mencekam terjadi saat puluhan warga menggeruduk sebuah rumah singgah di Kampung Tangkil, RT 004/RW 001, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi.
Rumah singgah tersebut diduga digunakan sebagai tempat ibadah keagamaan tanpa izin resmi dari pemerintah, memicu keresahan di kalangan masyarakat.
Keresahan warga memuncak pada pekan ini ketika ratusan penduduk dari Desa Tangkil mendatangi langsung rumah tersebut.
Massa mendesak agar aktivitas keagamaan yang berlangsung di sana segera dihentikan dan fungsi rumah dikembalikan sebagai tempat tinggal, sesuai dengan perizinan yang berlaku.
Ketua RT 04, Hendra, membenarkan adanya aksi protes ini. Ia menjelaskan bahwa warga merasa resah lantaran rumah tersebut telah beberapa kali digunakan untuk kegiatan keagamaan, termasuk misa yang dihadiri oleh puluhan orang. Warga berharap pemerintah desa dan pihak berwenang segera mengambil tindakan tegas.
"Rumah ini sudah tiga kali digunakan untuk misa. Pernah suatu waktu ada 23 mobil dan satu bus datang. Kami sudah pernah menegur dan menolak agar tempat ini tidak dijadikan sarana peribadatan," jelas Hendra dikonfirmasi pada Minggu (29/6/2025).
Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin, menegaskan bahwa pemerintah desa sebenarnya telah melakukan upaya mediasi sejak jauh hari.
Menurut Ijang, rumah tersebut secara legal hanya berizin sebagai rumah tinggal atau rumah singgah, bukan untuk kegiatan keagamaan. Namun, pemilik rumah tetap menggelar kegiatan ibadah meskipun telah mendapat teguran dan masukan dari warga setempat.
"Legalitas tempat ini hanya untuk rumah singgah atau tempat tinggal. Tapi kenyataannya digunakan untuk ibadah. Masyarakat akhirnya bergerak sendiri karena merasa tidak dihargai," ujarnya.
Ijang menambahkan bahwa pihak desa bersama unsur Muspika, termasuk Babinsa, Bhabinkamtibmas, Kapolsek Cidahu, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan, sudah mengambil langkah pencegahan konflik agama ini tiga minggu sebelumnya, namun kegiatan keagamaan tetap berlanjut.
Salah Paham
Kapolres Sukabumi, AKBP Samian, dalam kesempatan yang sama menegaskan pentingnya peran pemuka agama untuk menenangkan umatnya, dan menguatkan kerukunan antar umat beragama.
"Tentunya kegiatan ini sangat penting untuk pemuka agama untuk menenangkan umatnya jemaahnya, tidak ada konflik antar kelompok atau umat beragama," ujar AKBP Samian.
Ia menjelaskan bahwa insiden tersebut merupakan kesalahpahaman antar individu atau beberapa orang, yang memicu emosi sesaat dan berujung pada perusakan barang.
AKBP Samian juga menjelaskan bahwa penyelesaian damai insiden ini bukan berarti ada penangguhan pidana.
"Terkait dengan adanya permasalahan yang sudah diselesaikan dengan damai itu bukan ada penangguhan pidananya, tapi bagaimana situasi yang ada semua tokoh lintas agama duduk bersama bermusyawarah ke depan tidak boleh terjadi lagi," jelasnya.
Ia menekankan bahwa peristiwa ini tidak boleh berkembang menjadi konflik kelompok antar agama. "Yang ada hanya antar orang dan beberapa orang bukan antar kelompok agama," tegasnya.
Kapolres juga mengklarifikasi bahwa yang dirusak bukanlah tempat ibadah, melainkan hanya rumah singgah atau vila. Terkait permohonan penangguhan penahanan, AKBP Samian menyatakan bahwa itu adalah hak yang diberikan undang-undang dan akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme.
Ia juga menginformasikan bahwa saat ini masih ada 7 tersangka terkait insiden tersebut.
Mengenai restorative justice, AKBP Samian menjelaskan bahwa penyelesaian perkara pidana ini mengedepankan unsur hukum dan diawali dengan permohonan dari kedua belah pihak.
"Jadi kepolisian menunggu permohonan dari kedua belah pihak. Jadi kita tidak menutup kemungkinan itu namun kembalinya pada kedua belah pihak," terang dia.