Menghidupkan Warisan, Kisah Pemuda Banjarmasin Membawa Sasirangan Mendunia

Liputan6.com, Jakarta Di tangannya, selembar kain bukan sekadar bahan tekstil, melainkan ruang ingatan, sejarah, dan napas kebudayaan. Sandi Agustinus, pemuda asal Banjarmasin yang juga seorang pengrajin Sasirangan milenial, berbicara tentang perjalanan panjangnya jatuh cinta pada motif-motif tradisi Banjar, Kalimantan Selatan, kisah yang berawal dari desa, berpindah ke desa lain, hingga kini menginjak panggung internasional.

Sejak kecil, dunia Sandi tak jauh dari corak dan warna. Ia tumbuh dalam keluarga seniman dengan pola hidup nomaden, yang tak hanya mengajarkannya berpindah tempat, tetapi berpindah pengetahuan.

“Saya dari kecil sudah jatuh hati dengan motif dan corak di setiap lembar kain yang seolah memiliki seribu kisah,” ujarnya membuka cerita kepada Liputan6.com, Sabtu (29/11/2025).

Perjalanan itu menuntunnya mengenal ragam tekstil Nusantara, batik, tenun, songket, karawo, sutera, jumputan, sampai akhirnya sasirangan alias kain tradisional khas Kalsel menjadi yang paling memikat hatinya.

Pada tahun 2015, Sandi memulai perjalanan yang ia sebut sebagai "tour budaya" ke 13 kabupaten di Kalimantan Selatan. Ia mengunjungi desa-desa, bertemu masyarakat, lalu memberikan pelatihan sasirangan secara gratis, mulai sejarah, teknik, hingga pemasaran berbasis sustainable culturepreneurship.

Namun impian besar tidak datang tanpa badai. Empat tahun sebelum langkah itu benar-benar berjalan, Sandi menghadapi penolakan hingga cacian.

“Walaupun saya bukan asli Banjar, kecintaan saya terhadap Sasirangan tidak perlu diragukan,” tuturnya.

Tekanan dan keraguan banyak pihak justru menjadi suluh untuk terus maju.

Dari kegigihan itu lahirlah Kantan Sasirangan, sebuah rumah kecil yang berubah menjadi ruang pemberdayaan.

Kantan bukan hanya tempat berkarya, tapi ladang untuk menghidupkan banyak mimpi, tempat ratusan ibu rumah tangga, single parent, hingga masyarakat marginal ikut berkarya dan mendapatkan penghasilan tambahan.

“Kantan menjadi harta karun kecil kami," katanya.

Sandi tidak berhenti pada pelestarian. Ia ingin Sasirangan hidup, berkembang, dan menyesuaikan zaman. Ia mengolah stigma "kuno" menjadi modern dan trendi—agar bisa dikenakan semua generasi. Terobosan itulah yang membawa Kantan Sasirangan meraih berbagai penghargaan dan peluang hingga kancah internasional.

Bahkan baru-baru ini, Sandi berkesempatan memperkenalkan Sasirangan ke para pelajar di Houbi Junior High School, Taiwan. Sebanyak 100 pelajar dari empat kelas belajar sejarah kain Banjar itu hingga praktik membuat Sasirangan. Sandi memperkenalkan pewarna alami dari tumbuhan, memperlihatkan bagaimana tradisi bertemu inovasi.

Bahasa menjadi tantangan: materi harus diterjemahkan dari Indonesia ke Inggris, lalu ke Mandarin. Namun itu tak mengurangi antusiasme.

“Pengalaman ini menjadi bukti bahwa Sasirangan bisa diterima dan dicintai lebih luas,” ujarnya bangga.

Sandy percaya Sasirangan adalah warisan yang harus dijaga, bukan hanya dikenang. Ia membawa semangat baru, semangat anak muda yang yakin bahwa budaya tak akan hidup jika tidak diolah kembali.

“Saya ingin Sasirangan tetap ada, dikenakan, dan menjadi kebanggaan. Tahun berganti tahun, kami terus berkomitmen agar warisan ini tidak lekang oleh waktu,” tegasnya.

Sandi Agustinus bukan hanya pengrajin, ia penyambung tradisi. Di setiap kain yang ia hasilkan, tersimpan sebuah pesan: Bahwa budaya bisa hidup, bertumbuh, dan melampaui batas ruang.

Dan dari sudut Banua, kain Sasirangan kini melangkah lebih jauh mendunia, setahap demi setahap, bersama Sandi dan generasi yang percaya pada akar tradisi.