Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menimbulkan volatilitas global signifikan dengan menerapkan tarif dagang yang sangat besar. Lalu bagaimana dampaknya terhadap kebijakan bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed)?
Donald Trump telah menerapkan tarif resiprokal atau timbal balik yang besar lebih buruk daripada skenario buruk yang diperkirakan sejak kampanye dan pelantikan resmi Donald Trump.
Langkah Trump menerapkan tarif yang bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan mencegah impor. Kemudian ia juga ingin meningkatkan produksi di dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, serta menangani praktik perdagangan yang tidak adil terutama dari China.
Namun, kelayakan tujuan tersebut masih dipertanyakan. Ashmore menilai, sektor manufaktur AS hadapi tantangan struktural termasuk biaya tenaga kerja yang tinggi, pasar tenaga kerja yang ketat dan kedalaman industri yang terbatas dalam rantai pasokan utama.
Sementara itu, China tetap menjadi produsen bernilai tambah yang dominan di dunia dengan skala dan efisiensi yang tak tertandingi.
"Selain itu,pengangguran di sektor manufaktur di AS sebagian besar disebabkan oleh peralihan ke ara otomatisasi, menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan peningkatan tingkat lapangan kerja jika manufaktur kembali ke AS,” demikian seperti dikutip dari Ashmore.
Langkah Trump menerapkan tarif dagang tinggi berdampak terhadap pasar saham dan obligasi karena dipicu ketidakpastian. "Pasar saham dan obligasi global telah mengalami perubahan besar dari hari ke hari dengan pengumuman Trump yang sering (yang cenderung agak tidak dapat diprediksi) di samping tanggapan dari berbagai negara,” demikian seperti dikutip dari Ashmore, Selasa, (15/4/2024).
Kebijakan The Fed
Lalu bagaimana dengan prediksi langkah the Fed?
Ashmore prediksi tarif akan menyebabkan stagflasi, pertumbuhan yang lebih lambat dengan kenaikan harga. Ketua The Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell mengisyaratkan sikap hati-hati dengan mempertahankan suku bunga pada 4,25 persen-4,5 persen. Namun, inflasi yang berkepanjangan dapat memaksa pengetatan jangka pendek. Dalam jangka menengah hingga panjang, stagflasi dinilai dapat melemahkan pasar tenaga kerja dan memicu resesi yangn mendorong the Fed memangkas suku bunga karena pertumbuhan ekonomi memburuk.
“Jalur suku bunga tetap sama dengan pemangkasan suku bunga yang akan terjadi paling cepat pada Juni, dengan kemungkinan pemangkasan suku bunga sebanyak 3-4 kali (0,75 persen-1 persen) pada 2025,” demikian seperti dikutip.
Dampak Perang Tarif ke Indonesia
Lalu apa dampak perang tarif ke Indonesia?
Indonesia hadapi tarif 32 persen berdasarkan kebijakan baru, lebih rendah dari tarif yang ditetapkan untuk China. Ada tarif merugikan beberapa sektor antara lain elektronik, karet tetapi membuka peluang di sektor lain.
Adapun salah satu kunci utama adalah pakaian jadi karena tarif untuk Vietnam, China dan Bangladesh lebih tinggi, dan Indonesia dapat memposisikan dirinya sebagai eksportir yang kompetitif bagi AS dalam bidang tekstil dan pakaian jadi. “Pemerintah dapat menjajaki peningkatan perdagangan bilateral untuk memanfaatkan perubahan ini,” demikian seperti dikutip.
Lalu bagaimana dengan investasi?
Ashmore melihat saat ini Indonesia lebih menarik untuk investasi dibandingkan dengan AS. Hal ini untuk saham dan obligasi terutama dengan volatilitas yang terjadi. “Likuiditas sedang diregangkan, dan imbal hasil treasury AS telah melonjak dibandingkan dengan tingkat krisis historis,” demikian seperti dikutip.
Berdasarkan data Ashmore, imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun sekitar 4,45 persen dan tenor 5 tahun sekitar 4,05 persen. Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun sekitar 7,07 persen dan 5 tahun sekitar 6,88 persen.
Di saham, price earning indeks S&P 500 sekitar 19,77 kali dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat 10,49 kali.
"Dari sudut pandang valuasi dan fundamental, kami terus merekomendasikan instrument investasi berkualitas tinggi. Dalam jangka pendek kami merekomendasikan obligasi pemerintah Indonesia berdurasi pendek di mana likuiditasnya cukup dan imbal hasil relatif stabil,”
Dalam jangka menengah-panjang, Ashmore melihat ekuitas Indonesia positif dengan potensi reli yang besar dengan valuasi yang saat ini tertekan. “Kami merekomendasikan investor untuk mempertahankan diversifikasi di antara kelas aset karena volatilitas saat ini masih tinggi,” demikian seperti dikutip.