Liputan6.com, Makassar - Rekor suhu April 2024 adalah peringatan keras untuk mempercepat transisi hijau dan membangun ketahanan iklim di Indonesia. Kolaborasi global-lokal menjadi kunci menghadapi ancaman ini.
Berdasarkan skenario emisi tinggi (RCP 8.5 IPCC), suhu Indonesia, diperkirakan naik 1,5–2,5°C pada 2050. Olehnya tanpa aksi kolektif, gelombang panas dan cuaca ekstrem akan semakin intens, apalagi di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Pada April 2024, suhu rata-rata di Indonesia mencapai 27,74°C, mencatat rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir, dan menjadi bulan April terpanas sepanjang sejarah pencatatan meteorologi modern. Data ini dilaporkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta lembaga internasional seperti World Meteorological Organization (WMO).
Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DPLHK) Provinsi Sulawesi Selatan, Andi Hasbi mengatakan para pihak harus sinergi mengantisipasi potensi pemicu kekeringan ekstrem di tahun 2025.
Faktor utamanya ada tiga, yaitu jika El Nino aktif, curah hujan di Indonesia bagian selatan dan timur akan turun 40–60%. Lalu perubahan iklim yang ditandai dengan suhu permukaan laut meningkat,mempercepat penguapan air yang memperpanjang musim kemarau.
Simak Video Pilihan Ini:
Petani Cilacap Menjerit Gagal Panen dan Rugi Miliaran Akibat Banjir Rob
Sebaran Daerah Berpotensi Terdampak Cuaca Ekstrem
Kemudian deforestasi sesuai catatan KLHK, di tahun 2023 merangkum kehilangan 600.000 hektar hutan/tahun yang berdampak pada aspek kelembaban udara dan cadangan air tanah.
"Berdasarkan skenario RCP 4.5 IPCC, suhu Indonesia pada 2025 diprediksi naik 0,5–1°C dari rata-rata 1990–2020, yang artinya durasi kemarau berlangsung panjang. Jika El Niño kuat terjadi, di April hingga Oktober 2025. Maka berpotensi menjadi periode terkering dalam 10 tahun terakhir, dan hal ini harus diwaspadai oleh pemerintah kabupaten/kota di Sulsel, utamanya warga masyarakat harus adaptif dengan akses literasi situs resmi badan metereologi, klimatologi dan geofisika (BMKG)," kata Andi Hasbi kepada Liputan6.com Minggu, 13 April 2025.
Menyangkut daerah rawan dampak kekeringan ekstrim di Sulawesi Selatan, Hasbi mengaku terdapat sejumlah wilayah seperti kabupaten Bone, Luwu Utara dan Kepulauan Selayar. "Pastinya juga akan berdampak terhadap masyarakat, apalagi petani yaitu ancaman gagal panen jagung dan tanaman perkebunan lainnya. Dan disini pula pentingnya sinergi dan gotong royong agar tidak terjadi konflik air, antara pertanian dan permukiman,"jelasnya.
Sebagai rekomendasi upaya mitigasi dampak kekeringan ekstrem. DPLHK Sulawesi Selatan menyerukan pemerintah kabupaten/kota untuk membangun embung dan sumur resapan di daerah rawan. Berikut memperketat pengawasan izin pembukaan lahan, di area gambut.
"Untuk masyarakat juga harus adaptif melek teknologi dan berperilaku hemat air (irigasi tetes, biopori). Lalu yang tidak kalah pentingnya juga menghindari pembakaran sampah/lahan selama kemarau,"Hasbi memungkasi.