Liputan6.com, Jayapura - "A, I, U, E, O…"
"Ma --- ma, Ma --- ma, dibaca Mama."
Suara Mama Ina Kogoya mendominasi ruangan berukuran 3 x 5 meter di Kampung Tolandan, Distrik Sentani Kota, Kabupaten Jayapura. Papua, Jumat sore, (20/6/2025). Walaupun masih terbata-bata dalam mengeja huruf, namun Mama Ina sangat bersemangat saat berada di Rumah Gabus, rumah tempat dia mengenal aksara.
“Sa (saya) ingin bisa membaca. Setelah bisa membaca, sa hanya ingin membaca Alkitab, agar bisa lebih memahami makna di dalam Alkitab itu,” Mama Ina penuh harap.
Mama Ina bersama 70-an mama lainnya yang memiliki aktivitas harian berjualan hasil kebun di Sentani selalu bersemangat jika hari belajar itu tiba. Di Rumah Gabus, hari belajar dilakukan setiap Jumat sore. Waktu belajar di sore hari menjadi kesepakatan bersama antara mama-mama dengan Srikandi Polri dari Polres Jayapura yang menjadi Ibu Guru di Rumah Gabus.
Perwira pengajar di Kampung Toladan, AKP Katharina Hineke Lelang Aya menjelaskan awalnya pembelajaran dilakukan satu minggu dua kali. Namun karena padatnya waktu berjualan mama-mama, maka dipilihlah menjadi satu kali dalam satu minggu untuk waktu belajar.
Gabus merupakan singkatan dari Gerakan Baca Tulis. Gabus menjadi honai atau rumah tempat berkumpulnya masyarakat terutama dari Papua Pegunungan di Kampung Tolandan Sentani.
Nama Gabus sengaja dipilih, karena daerah Sentani yang dikenal dengan keindahan Danau Sentani, di dalamnya tinggal endemik ikan gabus lokal. Gabus dengan nama ilmiahnya Channa Striata dikenal sebagai ikan yang gesit dan kaya manfaat. Hal ini diharapkan nama Gabus bisa menjadi gerakan yang bermanfaat bagi orang banyak agar bisa membaca, berhitung dan menulis.
Gerakan Gabus dilakukan sejak 2021. Program Gabus diinisiasi oleh Kapolres Jayapura, AKBP Fredrickus Maclarimboen. Gabus melibatkan Polwan dan Bhabinkamtibmas untuk menyebarkan semangat membaca dan menulis hingga ke pelosok. Murid Gabus bervariasi, mulai anak-anak PAUD hingga seorang nenek berusia 75 tahun.
Kegiatan Gabus dibagi menjadi empat kelompok yang dipimpin oleh para Perwira Polwan yakni AKP Katharina Hineke Lelang Aya mengajar di Kampung Tolandan, AKP Dorlince Banundi di Kehiran, IPDA Odaa Marian di Kompleks Yahukimo Yabaso dan Iptu Yuliani Tecuari di BTN Darsua. Setiap kelompok, Gabus beranggotakan 10-12 orang Polwan dengan waktu pembelajaran 2 jam di setiap pertemuan.
Jalan Berliku
Awalnya pengenalan program Gabus kepada masyarakat tak berjalan mulus, bahkan menemui jalan terjal dan berliku. AKP Katharina menuturkan awal memperkenalkan Gabus banyak penolakan. Para Polwan melakukan sosialisasi Gabus dengan menyisir kampung ke kampung dan memberikan pemahaman apa itu melek aksara.
“Yang kami temui di lapangan, masyarakat ‘alergi’ dengan polisi,” katanya.
Masyarakat beranggapan tugas polisi hanya menjaga keamanan, bukan sebagai guru, sehingga masyarakat meragukan Gabus. Penolakan lainnya juga datang dari kelompok pemuda yang ‘meracuni’ masyarakat dengan ungkapan yang terkesan program Gabus hanya untuk menjerumuskan masyarakat Papua.
Penolakan itu tak menyurutkan para polwan dalam mendekati masyarakat dan memberikan pemahaman tentang Gabus yang dapat mengurangi kemiskinan, dengan cara mengenal angka dan huruf.
“Kami terus berjuang, agar Gabus dapat menyentuh masyarakat. Program Gabus gratis dan bisa memberikan penyetaraan ijazah kepada mereka yang lulus ujian,” katanya.
Gabus Sang Primadona
Perjuangan para Srikandi Polres Jayapura patut diacungi jempol. Gabus bisa memberikan cahaya kehidupan kepada masyarakat untuk keluar dari kegelapan aksara. Bahkan ada kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap Polri dalam memberantas buta aksara.
Kepercayaan itu datang dari tokoh gereja di Kampung Toladan, Pendeta Iton Kogoya menyambut baik Gabus. Dia langsung memberikan sebidang tanah untuk membuat rumah belajar Gabus di Kampung Toladan.
“Sa senang jika masyarakat pintar membaca dan menulis. Jika kita pintar, kitorang (kami) tra (tidak) mudah dibohongi,” katanya, kepada Liputan6.com.
Bahkan Pendeta Iton meminta kepada masyarakat untuk tidak takut kepada polisi. “Polisi tidak boleh ditakuti. Mereka hanya manusia, sama dengan kita. Bedanya, dorang (polisi) memiliki seragam. Sa juga memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa polisi biasa menangkap orang bersalah. Tapi, kalau tidak bersalah, tidak mungkin ditangkap polisi,” kata Pendeta Iton penuh keyakinan
Karena kepercayaan ini, Pendeta Iton meminta para polwan membuat jadual pertemuan rutin bersama masyarakat untuk memulai program Gabus. Kelompok belajar di Toladan terdiri dari 3 bagian yakni mama-mama, anak-anak yang sudah bersekolah namun kesulitan membaca dan berhitung, serta anak-anak yang belum sekolah.
Awalnya murid di Kampung Toladan berjumlah 10-15 orang. Seiring berjalannya waktu dan promosi gratis dari mulut ke mulut, saat ini murid di Toladan mencapai 70-an orang.
Pembelajaran Plus Dalam belajar, Gabus juga menggunakan pekarangan gereja, di bawah pohon mangga ataupun di lokasi mama-mama berdagang.“Semua tempat belajar fleksibel. Kadang di tempat berjualan, sambil menunggu pembeli, mama-mama berlatih mengeja, membaca ataupun menulis angka. Mereka senang,” kata AKP Dorlince Banundi yang memiliki kelompok belajar Gabus di Kampung Kehiran.
Mama Maria, murid Gabus di Kehiran mengaku senang dengan kehadiran Gabus. “Kami senang ada ibu guru Polwan. Jadi, waktu luang saat menunggu pelanggan jadi bermanfaat,” kata Mama Maria.
Saat belajar mengajar, para polwan tak hanya mengenalkan aksara, namun memperkenalkan kosa kata Bahasa Inggris dasar. Termasuk mengajarkan menjaga kesehatan tubuh, misalnya mencuci tangan yang baik agar terhindar dari kuman, mengajarkan anak-anak cara mandi yang baik hingga menyikat gigi supaya bersih.
“Kami juga sisipi bagaimana para mama dan anak-anak menjaga kamtibmas sejak dini. Kami memberikan pemahaman bahwa masalah keamanan bukan hanya kerja kepolisian, tapi juga wajib didukung semua pihak,” kata AKP Katharina.Termasuk dalam mengajar anak-anak, para polwan selalu mengajar anak-anak sambil bermain ataupun melakukan story telling.
Untuk menunjang kegiatan belajar, para polwan biasa merogoh kocek sendiri untuk membeli bahan makanan atau sekadar makanan ringan untuk anak-anak.“Kadang kami patungan beli beras dan kasih mama, atau kasih pensil warna ke anak-anak. Hal-hal kecil seperti ini, mereka sangat menghargai,” ujar AKP Katharina.
Melek Aksara
Kapolres Jayapura, Umar Nasatekay menjelaskan program Gabus yang dilakukan oleh Polwan dan Bhabinkamtibmas dilakukan di luar jam kantor. “Mereka turun langsung ke masyarakat dn melakukan kegiatannya di luar jam dinas. Syukurlah, sampai saat ini, Gabus tetap dinanti masyarakat,” kata Umar.
Berita baik lainnya soal Gabus adalah mampu menekan angka buta huruf dari data tahun 2022 sebanyak 4,538, saat ini turun di angka 4.038.
Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Daerah Pemkab Jayapura, Abdul Rahman Basri menyebutkan para pendidik dari kepolisian sangat membantu pemerintah dalam menekan angka buta aksara.“Gabus selaras dengan pemda pada bidang pendidikan. Gabus menjadi program primadona hingga ke pelosok. Kami siap berkolaborasi, karena kegiatannya positif,” jelasnya.
Basri menjelaskan justru buta aksara didominasi orang dewasa atau orang tua. “Orang tua yang buta huruf ini, cita-citanya sangat mulia yakni sangat ingin membaca Alkitab. Artinya, mereka tidak mau hanya mendengar, tapi ingin bisa membaca sendiri firman Tuhan,” katanya.
Kini, kerja Tim Gabus tak sia-sia, hingga 2023, sebanyak lebih dari 12 orang murid Gabus telah menerima surat keterangan melek aksara (SUKMA) yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura.
“Sekarang, sa su bisa membaca Alkitab, baik untuk diri sendiri atau untuk anak-anak di rumah,” kata Mama Ina bangga yang saat ini fasih membaca dan menulis.