Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham di kawasan Asia dan Pasifik atau sering disebut bursa Asia bersiap untuk naik pada perdagangan hari Senin. Lonjakan Bursa Asia ini didorong oleh kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menghentikan tarif pada beberapa barang elektronik konsumen, seperti handphone, tablet, komputer dan chip.
Untuk diketahui, Trump mengecualikan telepon pintar dan komputer serta perangkat dan komponen lain seperti semikonduktor dari tarif timbal balik barunya. Hal ini tertuang dalam panduan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS yang dikeluarkan pada Jumat malam.
Namun, Trump dan Menteri Perdagangan Howard Lutnick pada hari Minggu menyatakan bahwa pengecualian tersebut tidak permanen, yang menimbulkan lebih banyak ketidakpastian.
Dikutip dari CNBC, Senin (14/4/2025), Donald Trump mengatakan dalam sebuah unggahan di media sosial Truth Social bahwa produk-produk elektroik ini masih harus tunduk pada Tarif Fentanil 20% yang ada, dan mereka hanya pindah ke kelompok tarif yang berbeda.
Beberapa negara di kawasan Asia Pasifik juga sedang mempersiapkan negosiasi perdagangan dengan AS minggu ini.
Dilaporkan Politico, menurut dua narasumber yang dekat dengan Gedung Putih, Trump tengah terlibat dalam negosiasi dengan sejumlah negara termasuk Vietnam, India, Korea Selatan, dan Jepang, serta memprioritaskan mitra dagang yang ada yang strategis untuk melawan China.
Perwakilan perdagangan utama Jepang Akazawa Ryosei dijadwalkan mengunjungi AS minggu ini untuk melakukan pembicaraan dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer, menurut penyiar lokal NHK.
Indeks saham acuan Nikkei 225 Jepang mengawali hari dengan kenaikan 1,82%, sementara indeks Topix Jepang yang berisikan lebih banyak saham naik 1,77%.
Di Korea Selatan, indeks Kospi naik 1,29% saat pembukaan sementara indeks Kosdaq berkapitalisasi kecil naik 1,22%.
Sementara itu, indeks S&P/ASX 200 Australia naik 0,72%.
Harga berjangka indeks Hang Seng Hong Kong berada di 21.059 yang menunjukkan pembukaan yang lebih kuat dibandingkan penutupan HSI di 20.914,69 Jumat lalu.
Efek Tarif Impor Donald Trump, Banyak Bisnis di AS Terancam
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump kembali mengambil langkah kontroversial dalam perang dagang dengan Tiongkok. Kebijakan ini dikhawatirkan akan menimbulkan dampak besar dan merusak bagi banyak bisnis di Amerika Serikat terutama usaha kecil.
Melansir CNBC Internasional, Senin (14/4/2025), meski beberapa produk teknologi seperti iPhone, chip, dan perangkat komputer mendapat pengecualian dari tarif, sektor lain tidak seberuntung itu. Para pelaku bisnis melaporkan adanya pembatalan pengiriman dan penundaan ekspor secara massal dari Tiongkok ke AS.
CEO dari Sea-Intelligence, Alan Murphy mengatakan mengatakan beberapa perusahaan di Tiongkok mengalami penghentian pesanan
“Produsen furnitur di Tiongkok sudah mengalami penghentian pesanan total dari para importir AS,” ungkap Murphy, dikutip dari CNBC.
Ia menambahkan bahwa hal serupa juga terjadi pada produk mainan, pakaian, sepatu, hingga peralatan olahraga.
Sementara itu, Brian Bourke dari SEKO Logistics menjelaskan meskipun beberapa pesanan dari Asia Tenggara mulai berjalan kembali setelah masa penangguhan tarif selama 90 hari, pemesanan dari Tiongkok masih banyak yang dibatalkan.
“Hampir semua pengiriman tertunda hanya karena terkait dengan bisnis di Tiongkok,” ujar Alan Baer, CEO OL USA.
Bisa Menghentikan Perdagangan Antara AS dan China
Langkah Trump ini, menurut para pakar ekonomi, bisa menghentikan sebagian besar perdagangan antara AS dan China. Erica York, Wakil Presiden Kebijakan Pajak Federal dari Tax Foundation, menilai bahwa tarif besar-besaran ini benar-benar membatasi ruang gerak pelaku usaha.
“Mungkin akan ada beberapa produk yang tetap diimpor karena belum ada penggantinya, tapi secara umum, tarif ini menghentikan semuanya,” tegas York dalam acara “The Exchange” di CNBC.
Tekanan Terbesar
Tekanan terbesar dirasakan oleh produk-produk dengan margin keuntungan rendah. Menurut Murphy, barang-barang seperti elektronik, peralatan medis, dan mesin yang membutuhkan teknologi tinggi tidak mudah untuk dialihkan produksinya ke negara lain. Butuh waktu dan investasi besar untuk mengatur ulang jalur manufaktur.
Dalam kondisi yang serba tidak pasti ini, banyak perusahaan mencari alternatif. Beberapa mencoba memindahkan produksi ke Vietnam atau India, sementara lainnya mempertimbangkan untuk memangkas harga di pasar Eropa agar produksi tetap berjalan. Bahkan, ada yang terpaksa menghentikan jalur produksi mereka.
Di sisi lain, pelaku usaha kecil menjadi pihak yang paling tertekan. Stephen Lamar, CEO dari American Apparel & Footwear Association, mengatakan bahwa situasi ini mirip dengan kekacauan yang terjadi selama pandemi COVID-19.
“Perubahan kebijakan yang mendadak ditambah tarif tinggi membuat rantai pasokan hancur. Banyak perusahaan terpaksa membatalkan pesanan karena beban tarif tidak dapat diprediksi dan terlalu mahal untuk ditanggung,” ujar Lamar.