Selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sutan Sjahrir memiliki peranan yang cukup besar. Pada 1931, Sjahrir memutuskan berhenti kuliah.
Ia kembali ke Indonesia dan terjun dalam pergerakan nasional. Bersama Hatta, ia bergabung dengan kelompok nasionalis Golongan Merdeka.
Golongan Merdeka berisi para anggota yang kecewa karena Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan. Pembubaran PNI terjadi setelah Soekarno dan tokoh PNI ditangkap pemerintah kolonial Belanda karena dianggap melakukan kegiatan revolusioner untuk melawan pihak mereka.
Pada Juni 1932, Sjahrir menggantikan Soekemi sebagai pemimpin PNI-Baru. Ketika Hatta kembali ke Indonesia, Sjahrir pun menyerahkan pimpinan tersebut kepada Hatta.
Pada masa pendudukan Jepang, Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, sedangkan Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Atas keyakinan bahwa Jepang tidak mungkin memenangkan perang, Sjahrir pun beanggapan bahwa kaum pergerakan harus menyiapkan diri dalam merebut kemerdekaan di waktu yang tepat.
Jaringan gerakan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader-kader PNI-Baru yang tetap meneruskan pergerakan. Selain itu, ada juga kader-kader muda yang berasal dari mahasiswa progresif.
Pada 14 Agustus 1945, Sjahrir mendesak Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan dengan alasan bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu. Namun, Soekarno dan Hatta tidak melakukannya dan memilih untuk menunggu hasil keputusan sidang PPKI yang dilaksanakan pada 18 Agustus 1945.
Maka, terjadilah peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, tepatnya di rumah Laksamana Maeda. Penculikan itu dilakukan oleh kelompok pemuda pada malam 16 Agustus 1945.
Soekarno dan Hatta pada akhirnya menyerah dan setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia keesokan harinya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi titik penting perjalanan politik Sjahrir.
Pada 25 Oktober 1945, Sjahrir diterima menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekaligus Ketua Badan Pekerja KNIP dengan wakilnya Amir Syarifuddin. Ketika ia menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP, lahirlah Maklumat Nomor X yang memungkinkan lahirnya partai politik di Indonesia. KNIP kemudian menjadi badan legislatif yang bertugas menyusun Undang-Undang dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Pada 14 November 1945, Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama di Indonesia dan mulai memimpin kabinetnya. Ia sekaligus menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Sebagai Perdana Menteri, Sjahrir telah melakukan perombakan kabinet sebanyak tiga kali, yakni Sjahrir I, Sjahrir II, dan Sjahrir III. Pada 26 Juni 1946, Sjahrir pernah menjadi korban penculikan yang dilakukan kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang dipimpin Mayor Jenderal Soedarsono dan termasuk Tan Malaka di dalamnya.
Alasannya karena mereka tidak puas atas diplomasi yang dilakukan saat pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda. Mereka menganggap hal itu merugikan bangsa Indonesia.
Penculikan Sjahrir membuat Soekarno marah. Hingga pada 1 Juli 1946, 14 pimpinan yang melakukan penculikan tersebut ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi Surakarta.
Setelah peristiwa penculikan, Sjahrir hanya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih oleh Soekarno.
Pada 2 Oktober 1946, Presiden Sukarno menunjuk kembali Sjahrir sebagai Perdana Menteri untuk melanjutkan Perundingan Linggarjati. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 12 Februari 1948.
Pada pemilihan umum pertama di Indonesia 1955, PSI gagal mengumpulkan suara. Pada 17 Agustus 1960, PSI resmi dibubarkan oleh Presiden Soekarno sebagaimana tertuang dalam Keputusan No. 201 tahun 1960.
Pada 1962, ditemukan dokumen yang konon isinya organisasi bernama VOC (Verenigde Ondergrondse Corps atau Korps Perkumpulan Bawah Tanah/Vernielings Organisatie Corps atau Korps Organisasi Penghancur). Dalam dokumen tersebut, terdapat nama Sjahrir.
VOC dianggap sebagai gerakan subversif yang membahayakan negara. Hal itu menyebabkan Sjahrir ditangkap dan ditahan tanpa diadili.
Ia dan yang lainnya sempat ditahan di Jakarta kemudian dipindah ke Madiun. Ketika menderita stroke, ia diizinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss. Pada 9 April 1966, Sutan Sjahrir meninggal dunia di pengasingan sebagai tahanan politik.
Penulis: Resla