Liputan6.com, Jakarta - Di tengah tantangan besar yang dihadapi dunia saat ini dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, masyarakat adat Papua dengan segala keterbatasan teknologinya telah sejak lama menemukan formula hidup harmonis bersama alam melalui sebuah tradisi sakral yang disebut Upacara Tanam Sasi.
Tradisi ini bukan hanya sekadar ritual keagamaan atau kebiasaan turun-temurun tanpa makna, melainkan merupakan sebuah sistem hukum adat yang mengikat dan dijalankan secara konsisten oleh masyarakat adat Papua seperti Suku Marind Anim, Suku Moi, hingga beberapa komunitas pesisir dan pedalaman lainnya di Papua.
Melalui upacara ini, masyarakat menetapkan batasan waktu untuk memanfaatkan suatu sumber daya alam, kemudian menutup dan melarang pemanfaatan tersebut untuk jangka waktu tertentu demi memberikan waktu pemulihan kepada alam. Dalam konteks modern, ini bisa dianggap sebagai sistem konservasi yang canggih dalam balutan kearifan lokal Papua yang sangat menghormati keseimbangan ekologis.
Upacara Tanam Sasi diawali dengan prosesi adat yang dipimpin oleh para tetua kampung atau kepala suku yang dipercaya memiliki pengetahuan dan wewenang spiritual. Biasanya, upacara ini dilakukan di tempat-tempat yang memiliki nilai penting secara ekologis dan sosial, seperti hutan sagu, sungai, rawa, dan laut.
Dalam upacara tersebut, diumumkan bahwa wilayah tertentu ditutup sementara dari segala bentuk eksploitasi, baik itu penangkapan ikan, pengambilan hasil hutan, maupun perburuan satwa. Masa penutupan ini bisa berlangsung selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun, tergantung dari jenis sumber daya dan kondisi alamnya.
Penutupan ini kemudian ditandai dengan pemasangan simbol-simbol adat, seperti daun kelapa muda yang disilang, bambu yang dipancang, atau simbol-simbol totem khas suku setempat. Sanksi terhadap pelanggaran Sasi pun tidak main-main baik berupa denda adat, pengucilan sosial, hingga kutukan spiritual yang dipercayai bisa membawa malapetaka bagi pelanggar dan keluarganya.
Tradisi ini tidak berdiri sendiri, melainkan terjalin erat dengan sistem kepercayaan dan filosofi hidup masyarakat Papua yang melihat alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual.
Alam bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki atau dieksploitasi secara semena-mena, melainkan merupakan titipan leluhur yang harus dijaga demi keberlangsungan generasi mendatang. Dalam pandangan Suku Marind Anim, misalnya, setiap pohon sagu memiliki roh, setiap aliran sungai menyimpan kekuatan spiritual, dan setiap binatang yang diburu merupakan bagian dari jaringan kehidupan yang suci.
Kawasan Konservasi
Oleh karena itu, Tanam Sasi tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga spiritual dan moral. Hal ini membentuk ikatan emosional yang sangat kuat antara manusia dan alam, jauh melebihi pendekatan legal-formal yang sering kali bersifat kaku dan transaksional.
Menariknya, meskipun Tanam Sasi merupakan tradisi yang berakar pada budaya lokal dan nilai-nilai tradisional, semangatnya justru sangat relevan dengan pendekatan ilmu lingkungan modern. Konsep restorative ecology, resource rotation, hingga community-based natural resource management semuanya dapat ditemukan dalam struktur dan filosofi Sasi.
Bahkan, beberapa peneliti dan aktivis lingkungan kini mulai mengadopsi pendekatan ini sebagai model alternatif dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam beberapa kasus, penerapan Sasi telah berhasil mengembalikan populasi ikan yang hampir punah, merehabilitasi hutan sagu yang rusak, dan menurunkan konflik sosial akibat perebutan sumber daya.
Ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis budaya dan spiritual justru bisa menjadi solusi konkret dalam menjawab tantangan ekologis yang tak kunjung selesai di era industri modern.
Namun, keberlangsungan tradisi Tanam Sasi kini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Tekanan dari luar, seperti masuknya perusahaan tambang, perkebunan skala besar, hingga aktivitas ilegal yang merusak ekosistem, menjadi ancaman serius terhadap kelestarian hutan dan laut yang dijaga dengan Sasi.
Selain itu, generasi muda Papua yang mulai terpapar pada nilai-nilai konsumtif dan modernisasi cepat, perlahan mulai menjauh dari akar tradisinya. Beberapa di antaranya menganggap Sasi sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan dengan zaman.
Padahal, jika dikelola dengan pendekatan yang lebih modern dan dikemas secara edukatif, Tanam Sasi bisa menjadi kekuatan luar biasa untuk membangun kesadaran lingkungan sekaligus memperkuat identitas budaya masyarakat adat. Oleh karena itu, pelibatan generasi muda, pemangku kebijakan, dan institusi pendidikan menjadi sangat penting untuk menjaga napas panjang tradisi ini.
Upacara Tanam Sasi adalah bukti bahwa masyarakat adat Papua tidak pernah memisahkan diri dari alam. Mereka hidup dalam siklus yang saling menghidupi, dengan kesadaran bahwa kelestarian lingkungan adalah syarat utama untuk kelangsungan hidup bersama.
Dalam gerak lembut daun kelapa yang ditiup angin sasi, dalam heningnya hutan yang ditutup sementara, dan dalam suara tetua adat yang menyerukan larangan dengan penuh wibawa, tersimpan pelajaran besar tentang kebijaksanaan ekologis yang jauh melampaui usia tradisi itu sendiri.
Di tengah kerusakan lingkungan yang semakin meluas, dunia mungkin perlu berhenti sejenak dan belajar dari suara sunyi Tanam Sasi suatu warisan Papua yang tak hanya berbicara tentang pelestarian alam, tetapi juga tentang cinta, kesabaran, dan hormat kepada kehidupan itu sendiri.
Penulis: Belvana Fasya Saad