Liputan6.com, Jakarta - Tradisi Perang Topat adalah salah satu tradisi unik yang berasal dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi ini merupakan bagian dari upacara adat yang dilakukan untuk menghormati nilai-nilai budaya, agama, dan kepercayaan lokal yang hidup berdampingan di masyarakat Lombok, khususnya antara umat Islam dan Hindu.
Dalam tradisi ini, masyarakat dari kedua agama tersebut berkumpul di kawasan Pura Lingsar, sebuah tempat ibadah yang menjadi simbol kerukunan dan keharmonisan, untuk melaksanakan ritual yang berakhir dengan perang simbolik menggunakan ketupat atau topat.
Ketupat-ketupat tersebut dilemparkan satu sama lain dalam suasana penuh sukacita, mencerminkan semangat persatuan dan rasa syukur atas berkah yang diterima dalam tradisi perang topat.
Perang Topat biasanya diadakan pada bulan purnama keenam dalam kalender Sasak atau sekitar bulan November hingga Desember dalam kalender Masehi.
Ritual ini diawali dengan rangkaian doa dan persembahan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di pura. Mereka membawa berbagai sesajen berupa hasil bumi seperti buah-buahan, beras, dan bunga, sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara itu, umat Islam Sasak juga turut hadir untuk melakukan doa bersama di lokasi yang sama, tetapi di area yang disebut Kemaliq, tempat suci bagi mereka. Kehadiran kedua komunitas agama ini tidak hanya menunjukkan rasa saling menghormati, tetapi juga menegaskan pentingnya kolaborasi dalam menjaga tradisi.
Setelah prosesi doa selesai, perang simbolis dimulai. Ketupat yang digunakan dalam tradisi ini sebelumnya telah dipersiapkan oleh masyarakat dari berbagai penjuru desa.
Ketupat-ketupat ini bukan hanya simbol makanan, tetapi juga memiliki makna filosofis mendalam, yaitu rasa syukur dan harapan akan keberkahan bagi bumi dan hasil panen. Saat perang berlangsung, suasana menjadi riuh dengan sorakan gembira, tawa, dan semangat.
Simak Video Pilihan Ini:
Tingkah Lucu Buaya Malu-malu, Buaya Senyulong 200 Kilogram di Banyumas
Harmoni Masyarakat
Tidak ada rasa permusuhan atau dendam, melainkan kebahagiaan yang terpancar dari wajah para peserta. Bahkan, ketupat yang jatuh di tanah sering kali dipungut oleh masyarakat untuk dibawa pulang karena diyakini membawa berkah dan keberuntungan.
Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai yang sangat relevan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu toleransi, kerja sama, dan persatuan. Di tengah perbedaan keyakinan yang ada, masyarakat Lombok mampu menunjukkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang untuk hidup harmonis.
Sebaliknya, perbedaan tersebut dijadikan sebagai kekayaan budaya yang patut dijaga. Perang Topat juga menjadi daya tarik wisata yang menarik banyak pengunjung, baik lokal maupun internasional, yang ingin menyaksikan keunikan tradisi ini.
Pemerintah daerah pun mendukung penuh pelestarian tradisi ini sebagai bagian dari warisan budaya tak benda yang harus dilestarikan. Dalam konteks modern, tradisi Perang Topat mengajarkan pentingnya menjaga hubungan antarumat beragama dan merawat warisan leluhur.
Ketika banyak konflik yang terjadi karena perbedaan, masyarakat Lombok dengan tradisi ini menunjukkan bahwa harmoni dapat tercapai melalui pemahaman, dialog, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Tradisi ini bukan hanya warisan budaya, tetapi juga pelajaran hidup yang relevan untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Perang Topat adalah pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan, dan bahwa tradisi lokal memiliki peran penting dalam membangun identitas dan solidaritas sebuah komunitas.
Penulis: Belvana Fasya Saad