Liputan6.com, Jakarta - Blunder dalam komunikasi publik yang dilakukan oleh seorang pejabat publik, kembali terjadi. Tidak tanggung tanggung, yang melakukan 'blunder' tersebut, justru datang dari pejabat publik yang juga menjabat sebagai juru bicara kepresidenan. Satu jabatan yang menuntut keahlian berkomunikasi 'tingkat dewa', karena diharuskan untuk minimal kesalahan (zero mistake), sebagai konsekuensi menjadi kepanjangan lidah dari pimpinan tinggi suatu negara.
Dapat dibayangkan, jika ternyata pihak yang mengemban tugas tersebut, malah menjadi pembuat gaduh dan viral di masyarakat, dengan mengucapkan tanggapan yang dinilai banyak pihak kontra produktif untuk institusi di mana pejabat itu berada.
Kegaduhan yang dibuat oleh Hasan Nasbi ini, tidak saja mengundang berbagai komentar negatif bagi dirinya, tetapi tanpa disadari olehnya, juga menyeret pimpinan tinggi negara - Presiden, menjadi seperti orang yang tidak cakap dalam memilih tim komunikasinya, sehingga bolak balik harus merevisi salah ucap atau slip of tongue baik dari tim komunikasi kepresidenan maupun staf khususnya.
Tentunya masih segar dalam ingatan masyarakat, ketika salah bicara ini juga terjadi pada pejabat publik yang juga menjadi staf khusus kepresidenan, dan dengan becanda menghina seorang penjual es teh, pada saat pejabat publik tersebut berbicara di hadapan orang orang yang menghadiri ceramahnya. Tanpa ampun, masyarakat langsung menghukum dengan hujatan, komentar negatif sehingga berujung pada mundurnya pejabat tersebut dari jabatannya sebagai staf khusus Presiden untuk urusan keagamaan.
Ucapan Hasan serta pejabat publik lainnya, dinilai tidak berempati dan mengabaikan prinsip kebebasan pers serta mencederai jabatannya sebagai pejabat publik dibidang komunikasi, yang seharusnya menjadi contoh bagi pelaksana tugas komunikasi yang lain, bahwa komunikasi publiknya sangat santun dan tidak memicu kontroversi.
Ucapan Hasbi juga dinilai oleh seorang pengamat politik yang menyatakan bahwa Hasbi tidak berempati dan meremehkan teror yang dihadapi media massa. Menurut pengamat, sebagai orang yang berada di lingkaran istana, seharusnya Hasan Nasbi merespon sebuah teror terhadap kebebasan pers dengan cara yang kondusif dan bersimpati.
Begitu seringnya pejabat publik seperti tidak sadar, bahwa komunikasi publik yang dilakukannya, terikat dengan aturan yang salah satunya adalah tidak menganggap rendah khalayak ataupun masyarakat yang menghadiri dan mendengarkan komunikasi publiknya.
Judy Pearson dan Paul Nelson (2009), mendefinisikan komunikasi publik sebagai proses menggunakan pesan untuk menimbulkan kesamaan makna dalam sebuah situasi di mana seorang sumber mentransmisikan sebuah pesan ke sejumlah penerima pesan yang memberikan umpan balik berupa pesan atau komunikasi nonverbal dan terkadang berupa tanya jawab.
Dalam kegiatan komunikasi publik, seperti layaknya proses komunikasi yang sederhana, maka pengirim pesan atau sumber yang akan menyampaikan pesan, terlebih dahulu harus dapat menyesuaikan pesan yang dikirim, agar dapat mencapai pemahaman yang maksimal. Karena terkadang, secara virtual penerima pesan dapat memahami pesan yang disampaikan oleh sumber pesan atau bahkan tidak mengerti sama sekali (Pearson, 2009: 20).
Oleh karena itu, menjadi satu keharusan bagi pejabat publik yang baru dilantik, untuk memahami karakteristik dari pemirsa atau siapapun pihak yang menjadi penerima pesannya, agar pesan dapat diterima dengan baik, jelas dan benar serta sesuai dengan harapan pengirim pesan tersebut.
Setelah diamati, ternyata kejadian terpelesetnya lidah dari para pejabat publik dalam komunikasi publiknya, seringkali terjadi dan dialami oleh mereka yang tiba tiba ditunjuk atau diberikan amanah untuk menjadi pejabat publik dan tentu saja konsekwensinya harus melakukan komunikasi publik.
Seringkali pejabat yang baru tersebut, terpilih tanpa memiliki atau dibekali ilmu serta pengetahuan komunikasi publik yang memadai. Dan ini menjadi lebih serius, karena hal tersebut terjadi pada seseorang yang menjabat sebagai pelaksana komunikasi untuk lembaga ternama bahkan kepresidenan.
Dari pengamatan penulis, ternyata penyebab dari seringnya terjadi salah ucap atau salah bicara dari pejabat publik adalah karena terkena gegar atau kejutan budaya. Mengapa bisa dikatakan demikian? karena dari beberapa pejabat publik yang pernah mengalami 'keselip lidah' tersebut, ternyata tidak memiliki latar belakang pendidikan formal ataupun menguasai ilmu komunikasi.
Seringkali dalam kegiatan sehari harinya dalam melakukan kegiatan komunikasi, umumnya ditujukan bagi masyarakat terbatas dan homogen, serta hanya dalam skala lokal bukan nasional. Akibatnya, ketika harus menghadapi masyarakat yang majemuk atau banyak dan beragam dan dengan titipan pesan yang cukup berat dan cenderung doktrin (pemaksaan), maka terjadilah kegamangan dalam penyampaiannya, sehingga pesan tidak diterima dengan baik oleh khalayaknya.
Karena tidak dikemas dengan baik untuk disesuaikan dengan kebiasaan dan pengetahuan serta pemahaman yang sama dari penerima pesan. Pengirim pesan menganggap bahwa dirinya saat ini adalah pejabat publik yang harus dimengerti dan diikuti serta dipercaya oleh masyarakat.