Pilu Petani di Sukabumi, 50 Hektare Lahan Persawahan Krisis Air Akibat Irigasi Rusak

11 hours ago 6

Liputan6.com, Sukabumi - Rusaknya saluran irigasi Jentreng sebagai sumber air lahan pertanian di Kedusunan Leuwipendeuy dan Kedusunan Padabeunghar, Desa Padabeunghar, Kecamatan Jampangtengah, Kabupaten Sukabumi, membuat puluhan petani tak bisa berharap banyak pada hasil panen. 

Kondisi ini telah terjadi dalam lima tahun terakhir. Irigasi Jentreng yang terletak di Kampung Sarimin, Kedusunan Leuwipendeuy, mengalami kerusakan parah setelah diterjang banjir bandang dari Sungai Cimandiri lima tahun lalu. Akibatnya, warga juga petani mengalami krisis air khususnya ke area persawahan. 

Hal itu diungkapkan tokoh masyarakat Desa Padabeunghar, Asep Kamho (52) mengatakan, bahwa irigasi jebol sepanjang 500 meter dengan lebar sekitar 2 meter dan tinggi 5 meter itu, jebol setelah tergerus derasnya arus banjir bandang.

“Sudah lima tahun sawah-sawah tidak bisa digarap karena tidak ada aliran air. Petani hanya bisa pasrah,” kata Asep saat dikonfirmasi pada Senin (19/5/2025).

Selain merusak saluran irigasi, lanjut dia, banjir bandang juga telah menggerus lahan seluas 2 hektare milik warga di Leuwipendeuy. Kejadian itu diakuinya menambah kerugian bagi petani. 

Warga bersama para petani telah bermusyawarah untuk mencari solusi, serta telah membentuk panitia dalam merencanakan pembangunan kembali saluran irigasi yang rusak. Nanun, terbatasnya dana masih menjadi kendala dalam merealisasi rencana pembangunan tersebut. 

“Alhamdullilah, saya sendiri mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, khususnya dari para petani, iya, sebagai Ketua Panitia pembuatan irigasi itu. Masyarakat berharap ada perhatian dari pemerintah daerah maupun pihak terkait agar perbaikan irigasi bisa segera dilakukan dan lahan pertanian kembali produktif,” ungkapnya.

Pernah Diperbaiki Secara Swadaya, Irigasi Kembali Rusak

Sunarto (49), seorang petani asal Kampung Padabeunghar mengaku hanya bisa pasrah menghadapi kondisi tersebut. Ia pun harus mencari komoditas tanaman lain selain padi, akibat kondisi lahan yang kering. 

“Irigasi nggak ada, air nggak ada. Kalau ada benih jagung ya tanam jagung, kalau tidak ada ya dibiarkan saja tanahnya. Sekarang lahannya banyak ditumbuhi rumput, karena terlantar,” ucap Sunarto.

Sunarto mengungkapkan, saat ini dia bekerja menggarap lahan seluas 1.600 meter persegi milik orang lain. Jika irigasi normal, panen yang dihasilkan dari padi bisa mencapai 9 kwintal hingga 1 ton. 

“Tapi sekarang, cuma mengandalkan air hujan. Kerugiannya bisa sampai Rp4,5 juta per musim. Padahal, dalam setahun bisa tiga kali tanam kalau airnya cukup,” ungkapnya. 

Perbaikan irigasi telah beberapa dilakukan oleh para petani dengan swadaya melalui kelompok tani. Namun, terbatasnya dana dan tenaga membuat perbaikan hanya bersifat sementara dan tidak mampu mengembalikan fungsi irigasi seperti semula.

“Kita sering diskusi di kelompok tani, pernah juga gotong royong, udunan, tapi ya hasilnya tidak maksimal. Pembangunan irigasi butuh anggaran besar. Harapannya, semoga ada perhatian dan bantuan dari pemerintah. Yang dibutuhkan petani sekarang hanya satu adalah air,” tuturnya.

Upaya Pemdes Menangani Permasalahan Irigasi Air

Sementara itu, Kepala Desa Padabeunghar, Ence Rohendi menjelaskan, bahwa kerusakan irigasi jebol yang menjadi sumber air di dua Kedusunan Leuwipendeuy dan Padabeunghar tersebut terjadi bukan baru-baru ini. Bahkan, kondisi itu telah dikabarkan sebelum dirinya menjabat sebagai kepala desa.

“Kejadian itu sudah lama, mungkin sebelum saya menjabat. Kerusakannya sudah parah sekitar lima tahun terakhir. Irigasi ini sangat vital, bukan hanya untuk sawah, tapi juga kolam ikan dan kebutuhan rumah tangga,” kata Ence.

Selain itu, dampak kerusakan irigasi juga dirasakan warga di empat kampung yang sebelumnya mengandalkan irigasi tersebut, yakni Kampung Padabeunghar, Lembur Jati, Lembur Tengah, dan Kampung Kosambi.

Hingga kini, sebagian besar sawah hanya bisa digarap saat musim hujan, dari yang biasanya panen tiga kali dalam setahun, kini hanya satu kali panen atau bahkan tidak sama sekali.

“Banyak lahan yang akhirnya terlantar. Para petani beralih ke tanaman yang tidak membutuhkan banyak air seperti jagung, kedelai, ubi jalar, cabai, dan tanaman palawija lainnya,” jelasnya.

Ence menyatakan, bahwa pemerintah desa, telah berupaya menyampaikan kondisi tersebut kepada dinas terkait, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Namun karena Sungai Cimandiri masuk dalam kewenangan PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air) Provinsi Jawa Barat, maka proses penanganannya pun masih belum menunjukkan hasil.

“Kami sudah beberapa kali ajukan proposal dan survei. Saya juga sudah bentuk panitia bersama tokoh masyarakat, pemuda, dan petani untuk fokus menangani masalah irigasi ini. Harapannya, semoga ada bantuan dari pihak manapun,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kata dia, warga sudah beberapa kali mencoba membangun saluran secara swadaya, seperti menggunakan drum dan bahan seadanya. Namun upaya tersebut tidak bertahan lama karena kondisi tanah yang rawan longsor dan cuaca ekstrem.

Ia berharap bisa segera mendapat bantuan dari pemerintah provinsi maupun pusat, sehingga masyarakat Padabeunghar bisa kembali menanam padi tiga kali setahun seperti dulu. 

“Sekarang paling setahun sekali, itupun tergantung musim hujan. Kalau kemarau, lahan dibiarkan begitu saja. Tanahnya tidak memiliki terasering. Anggaran pembangunan irigasi itu diperkirakan mencapai Rp2,5 miliar, termasuk pembangunan pemisah arus Sungai Cimandiri agar tidak terus menggerus lahan warga di Padabeunghar,” jelasnya.

Anomali Cuaca Memperparah Situasi

Sebagian besar wilayah Indonesia memang masih berada dalam masa peralihan musim di akhir Mei 2025. Hal ini ditandai dengan cuaca yang cepat berubah, cenderung cerah pada pagi-siang, lalu berubah menjadi hujan di sore-malam.

Cuaca labil melanda sebagian besar wilayah Indonesia menjelang peralihan musim hujan ke kemarau yang diprediksi terjadi akhir Mei ini. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menegaskan, sebagian besar wilayah Indonesia memang seharusnya sudah masuk musim kemarau. Namun beberapa daerah masih terjadi hujan dengan intensitas tinggi sepanjang hari. Cuaca bahkan kerap berubah tidak bisa diprediksi, siang panas, sore hingga malam berubah menjadi hujan.

BMKG melalui rilis resminya mengutarakan, kondisi atmosfer dapat menjadi sangat labil akibat interaksi suhu permukaan laut, tekanan udara, dan kelembaban yang tinggi, sehingga memungkinkan adanya pembentukan awan konvektif, seperti Cumulonimbus yang berpotensi menimbulkan cuaca ekstrem berupa hujan lebat, petir, angin kencang, hingga hujan es.

BMKG juga menjelaskan, cuaca labil tersebut tidak hanya diakibatkan oleh mekanisme konvektivitas lokal yang sering terjadi pada masa peralihan, melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika atmosfer berskala lebih luas, yaitu aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang-gelombang atmosfer.

"Saat ini MJO terpantau aktif berada di Fase 5 (Benua Maritim) dan diprediksi konsisten berada di wilayah Indonesia untuk sepekan ke depan. Selain itu, gelombang Kelvin dan Rossby Ekuatorial juga cenderung persisten berpropagasi di sebagian wilayah Indonesia," tulis BMKG.

Anomali cuaca yang terjadi belakangan ini juga sedikit banyak mempengaruhi sistem pertanian. Pola tanam yang berubah-ubah karena menyesuaikan cuaca menjadi salah satu dampaknya, yang berakibat pada potensi gagal panen. Hal ini sangat mungkin terjadi apalagi jika lahan pertanian tidak didukung sistem irigasi yang prima, seperti yang terjadi di Sukabumi.  

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |