Liputan6.com, Jakarta - Pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) akan menjadi perhatian pelaku pasar pekan ini setelah rilis data ekonomi AS yang lebih lemah dari prediksi.
Pada pekan lalu menunjukkan data ekonomi Amerika Serikat (AS) lebih lemah dari yang diharapkan di mana mereka melihat pertumbuhan ekonomi kuartalan negatif pertama sejak kuartal pertama 2022.
Selain itu, data pekerjaan juga lebih lemah dari yang diharapkan yang selanjutnya menyoroti pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang dijadwalkan pekan ini. Dengan kondisi saat ini yang masih bergejolak, ketua the Fed Jerome Powell sering menyebutkan mempertahankan pendekatan tunggu dan lihat.
"Pasar mengharapkan the Fed untuk mempertahankan suku bunga tetap dan sepenuhnya memperkirakan satu pemotongan suku bunga pada Juli,” demikian seperti dikutip dari riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Senin (5/5/2025).
Namun, Ashmore melihat ada sentimen positif yang berkembang terkait tarif dagang yang sedang berlangsung. Ketegangan perdagangan antara AS dan China telah melihat beberapa tanda positif pekan lalu. Hal ini seiring kemungkinan resolusi bertahap telah tumbuh sejak China menunjukkan kesediaan untuk berdiskusi dengan AS.
“Setelah pembalasan timbal balik antara dua ekonomi terbesar di dunia, pasar global sekarang mempertimbangkan situasi yang mendingin yang meredakan kekhawatiran tentang tekanan inflasi dan resesi,” demikian seperti dikutip dalam riset Ashmore.
Adapun hal itu mungkin sebagian didorong oleh data terbaru di China dan AS yang menunjukkan hambatan terhadap pertumbuhan pada masing-masing negara karena konsumen dan investor mengantisipasi kenaikan harga tarif dan pelemahan.
“Untuk saat ini, pembicaraan perdagangan belum secara resmi dimulai karena AS dan China mempertahankan sikap keras, tetapi pengecualiaan perdagangan antara kedua negara ini membawa harapan untuk perkembangan positif,” demikian seperti dikutip.
Investor Bakal Kembali Investasi di Negara Berkembang
Di sisi lain, Indonesia juga terus bernegosiasi dengan AS sejak “hari pembebasan” di mana pasar mengantisipasi perkembangan dari negosiasi dari India dan Jepang. Sementara itu, Indonesia masih dalam masa tenggang 90 hari.
“Karena sentimen positif terus meningkat dan ekspektasi pertumbuhan membaik, investor akan menjadi kurang defensif seperti yang telah dilihat dalam penurunan harga aset safe haven baru-baru ini seperti emas,”
Adapun kesepakatan perdagangan untuk mengurangi tarif akan membantu mengurangi tekanan inflasi di AS dan akhirnya memperkuat pasar tenaga kerja. “Ketika prioritas the Fed ini mengalami perbaikan, bank sentral AS dapat lebih yakin dalam pemangkasan suku bunga lebih lanjut, pemangkasan suku bunga sepanjang tahun. (Pasar memperkirakan suku bunga akan mencapai titik terendah sekitar 3% pada akhir 2026),”.
Saat transisi ini terjadi, investor akan mengambil sikap yang lebih berisiko dan mengalokasikan kembali investasi ke pasar negara berkembang. “Untuk Indonesia, kami menekankan valuasi yang murah secara historis saat ini di samping partisipasi berkelanjutan dari lembaga domestik yang telah membantu memperkuat indeks dan meningkatkan likuiditas di pasar,”
Selain itu, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia juga telah turun dari posisi puncaknya baru-baru ini kembali di bawah 6,9% untuk obligasi bertenor 10 tahun. “Secara keseluruhan, kondisi saat ini tetap menarik untuk investasi jangka menengah-panjang di mana kami merekomendasikan investor untuk memiliki posisi baik di kelas aset ini,”
Kinerja IHSG 28 April-2 Mei 2025
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan pada 28 April-2 Mei 2025. Meredanya perang dagang hingga penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi angin segar IHSG.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), Sabtu (3/5/2025), IHSG naik 2,05% pada 28 April-2 Mei 2025 ke posisi 6.815,73. Penguatan IHSG pekan ini lebih rendah dari pekan lalu. IHSG melonjak 3,74% pekan lalu ke posisi 6.678,91.
Kapitalisasi pasar juga melonjak signifikan. Kapitalisasi pasar BEI naik 2,33% menjadi Rp 11.831 triliun dari Rp 11.561 triliun pada pekan lalu.
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, IHSG melonjak 2,05% didorong sejumlah sentimen. Pertama, the Federal Reserve (the Fed) memberikan sinyal akan ada pemotongan suku bunga pada semester II 2025 setelah the Fed menahan suku bunga. Kedua, ketegangan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang mereda. Hal itu membuat kekhawatiran investor berkurang.
"Meredaknya ketegangan perang dagang AS-China sehingga kekhawatiran investor cukup mereda dan kembali masuk ke instrumen investasi berisiko,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menambahkan, faktor ketiga yakni penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 2% pada pekan ini. Faktor keempat yang dorong penguatan IHSG yakni rilis kinerja keuangan emiten pada kuartal I 2025.
Di sisi lain, peningkatan tertinggi terjadi pada rata-rata volume transaksi harian bursa pada pekan ini sebesar 14,46% menjadi 20,87 miliar saham dari 18,23 miliar saham pada pekan lalu.
Rata-rata frekuensi transaksi harian selama sepekan ini mengalami kenaikan 9,25% menjadi 1,21 juta kali transaksi dari 1,11 juta kali transaksi pada pekan lalu.
Peningkatan turut dialami oleh rata-rata nilai transaksi harian BEI selama sepekan yakni 4,99% menjadi Rp 11,61 triliun dari Rp 11,06 triliun pada pekan sebelumnya.