Saham Asia Mulai Bangkit, Indonesia Masih Menanti Sentimen Pemulihan

8 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta Awal 2025 menjadi periode penuh gejolak bagi pasar saham Indonesia. Ketidakpastian global yang dipicu oleh perang tarif, ditambah melemahnya konsumsi dalam negeri, menahan laju indeks saham.

Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Freddy Tedja menyebut bahwa pergerakan pasar saham belum menunjukkan arah yang konsisten, meski sentimen mulai membaik di awal Mei.

Freddy menekankan bahwa pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia memang akan berdampak positif, namun pengaruhnya terhadap pasar saham cenderung bersifat jangka menengah. Menurutnya, investor masih menunggu katalis tambahan berupa eksekusi nyata dari kebijakan pemerintah untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan konsumsi domestik.

Sebaliknya, pasar obligasi Indonesia justru mencuri perhatian. Stabilnya nilai tukar Rupiah, prospek suku bunga menurun, dan rating kredit Indonesia yang tetap kuat—BBB dengan outlook stabil dari lembaga pemeringkat global—membuat investor asing kembali masuk. Hingga awal Mei, arus dana asing yang masuk ke pasar obligasi mencapai USD 1,26 miliar, berbanding terbalik dengan arus keluar sebesar USD 2,73 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

“Pasar obligasi langsung merespons sentimen penurunan suku bunga, sementara saham butuh dorongan tambahan dari sektor riil,” jelas Freddy, Senin (12/5/2025).

MSCI Asia Naik, S&P500 Merosot—Investor Alihkan Dana

Ketika saham-saham AS tersandung oleh kekhawatiran resesi, pasar Asia justru menunjukkan ketahanan. Indeks MSCI Asia Pacific mencatat kenaikan 2,04% hingga akhir April, sementara S\&P500 mengalami koreksi -5,45%. Freddy menilai pergeseran ini sebagai sinyal awal bahwa investor mulai kembali melirik Asia sebagai alternatif, seiring meredanya dominasi ekonomi AS.

Salah satu penopang utama kebangkitan Asia adalah sektor teknologi, khususnya perusahaan yang terlibat dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI). Asia dinilai memiliki daya saing tinggi di sektor ini, yang membuatnya tetap menarik di tengah ketidakpastian global.

Meski begitu, Indonesia belum sepenuhnya ikut menikmati momentum ini. Freddy menilai bahwa performa pasar domestik masih dibebani oleh lemahnya daya beli. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun ke 121,1 pada Maret 2025 dari 126,4 pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan penjualan ritel juga melambat drastis dari 5,6% di Q1 2024 menjadi hanya 1% di Q1 2025.

Lemahnya Konsumsi, Belanja Negara Belum Tersalurkan

PDB Indonesia pada kuartal pertama 2025 tercatat tumbuh 4,87% secara tahunan—terendah sejak Q3 2021. Salah satu penyebab utama adalah minimnya kontribusi belanja pemerintah, yang malah terkontraksi -0,08% setelah sempat tumbuh 4,17% pada kuartal terakhir 2024. Padahal, konsumsi rumah tangga juga sedang melemah, sehingga peran belanja negara menjadi krusial untuk menjaga momentum pertumbuhan.

Freddy berharap realisasi anggaran akan meningkat mulai kuartal kedua, seiring rampungnya proses realokasi APBN. Ia menegaskan pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam penyaluran anggaran, agar stimulus benar-benar terasa di sektor riil dan mampu mendorong pemulihan konsumsi.

“Kuncinya bukan cuma serap anggaran, tapi efek berantainya harus terasa. Itu yang akan dorong pasar saham juga,” ujarnya.

Ketidakpastian Global Masih Dipengaruhi Perang Tarif

Revisi turun proyeksi ekonomi global oleh IMF, World Bank, dan OECD mencerminkan tingginya ketidakpastian akibat perang tarif yang belum berakhir. Freddy menyebut bahwa dampak perang tarif tidak seragam, tergantung seberapa besar kontribusi perdagangan terhadap PDB suatu negara serta tingkat tarif yang dikenakan. Negara-negara dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor tentu akan lebih terdampak.

Namun saat ini terdapat momentum positif: masa penundaan 90 hari untuk kebijakan tarif antara AS dan China. Jika negosiasi berjalan lancar, Freddy meyakini risiko global bisa menurun dan membuka peluang revisi naik terhadap proyeksi ekonomi dunia.

AS Dilanda Tekanan Domestik, Fed Masih Bertahan

Amerika Serikat sempat mengumumkan tarif tinggi hingga 145% untuk China, namun belakangan mulai melunak. Pemerintah AS memberikan sinyal bahwa tarif ini bersifat sementara, sementara China menyatakan keterbukaan untuk evaluasi dan negosiasi lebih lanjut.

Freddy menilai pelunakan ini adalah hasil tekanan domestik, di mn indeks keyakinan konsumen AS menurun, pasar finansial terguncang, dan potensi resesi meningkat. Di sisi lain, The Fed masih menahan diri untuk menurunkan suku bunga karena inflasi belum sepenuhnya terkendali, meskipun sudah turun dari 3,9% menjadi 2,8% sejak awal tahun. Target 2% belum tercapai, dan kekhawatiran bahwa perang tarif bisa memicu inflasi kembali naik membuat The Fed bersikap hati-hati.

“Juni akan jadi bulan krusial. Kalau dot plot The Fed sinyalkan penurunan suku bunga lebih cepat, pasar bisa rally,” kata Freddy.

Lima Jurus Pemulihan Ekonomi Indonesia

Freddy mengidentifikasi lima faktor kunci yang bisa memperbaiki prospek ekonomi Indonesia sekaligus mendukung pasar saham. Pertama, kesepakatan tarif internasional yang adil. Kedua, stabilitas nilai tukar Rupiah.

Ketiga, peluang penurunan suku bunga oleh BI. Percepatan realisasi belanja pemerintah, dan kalima harga minyak dunia yang stabil. Ia menyebut bahwa faktor-faktor ini saling terkait.

Jika perang tarif mereda, Rupiah stabil, dan BI punya ruang untuk menurunkan suku bunga. Dengan begitu, konsumsi bisa terdongkrak dan belanja negara akan lebih efektif. Sementara itu, harga minyak yang stabil atau cenderung turun akan membantu APBN menjaga keseimbangan fiskal.

“Harga minyak turun itu blessing, bisa tekan subsidi tanpa banyak korban penerimaan negara,” pungkas Freddy.

Foto Pilihan

Layar monitor menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (8/4/2025). (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |