Liputan6.com, Jakarta - Kepanikan melanda pasar obligasi global setelah lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat kredit Amerika Serikat. Selain itu, rencana reformasi pajak besar-besaran dari Presiden Donald Trump ikut memperkuat kekhawatiran investor soal kondisi fiskal dunia. Alhasil, investor beramai-ramai melepas obligasi, terutama yang berdurasi panjang.
Menurut Manajer Portofolio Pendapatan Tetap di Eastspring Investments Rong Ren Goh, kejadian seperti penurunan peringkat kredit dan kebijakan anggaran yang berisiko memperbesar defisit sering kali mendorong investor untuk meninjau ulang risiko obligasi jangka panjang.
"Hal ini memaksa investor menetapkan ulang premi risiko untuk obligasi tenor panjang,” ujarnya.
Melansir CNBC International, Jumat (23/5/2025), meski Trump gagal menggalang dukungan penuh dari Partai Republik untuk meloloskan RUU pajaknya, proposal itu tetap menjadi pemicu utama gejolak pasar. RUU tersebut diperkirakan akan menambah utang AS sebesar USD 3 hingga 5 triliun. Investor merespons dengan menjual obligasi tidak hanya di AS, tapi juga di pasar global lainnya.
Imbal Hasil Obligasi AS Melonjak, Pasar Tidak Yakin
Pasar bereaksi keras terhadap kondisi fiskal Amerika. Imbal hasil obligasi 30 tahun pemerintah AS menembus angka psikologis 5% untuk dua hari berturut-turut, menyentuh 5,088%. Ini adalah level tertinggi sejak November 2023. Sementara itu, imbal hasil obligasi 10 tahun naik lebih dari 15 basis poin sejak awal pekan.
Aksi Jual
“Pasar tidak menganggap RUU pajak Trump sebagai sesuatu yang indah,” ujar Vishnu Varathan, Direktur Pelaksana di Mizuho Securities. “Obligasi pemerintah AS (USTs) dihajar habis-habisan dalam aksi jual brutal.” Ia menegaskan bahwa pasar sangat sensitif terhadap isu fiskal yang memburuk.
Para analis mencatat aksi jual ini merupakan kelanjutan dari arus keluar besar-besaran dari aset Amerika Serikat yang sudah terjadi sejak April. Saat itu, investor masih beralih ke obligasi Jepang dan Jerman. Namun kali ini, aksi jual menyebar luas ke hampir semua pasar obligasi besar di dunia.
Jepang dan Jerman Tak Luput dari Penurunan
Obligasi pemerintah Jepang mengalami lonjakan imbal hasil tajam. Obligasi 40 tahun menyentuh rekor tertinggi baru di 3,689%, sementara tenor 30 tahun juga mendekati puncak di 3,187%. Imbal hasil obligasi acuan 10 tahun Jepang pun naik 9 basis poin menjadi 1,57% sepanjang pekan ini.
Menurut Bank of America, perubahan ini dipicu oleh faktor struktural. Perusahaan asuransi jiwa Jepang yang dulu sangat aktif membeli obligasi jangka panjang kini berhenti melakukannya karena mereka sudah memenuhi syarat regulasi solvabilitas. Hal ini membuat permintaan obligasi tenor panjang menurun drastis.
Tekanan di Pasar Obligasi
Di sisi lain, kecenderungan Bank of Japan untuk mengetatkan kebijakan moneter justru memperparah tekanan di pasar obligasi, kata Varathan. Situasi ini juga berdampak bagi Amerika. “Dengan membuat aset Jepang lebih menarik bagi investor lokal, tekanan jual terhadap obligasi AS bisa semakin besar,” tulis George Saravelos dari Deutsche Bank.
Investor Jauhi Obligasi Panjang, Tapi Pasar Berkembang Tahan Guncangan
Obligasi pemerintah Jerman, atau yang dikenal sebagai bunds, juga terkena dampaknya. Imbal hasil obligasi 30 tahun naik lebih dari 12 basis poin, sementara tenor 10 tahun naik lebih dari 6 basis poin.
Menurut Philip McNicholas dari Robeco, penyebabnya antara lain dihapusnya batas utang Jerman dan meningkatnya belanja pertahanan Eropa. Varathan dari Mizuho Securities menambahkan bahwa tekanan terhadap bunds diperkuat oleh defisit anggaran yang semakin lebar dan kemungkinan menjadi masalah struktural.
Imbal hasil obligasi pemerintah Eropa jangka panjang naik lebih dari 12 basis poin dalam sepekan, dan tenor 10 tahun naik sekitar 7 basis poin.
"Investor saat ini tidak tertarik pada obligasi berdurasi panjang,” kata Steve Sosnick, Kepala Strategi di Interactive Brokers.
Ia menambahkan, kekhawatiran terhadap inflasi global turut memperburuk daya tarik obligasi tenor panjang. Meski begitu, beberapa pasar negara berkembang seperti India dan China justru mencatat penurunan imbal hasil, berkat orientasi domestik dan kontrol modal yang kuat.