Liputan6.com, Jakarta - DPR AS yang saat ini dikuasai Partai Republik, resmi meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak dan belanja yang diajukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
RUU tersebut mengusung agenda populis dengan janji pemotongan pajak bagi individu dan korporasi, peningkatan anggaran militer, serta pengetatan pengawasan perbatasan. Di sisi lain, RUU pajak juga akan menghapus berbagai insentif energi bersih yang digagas di era Presiden Joe Biden.
Setelah mendapat persetujuan DPR, RUU ini akan dibahas di Senat AS yang juga didominasi oleh Partai Republik. Besar kemungkinan RUU ini akan disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat, mengingat keselarasan antara kedua lembaga legislatif tersebut.
Namun, pengesahan ini tidak datang tanpa konsekuensi ekonomi yang signifikan. Beban fiskal dari kebijakan ini cukup besar. Dalam proyeksi jangka panjang, RUU ini diperkirakan akan menambah utang pemerintah AS sekitar USD 3,8 triliun dalam satu dekade ke depan.
“RUU tersebut akan menambah utang pemerintah AS sebesar ~3,8 triliun dolar AS dalam 1 dekade ke depan, yang menambah kekhawatiran investor akan tingkat solvency AS,” tulis riset Stockbit Sekuritas, dikutip Sabtu (24/5/2025).
Dolar Melemah, Rupiah dan IHSG Menguat Disambut Inflow Asing
Pasar keuangan global mulai bereaksi negatif terhadap meningkatnya kekhawatiran atas beban utang pemerintah AS. Lembaga pemeringkat Moody’s pekan lalu menurunkan rating kredit pemerintah AS dari Aaa ke Aa1, menjadikan ini penurunan pertama dari Moody’s sejak 1917. Sebelumnya, Fitch dan Standard & Poor’s juga telah menurunkan peringkat utang AS pada 2023 dan 2021.
Dolar AS Melemah
Kondisi ini langsung tercermin pada indeks dolar AS (DXY), yang pada perdagangan Jumat, 23 Mei 2025 turun -0,6% ke level 99,36.
Sejak awal tahun, DXY telah terkoreksi -8,4% secara year-to-date (YTD), mencerminkan pelemahan dolar yang cukup dalam. Yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat flat di level 4,528%, menunjukkan kekhawatiran investor terhadap prospek fiskal jangka panjang.
Sementara itu dari dalam negeri, rupiah justru menguat 0,67% terhadap dolar AS ke level 16.217. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun naik 0,66% ke 7.214,16, didukung oleh masuknya aliran dana asing sebesar Rp 589 miliar.
“Tren pelemahan dolar AS diproyeksikan dapat mendorong penguatan nilai tukar rupiah bahkan ke level di bawah 16.000 pada 4Q25,” jelas riset tersebut.
Saham Potensial: Big 4 Bank hingga Emiten Padat Impor
Pelemahan dolar AS dan ekspektasi penguatan rupiah menjadi sinyal positif bagi pasar saham Indonesia. Saham-saham perbankan besar seperti BBCA, BMRI, BBNI, dan BBRI diproyeksikan mendapat dorongan dari potensi berlanjutnya foreign inflow ke IHSG. Penguatan IHSG yang didorong oleh sentimen global ini akan memberi ruang lebih bagi sektor perbankan untuk menguat.
Tak hanya perbankan, emiten yang memiliki eksposur impor tinggi atau beban utang dalam dolar AS juga akan diuntungkan. Emiten seperti Indofood CBP (ICBP), Kalbe Farma (KLBF), dan Mitra Adiperkasa (MAPI) termasuk dalam daftar saham yang paling sensitif terhadap pergerakan nilai tukar.
Jika rupiah terus menguat, margin keuntungan perusahaan-perusahaan ini berpeluang meningkat secara signifikan. Secara umum, penguatan rupiah akan menekan beban biaya impor dan beban keuangan dalam dolar.
“Secara kinerja, penguatan rupiah akan berdampak positif terhadap emiten yang memiliki porsi impor utang dolar AS yang besar, seperti ICBP, KLBF, dan MAPI,” tulis tim riset Stockbit.
IHSG Sepekan
Data perdagangan saham di BEI selama sepekan ditutup bervariasi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat pada level 7.214,163, naik 1,51% dibandingkan pekan sebelumnya.
Kenaikan ini turut mendorong kapitalisasi pasar menjadi Rp 12.561 triliun, naik 1,97% dari Rp 12.318 triliun pada minggu sebelumnya. Meski indeks dan kapitalisasi pasar meningkat, volume perdagangan mengalami penurunan.
Total volume transaksi selama sepekan tercatat 113,881 miliar saham, turun dari 150,140 miliar saham. Rata-rata harian volume transaksi pun menyusut 24,15% menjadi 22,776 miliar saham.
Nilai dan frekuensi perdagangan juga menunjukkan pelemahan. Nilai transaksi mingguan turun 12,51% menjadi Rp 72,604 triliun, dengan rata-rata harian Rp 14,521 triliun. Frekuensi transaksi harian juga turun 4,46% menjadi 1,359 juta kali, dibandingkan 1,422 juta kali pada pekan sebelumnya.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.