OPINI: Saatnya Komunikasi Publik Naik Kelas

14 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Dalam wawancara dengan sejumlah jurnalis di Hambalang, Presiden Prabowo Subianto mengakui bahwa komunikasi merupakan kelemahan utama dalam 150 hari pertama pemerintahannya. Ia menuturkan bahwa pendekatan kerja yang menitikberatkan pada aksi cepat di lapangan belum diimbangi dengan strategi komunikasi publik yang memadai.

Pernyataan ini adalah momentum penting: pengakuan bahwa komunikasi bukan sekadar pelengkap, melainkan jantung dari legitimasi kebijakan.

Namun, pengakuan tidak cukup. Pemerintah Indonesia harus melangkah lebih jauh dengan mereformasi cara pandang dan struktur komunikasi pemerintah, menjadikannya sebagai pilar strategis setara dengan fungsi legislasi, regulasi, dan fiskal.

Belajar dari Inggris: Komunikasi Publik Setara dengan Regulasi

Laporan terbaru Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD,2023) menegaskan bahwa public communication adalah satu dari empat tuas utama pemerintah untuk menciptakan perubahan, bersama legislasi, regulasi, dan pajak.

Di Inggris, Government Communication Service (GCS) telah menempatkan fungsi komunikasi publik di tingkat eselon 1, dengan struktur yang memungkinkan komunikasi menjadi bagian integral dari siklus kebijakan — dari perencanaan hingga implementasi dan evaluasi.

GCS tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga mendengarkan, memahami wacana publik, dan menggunakannya sebagai landasan dalam perumusan kebijakan. Mereka bahkan memiliki CEO khusus yang setara dengan direktur jenderal dan melapor langsung ke Cabinet Office, menjamin bahwa komunikasi tidak sekadar “spanduk dan siaran pers”, melainkan fungsi strategis untuk demokrasi.

Kondisi Indonesia: Komunikasi Publik Masih Bersifat Taktis

Di Indonesia, fungsi komunikasi publik masih terjebak dalam pendekatan reaktif dan hirarki birokrasi yang membatasi peran strategisnya.

Banyak kementerian menempatkan komunikasi pada level direktorat atau subbagian, sehingga tak memiliki kekuatan untuk terlibat dalam perumusan kebijakan atau pengambilan keputusan lintas sektor.

Akibatnya, komunikasi cenderung menjadi alat klarifikasi, bukan artikulasi. Bukan tidak ada niat baik—tetapi struktur dan strategi belum mendukung peran transformasional komunikasi publik dalam membangun kepercayaan dan legitimasi kebijakan.

Strategi Reformasi: Menempatkan Komunikasi Publik sebagai Pilar Tata Kelola

Ada lima langkah strategis yang mendesak dilakukan pemerintah:

1. Naikkan Fungsi Komunikasi ke Eselon 1

Ini bukan sekadar perubahan struktur, tetapi pernyataan politik bahwa komunikasi adalah komponen esensial dalam pengambilan kebijakan dan penguatan demokrasi.

2. Terapkan Mandat dan Jalur Pelaporan Langsung ke Pimpinan Lembaga

Berdasarkan rekomendasi OECD, jalur pelaporan komunikasi harus langsung ke pemimpin instansi, bukan sebagai fungsi bawah yang hanya berperan pasca-krisis.

3. Bentuk Kerangka Koordinasi Komunikasi Lintas Kementerian

Banyak kebijakan bersifat lintas sektor. Diperlukan task force komunikasi nasional untuk menjamin keselarasan pesan dan pengelolaan persepsi publik secara kolektif.

4. Pilih Juru Bicara Secara Strategis

Mengacu pada Ronald D. Smith (2020), juru bicara bukan hanya penyampai pesan, tapi representasi dari kredibilitas, kontrol, dan karisma institusi. Mereka harus dipilih berdasarkan kombinasi integritas, penguasaan substansi, dan empati sosial — bukan semata loyalitas politik.

Bangun Fungsi Listening & Insight

Sebagaimana dicontohkan GCS Inggris, mendengarkan wacana publik secara sistematis merupakan syarat utama dalam merancang komunikasi yang relevan dan dipercaya.Memperkuat Demokrasi dan Kepercayaan Publik

Komunikasi publik bukan sekadar “penyuluh program”—ia adalah prasyarat kepercayaan. Dalam ekosistem informasi yang penuh polarisasi, seperti yang disebutkan dalam OECD Public Communication Scan of the United Kingdom (2023), komunikasi publik yang etis, inklusif, dan berbasis data menjadi benteng terakhir demokrasi.

Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada informasi resmi, yang lahir bukan sekadar kebingungan, tetapi ketidakpedulian dan apatisme terhadap negara.

Karena itu, pemerintah Indonesia harus berani mentransformasikan komunikasi publik dari fungsi pelengkap menjadi kekuatan pengikat antara negara dan rakyat.

Seperti kata Presiden Prabowo, “Saya mau perbaiki itu.” Maka, mari perbaiki secara sistemik — mulai dari struktur, mandat, hingga sumber daya manusia. Bukan sekadar agar pemerintah “terdengar”, tetapi agar rakyat merasa “didengar”.

Penulis: Fardila Astari/ Measurement & Strategic Communications Expert, Reputasia Strategic Communications Consulting dan Mahasiswa Doktoral Sosiologi, Universitas Indonesia

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |