Meneropong Prospek Saham Emiten Rokok pada 2025

2 days ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tidak akan mengalami kenaikan pada 2025. Hal itu merujuk pada keputusan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2024 tentang tarif cukai hasil tembakau berupa rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

Serta PMK Nomor 97 Tahun 2024 tentang tarif cukai hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot dan tembakau iris.

Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana menilai, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025 memberikan angin segar bagi sektor emiten rokok seperti HMSP dan GGRM. Kebijakan ini memungkinkan harga jual rokok tetap stabil, sehingga daya beli masyarakat, terutama perokok aktif, tidak terganggu.

Dengan stabilnya harga, emiten memiliki peluang untuk meningkatkan volume penjualan, terutama di segmen rokok kretek yang menjadi andalan kedua emiten tersebut.

"Selain itu, tanpa adanya kenaikan cukai, beban biaya yang biasanya menjadi komponen terbesar dalam struktur harga rokok dapat ditekan, sehingga margin keuntungan berpotensi meningkat. Emiten juga dapat lebih fokus pada strategi pemasaran dan inovasi produk untuk mempertahankan loyalitas konsumen," kata hendra kepada Liputan6.com, ditulis Sabtu (21/12/2024).

Namun, meskipun cukai tidak naik, ada sejumlah sentimen lain yang akan mempengaruhi sektor ini pada 2025. Daya beli masyarakat tetap menjadi faktor kunci, terutama jika kondisi ekonomi makro seperti inflasi dan pengangguran tetap terkendali.

Sentimen Lain yang Bayangi Emiten Rokok

Di sisi lain, perubahan preferensi konsumen menuju produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan dapat menjadi tantangan tersendiri bagi emiten tradisional.

"Selain itu, kampanye anti-rokok yang terus berjalan, termasuk pembatasan iklan dan regulasi baru terkait kemasan atau distribusi, juga menjadi risiko yang perlu diwaspadai," kata Hendra.

Melihat potensi stabilitas harga dan peluang peningkatan margin, Hendra merekomendasikan speculative BUY untuk HMSP dengan target harga Rp 710 dan GGRM dengan target harga Rp 14.225. HMSP memiliki posisi dominan di segmen rokok mesin dengan merek kuat, sementara GGRM unggul di segmen rokok kretek dengan jaringan distribusi yang luas.

"Stabilitas cukai memberi keduanya ruang untuk meningkatkan kinerja operasional dan mengoptimalkan strategi bisnis di tengah tantangan yang ada. Namun, investor perlu terus memantau perkembangan daya beli masyarakat dan regulasi yang dapat mempengaruhi prospek jangka panjang sektor ini," ujar Hendra.

 Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Mengintip Rapor Emiten Rokok hingga September 2024, Laba Kompak Ambrol

Sebelumnya, sejumlah emiten rokok telah melaporkan kinerja keuangan perusahaan untuk periode sembilan bulan yang berakhir pada 30 September 2024. Pada periode tersebut, emiten rokok kompak bukukan penurunan laba meski dari sisi pendapatan bervariasi.

Penurunan laba paling signifikan dicatatkan oleh emiten rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Laba GGRM hingga September 2024 turun 77,74 persen menjadi sebesar Rp 992,2 miliar dari Rp 4,46 triliun pada September 2023. Penurunan laba terjadi bersamaan dengan pendapatan per September 2024 yang turun menjadi Rp 73,89 triliun dibandingkan September 2024 yang tercatat sebesar Rp 81,75 triliun

Selanjutnya PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). WIIM membukukan laba Rp 207,51 miliar, turun 52,99 persen dibandingkan laba September 2023 yang tercatat sebesar Rp 441,4 miliar. Penurunan laba sejalan dengan penjualan per September 2024 yang mengalami penurunan 7,76 persen menjadi RP 3,43 triliun dibanding Rp 3,72 triliun pada September 2023.

Kinerja Lainnya

Laba PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) turun 15,80 persen menjadi Rp 5,22 triliun per September 2024 dari Rp 6,21 triliun pada Desember 2023. Penurunan laba terjadi bahkan ketika penjualan mengalami kenaikan.

Hingga September 2024, perseroan membukukan penjualan Rp 88,46 triliun dibandingkan penjualan pada September 2023 yang tercatat sebesar Rp 87,27 triliun. Namun seiring dengan itu, beban pokok penjualan juga bengkak, mengakibatkan laba kotor mengalami penurunan.

Sementara laba PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) turun 10,20 perne menjadi Rp 16,94 miliar pada September 2024 dibandingkan posisi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 18,86 miliar. Penurunan terjadi meski perseroan membukukan pertumbuhan dari sisi penjualan.

Sampai dengan September 2024, perseroan membukukan penjualan Rp 243,07 miliar dibandingkan Rp 221,15 miliar pada September 2023. Namun bersamaan dengan itu, beban pokok penjualan ikut naik sehingga menekan laba kotor.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |