Kebijakan Tarif 32 Persen Trump, Bikin Ekonomi Indonesia Melemah di Tengah Euforia Lebaran

2 days ago 11

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan tarif 32 persen Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap produk Indonesia, turut melemahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lebaran Idul fitri 2025, yang biasanya menjadi mesin penggerak konsumsi masyarakat, justru menjadi refleksi melemahnya perekonomian nasional.

Jumlah pemudik turun tajam menjadi 146 juta orang, anjlok 24 persen dibandingkan 194 juta pemudik pada 2024. Tak hanya itu, peredaran uang selama Lebaran 2025 hanya mencapai Rp137,97 triliun, turun 12,3 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp157,3 triliun.

“Lebaran tahun ini jadi cerminan nyata bahwa masyarakat mulai menahan diri dalam pengeluaran,” ujar Dymasius Yusuf Sitepu, analis ekonomi lulusan National University of Singapore dan Nanyang Technological University.

Menurutnya, pelemahan ekonomi terlihat pada Ramadan dan Idul Fitri 1446H/2025 tahun ini, momen yang bisanya menjadi puncak konsumsi, justru menunjukkan tanda-tanda pengetatan ikat pinggang.

“Fenomena ini diperkuat oleh data penurunan Indeks Keyakinan Konsumen, dari 127,2 pada Januari menjadi 126,4 pada Februari 2025,” kata dia.

Akibat fenomena itu, masyarakat menjadi semakin selektif dalam membelanjakan uang, dengan tren meningkatnya konsumsi di rumah dan berkurangnya pembelian barang-barang non-esensial selama Ramadan dan Idulfitri.

“Sinyal Deflasi dan Bayangan Resesi Penurunan konsumsi mulai memberi dampak nyata pada angka inflasi,” ujar dia mengingatkan.

Badan Pusat Statistik mencatat Indonesia mengalami deflasi bulanan sebesar -0,76 persen pada Januari dan -0,48 persen pada Februari 2025. Secara tahunan, ini berarti Indonesia mencatat deflasi -0,09 persen (yoy) - deflasi tahunan pertama sejak Maret 2000.

Deflasi saat ini ujar dia, dipicu oleh diskon tarif listrik dari pemerintah, namun bila berlangsung lama, ada risiko spiral deflasi yang berbahaya.

“Jika konsumen menunda konsumsi karena ekspektasi harga akan terus turun, itu bisa memperlemah permintaan agregat, yang akhirnya memicu kontraksi ekonomi,” papar dia.

Kondisi ini diperparah dengan stagnasi pada sektor perhotelan dan pariwisata. Asosiasi Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat bahwa 88 persen pelaku usaha hotel mempertimbangkan PHK karena rendahnya tingkat hunian dan pemangkasan anggaran perjalanan dinas.

Ia mencontohkan okupansi hotel di Yogyakarta yang bisanya berada di atas 80 persen, lebaran Idul Fitri kali ini hanya berada di kisaran angka 60-70 persen.

“Pariwisata domestik seharusnya menjadi penopang saat ekspor terganggu, tapi kini justru ikut melemah, ini sinyal serius,” ujar dia.

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan tarif dasar 10 persen untuk seluruh impor global, dan secara spesifik mengenakan tarif 32 persen untuk produk dari Indonesia. “Tarif sebesar itu sangat ekstrem,” ujar Dymasius.

Dengan kebijakan itu, mayoritas produk Indonesia dikhawatirkan kehilangan daya saing di pasar AS. Barang yang tadinya bisa dijual seharga $100, sekarang harus dijual $132.

“Ini akan mendorong konsumen AS beralih ke produk dari negara lain,” kata dia.

Sektor-sektor ekspor unggulan Indonesia seperti otomotif, elektronik, tekstil dan garmen, alas kaki, serta furnitur diprediksi terkena dampak besar. Industri tekstil, yang telah kehilangan lebih dari 30 pabrik dalam tiga tahun terakhir, kini menghadapi ancaman lebih serius.

“Jika tidak diantisipasi, akan ada PHK besar-besaran di sektor padat karya,” ujar dia.

Gedung Putih menyatakan alasan di balik tarif tinggi tersebut mencakup surplus perdagangan Indonesia dengan AS sebesar $16,84 miliar, serta ketidakseimbangan tarif dan hambatan non-tarif seperti regulasi TKDN dan sistem perizinan yang kompleks.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |