Liputan6.com, Jakarta Saham Telkom Indonesia atau TLKM kembali mengalami kenaikan signifikan pada perdagangan Kamis, 15 Mei 2025. Setelah sepanjang 2024 dan awal 2025 tertekan hingga ke kisaran Rp 2.000-an, investor mulai melihat peluang untuk melakukan pembelian kembali di harga murah.
Menurut Pengamat Pasar Modal sekaligus founder Traderindo.com, Wahyu Laksono, pergerakan ini kemungkinan besar merupakan rebound teknikal, bukan karena perubahan mendasar yang signifikan. Wahyu menilai bahwa tekanan jual berlebih yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir menyebabkan kondisi oversold pada Telkom.
Dalam kondisi ini, pelaku pasar cenderung memanfaatkan momentum untuk aksi beli jangka pendek. Di sisi lain, indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sedang positif turut memberi angin segar bagi saham-saham blue-chip seperti TLKM.
“Aktivitas short covering dan ekspektasi dividen juga bisa menjadi alasan tambahan yang mendorong kenaikan harga, meski belum ada kabar resmi dari perusahaan,” jelas Wahyu kepada Liputan6.com, Kamis (15/5/2025).
Pandangan Strategis: Buy on Weakness dan Target Harga TLKM
Meski sentimen hari ini positif, Wahyu mengingatkan agar investor tetap berhati-hati. Ia melihat bahwa tren jangka menengah TLKM masih menunjukkan tekanan, namun kondisi oversold memberi ruang untuk strategi buy on weakness. Dalam jangka pendek hingga menengah, Wahyu menyarankan investor mencermati level support dan resistance.
Harga TLKM yang sempat menyentuh dekat level Rp2.000 disebutnya sebagai level psikologis penting. Di area ini, investor dengan horizon menengah hingga panjang bisa mempertimbangkan akumulasi bertahap. Wahyu memberikan rentang target harga optimistis antara Rp2.800 hingga Rp3.300, dengan catatan tidak ada sentimen negatif lanjutan dari fundamental perusahaan.
“Saham anjlok, medium term oversold, rebound, buy on weakness dengan target 2800-3300. Di dekat 2000, buy,” saran Wahyu.
Masalah Internal Telkom: Ketika Struktur Manajemen Dipertanyakan
Di sisi lain, pengamat ekonomi dari Direktur Eksekutif Nasional Institut, Riyanda Barmawi menilai penurunan harga saham TLKM hingga hampir 50% dalam satu tahun terakhir bukan hanya akibat tekanan pasar, tetapi juga cerminan dari ketidakpercayaan investor terhadap manajemen perusahaan. Riyanda menyoroti struktur manajemen yang nyaris tak berubah dalam dua dekade terakhir.
Menurut Riyanda, stagnasi dalam komposisi jajaran direksi bisa memicu kejenuhan investor. Contohnya, Ririek Adriansyah telah menjabat posisi penting di Telkom Group lebih dari 14 tahun, termasuk sebagai Direktur Utama Telkomsel dan kini Dirut Telkom. Hal serupa juga berlaku untuk tokoh-tokoh lain seperti Honesti Basyir dan Heri Supriadi yang telah mengabdi belasan tahun di berbagai lini Telkom Group.
“Selain soal kinerja dan berbagai keputusan bisnis, mungkin pasar jenuh melihat komposisi struktur manajemen Telkom yang rata-rata jajaran Board of Direction (BOD) nya sudah terlalu lama menjabat,” ujar Riyanda dalam keterangannya.
Pemerintah Diminta Turun Tangan
Melihat perkembangan yang ada, Riyanda secara tegas menyerukan agar pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas Telkom segera melakukan penyegaran di tubuh perusahaan. Menurutnya, stagnasi manajemen tidak hanya berisiko bagi investor, tapi juga terhadap reputasi dan peran Telkom sebagai BUMN strategis dalam ekonomi digital Indonesia.
Riyanda juga menyoroti pentingnya Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 27 Mei 2025 mendatang, yang menurutnya harus menjadi momentum untuk mengevaluasi jajaran direksi. Ia khawatir jika pembenahan tidak dilakukan, penurunan nilai saham TLKM bisa membebani kinerja Badan Pengelola Investasi Danantara, tempat Telkom menjadi salah satu portofolio utama.
“Bagi mereka (investor) struktur manajemen yang tak alami penyegaran sama saja tidak memberikan harapan baru. Jadi, anjloknya nilai saham Telkom yang hampir kurang lebih 50 persen itu bisa jadi disebabkan adanya distrust dari para investor. Ini saya kira alarm serius bagi para pemegang saham untuk tidak membiarkan kondisi ini berlarut-larut,” tegas Riyanda.