Harga Melonjak Tajam, Punya Mobil Baru di Jerman Makin Sulit

Liputan6.com, Jakarta - Dunia otomotif di Jerman sedang menghadapi masa sulit. Harga mobil baru di negara ini dilaporkan meningkat secara drastis hingga 40 persen sejak 2019, sedangkan penjualan malah turun lebih dari 20 persen pada periode yang sama.

Dilansir autonews, lonjakan harga ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari inflasi, biaya produksi energi yang meningkat, hingga penerapan regulasi emisi yang semakin ketat.

Tak hanya mobil listrik atau hybrid saja yang terkena dampaknya, tetapi juga pada kendaraan bermesin konvensional.

Sebagian besar kenaikan harga ini berasal dari biaya produksi dan bahan baku, bukan hanya karena teknologi baru.

Segmen mobil terjangkau menjadi yang paling terdampak, sebab mobil di bawah Rp 490 juta kini semakin langka di pasar otomotif Jerman.

Pada sisi lainnya, merek premium masih bertahan karena para pelanggan cenderung tidak terlalu sensitif terhadap harga.

Banyak pembeli yang seharusnya memilih mobil yang baru kini beralih ke mobil bekas, leasing, atau bahkan menunda pembelian akibat tekanan ekonomi yang kian terus meningkat.

Pada kondisi seperti ini menjadi tantangan berat bagi produsen otomotif Jerman. Jika tren ini terus berlanjut, pasar mobil baru bisa semakin mengecil dan berdampak pada industri secara keseluruhan.

Untuk menghadapi situasi ini, para analis menyarankan produsen agar lebih adaptif, dengan menawarkan model yang lebih terjangkau, memperluas opsi pembiayaan, serta menyesuaikan strategi produksi agar tetap kompetitif di tengah ketidakpastian ekonomi.

Peningkatan harga mobil baru di Jerman tak lepas dari dorongan kuat menuju era elektrifikasi. Biaya untuk mengembangkan mobil listrik dan teknologi yang ramah lingkungan membuat ongkos produksi melonjak.

Hal ini diperparah dengan biaya energi yang tinggi dan aturan emisi karbon semakin ketat di kawasan Eropa.

Sekitar dua pertiga soal kenaikan harga kendaraan baru disebut berasal dari inflasi umum serta kompleksitas sistem kelistrikan modern yang kini wajib diterapkan.

Transisi ke kendaraan listrik memang membawa dampak positif terhadap lingkungan, namun juga dapat menimbulkan tekanan ekonomi bagi produsen dan konsumen.

Mobil berbahan bakar fosil kini semakin berkurang di lini produksi, menyebabkan biaya produksi massal meningkat.

Dalam lima tahun terakhir, daya beli masyarakat Jerman terhadap mobil baru dilaporkan turun hingga 11 persen, menunjukan bahwa mobil kini bukan lagi kebutuhan mudah dijangkau seperti sebelumnya.

Akibat dari kondisi tersebut, banyak konsumen akhirnya menunda pembelian atau beralih ke mobil bekas.

Dealer di Jerman juga harus bekerja lebih keras lagi dengan menawarkan program cicilan ringan, paket pembiayaan jangka panjang, serta promosi khusus untuk menarik pembeli.

Tantangan ini memaksa industri untuk berinovasi agar tetap relevan di pasar yang berubah begitu cepat.

Dengan menurunnya mobil baru ini menimbulkan efek domino bagi industri otomotif Jerman. Negara yang selama ini dikenal sebagai rumah bagi merek besar seperti Volkswagen, BMW, dan Mercedes-Benz kini mengadapi tekanan besar akibat turunnya minat beli di pasar domestik.

Di sisi lain, produsen asal Tiongkok dan Korea Selatan mulai masuk dengan menawarkan mobil listrik yang lebih murah, yang mengancam dominasi produsen Eropa.

Di balik krisis ini, justru memberikan peluang baru. Industri mobil bekas, layanan sewa kendaraan, dan model bisnis berbasis mobilitas (ride-sharing) mulai berkembang pesat.

Banyak produsen kini mempertimbangkan pergeseran fokus dari penjualan unit baru menuju layanan mobilitas menyeluruh yang lebih fleksibel.

Bagi pasar global, termasuk Indonesia, fenomena di Jerman justru bisa menjadi peringatan penting. Ketika biaya produksi dan regulasi yang semakin ketat, harga mobil baru di pasar lain pun berpotensi ikut meningkat.

Oleh karena itu, para konsumen di Indonesia sebaiknya mulai memperhitungkan total biaya kepemilikan kendaraan termasuk pada perawatan, pajak, dan konsumsi energi, sebelum membeli mobil baru, terutama yang berteknologi elektrifikasi.

Kenaikan harga mobil baru di Jerman hingga 40 persen dan turunnya penjualan lebih dari 20 persen menandai perubahan besar dalam industri otomotif Eropa.

Era mobil listrik dan transisi menuju teknologi hijau memang penting, namun dampak ekonominya tidak bisa diabaikan.

Produsen perlu mencari keseimbangan antara inovasi dan keterjangkauan, sementara konsumen harus semakin cerdas dalam menentukan pilihan.

Langkah-langkah yang strategis seperti pengembangan model hemat biaya, penyesuaian harga, dan peningkatan layanan pembiayaan bisa menjadi kunci untuk menjaga stabilitas pasar di tengah perubahan besar ini.

Jika tidak diantisipasi, krisis harga di Jerman bisa menjadi cermin masa depan bagi banyak negara lain yang sedang menuju elektrifikasi massal.