Fenomena Skill Trap, Tantangan yang Dihadapi Pekerja Muda Indonesia

2 days ago 14

Liputan6.com, Yogyakarta - Cuitan sebuah akun di media sosial X, soal lowongan Asisten Rumah Tangga (ART) dan Baby Sitter yang saat ini penuhnya pelamar dari lulusan sarjana. Warganet merespon cuitan itu karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan.

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada, Dian Fatmawati mengatakan ada tantangan dan ancaman kalau kondisi ini terus berjalan di tengah lonjakan bonus demografi. Membeludaknya jumlah tenaga kerja ini baginya merupakan hal yang wajar dalam bonus demografi, namun pemerintah tidak memanfaatkannya. “Antara tahun 2020-2030 kita punya banyak sekali angkatan kerja, tapi di lain pihak tren lapangan kerja bukannya bertambah malah semakin menurun,” ungkap Dian, Selasa (8/4/2025)

Menurut Dian kondisi ekonomi-politik Indonesia saat ini sangat tidak menguntungkan bagi ketersediaan lapangan kerja. Terlihat dari lesunya ekonomi, daya beli masyarakat menurun, pendapatan produsen menurun, hingga rendahnya penghasilan masyarakat. “Jika lingkaran tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan segera menghadapi krisis ekonomi,” paparnya.

Dampak minimnya lapangan kerja ini bagi lapisan masyarakat bisa berbeda, yang masih memiliki kemampuan finansial mungkin masih dapat bertahan. Sementara yang tidak bisa mendapatkan penghasilan tanpa bekerja tentu sangat dirugikan sehingga beresiko memunculkan skill trap atau jebakan keterampilan. “Mereka terpaksa bekerja di sektor-sektor yang tidak sesuai dengan kompetensi, biasanya mengambil pekerjaan di bawah kualifikasi yang  mereka miliki. Ini memunculkan fenomena skill trap,” terang Dian.

Dian menjelaskan fenomena skill trap merupakan kondisi di mana seseorang tidak mendapatkan penambahan kompetensi sesuai bidangnya. Skill-trap dapat disebabkan oleh tidak adanya wadah yang sesuai untuk melatih dan mengelola kompetensi. Seseorang hanya bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan bertahan hidup. Fenomena ini cukup menjelaskan meningkatkan tren pekerja informal dari tahun ke tahun.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan di tahun 2019 pekerja sektor informal mencapai 74,09 juta orang (57,27% dari populasi). Kemudian meningkat di tahun 2024 hingga 84,13 juta orang (59,17% dari populasi). “Hampir 60% masyarakat kita bekerja secara self-employed, mempekerjakan dirinya sendiri karena tidak ada lowongan. Kita juga mengenal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tetapi dengan kondisi ekonomi seperti ini UMKM juga sulit bertahan,” kata Dian.

Ia menyoroti viralnya tagar #KaburAjaDulu sebagai bentuk solusi dari masyarakat dengan bekerja di luar negeri yang kekurangan tenaga kerja di tengah melimpahnya lapangan pekerjaan. Sementara sejak dulu, pekerja migran menjadi opsi yang menarik, melihat kondisi negara seperti Hongkong, Taiwan, dan Jepang yang sedang mengalami usia penduduk tua, justru bisa menjadi kesempatan bagus bagi angkatan kerja Indonesia. “Pekerja migran dianggap sebagai ‘pahlawan devisa’ juga, ya karena ada pendapatan negara di sana. Meskipun banyak lowongan yang umumnya low skilled, tetapi yang high skilled saya kira juga banyak. Ini bisa jadi opsi yang debatable,” ucap Dian.

Dian mengatakan untuk memaksimalkan pekerja migran, pemerintah harus mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut, seperti pelatihan, seleksi negara tujuan dan penerima jasa, serta jaminan perlindungan pekerja migran. 

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |