Liputan6.com, Jakarta Sejumlah perusahaan konstruksi pelat merah atau BUMN Karya masih bergulat dalam fase pemulihan finansial. Perusahaan-perusahaan tersebut telah lebih dari satu dekade terbebani utang jumbo akibat gencarnya pembangunan infrastruktur nasional. Meski mulai menunjukkan penurunan liabilitas pada kuartal I-2025, tekanan terhadap kinerja keuangan belum sepenuhnya mereda.
PT PP Tbk (PTPP), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) mencatat penurunan beban liabilitas secara tahunan. Namun, dampak positif terhadap profitabilitas masih terbatas. Tercermin dari laba bersih ADHI yang terjun bebas hingga 96,88% secara tahunan (year-on-year/YoY), serta kerugian bersih WSKT yang mencapai Rp 1,24 triliun.
Sejumlah upaya efisiensi, termasuk pemangkasan biaya dan divestasi aset non-inti, tengah dilakukan oleh para emiten tersebut. Namun, realisasi kontrak baru yang cenderung melambat turut menambah tekanan dari sisi pendapatan. Kondisi ini memunculkan risiko utama berupa jebakan likuiditas jangka pendek. Jika utang terus dijadikan penyangga operasional tanpa disertai pendapatan yang sehat, hal ini dapat memperbesar tekanan bunga dan meningkatkan potensi gagal bayar.
"Risiko utama bila utang terus digunakan untuk menambal kebutuhan operasional adalah jebakan likuiditas jangka pendek yang berpotensi menambah tekanan bunga dan memperbesar kemungkinan gagal bayar," kata Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana kepada Liputan6.com, Selasa (6/5/2025).
Rencana pemerintah untuk menggabungkan sejumlah BUMN Karya ke dalam satu entitas menjadi sorotan utama sebagai solusi jangka menengah. Ide merger ini muncul sebagai respon atas kebutuhan akan sinergi operasional yang lebih kuat, efisiensi biaya, serta kemampuan untuk bersaing dalam proyek strategis berskala besar. Dengan menyatukan kekuatan, diharapkan tercipta entitas yang lebih solid secara keuangan maupun manajerial.
Namun, para analis menilai bahwa penggabungan entitas saja tidak cukup. Merger perlu disertai reformasi menyeluruh terhadap model bisnis dan tata kelola perusahaan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan proyek, efisiensi pelaksanaan, hingga pembenahan sistem pelaporan keuangan dan manajemen risiko menjadi elemen penting agar merger tidak sekadar menjadi langkah administratif semata.
Meski masih dalam tahap kajian, wacana ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang melihatnya sebagai momentum untuk membangun kembali fondasi bisnis BUMN Karya dengan lebih sehat dan berkelanjutan. Jika dijalankan dengan baik, merger ini berpotensi memperbaiki persepsi investor sekaligus memperkuat daya saing global.
"Rencana merger BUMN Karya menjadi salah satu solusi jangka menengah yang tengah dikaji pemerintah, dengan harapan tercipta sinergi operasional, efisiensi biaya, serta memperkuat posisi tawar dalam proyek strategis. Namun, merger saja tak cukup jika tidak dibarengi dengan reformasi model bisnis dan perbaikan tata kelola," terang Hendra.
Peran Danantara dan PMN dalam Restrukturisasi Sektor Konstruksi
Suntikan dana melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) dan pembentukan BUMN Holding Investasi bernama Danantara turut menjadi bagian dari strategi besar pemerintah untuk mendorong restrukturisasi sektor konstruksi nasional. Danantara didesain sebagai institusi yang tidak hanya menyuntikkan modal, tetapi juga aktif menjembatani BUMN Karya dengan mitra investasi strategis dan institusi keuangan global.
Melalui Danantara, pemerintah berharap dapat mengurangi ketergantungan pada utang jangka pendek, sekaligus mempercepat proses transformasi keuangan dan bisnis BUMN konstruksi. Selain membantu merestrukturisasi utang, Danantara juga diharapkan mampu membawa praktik tata kelola yang lebih modern dan profesional dalam tubuh BUMN Karya.
Meski demikian, Hendra menekankan bahwa keberhasilan Danantara sangat tergantung pada efektivitas pelaksanaan dan kualitas mitra strategis yang berhasil digaet. “Keberlanjutan suntikan fiskal juga tak bisa dijadikan solusi permanen, karena akan membebani APBN jika tidak diikuti perbaikan kinerja,” ungkap Hendra.
Menarik Investasi Lewat Skema Alternatif yang Berkelanjutan
Pemerintah dan pelaku industri juga mulai melirik sumber pembiayaan alternatif sebagai langkah jangka panjang untuk mengurangi beban fiskal negara. Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), penerbitan obligasi hijau (green bond), hingga pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) melalui Danantara kini tengah dipersiapkan sebagai opsi pembiayaan yang lebih berkelanjutan.
Langkah ini sejalan dengan tren global yang menekankan pentingnya pendanaan hijau dan berkelanjutan dalam proyek infrastruktur. Dengan potensi proyek bernilai besar di sektor energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, dan konstruksi berkelanjutan, peluang untuk menarik minat investor internasional masih terbuka lebar.
Meski pasar modal masih menunjukkan kehati-hatian—tercermin dari status suspensi saham WIKA dan WSKT serta valuasi rendah pada PTPP dan ADHI—pembukaan peluang investasi lewat skema yang lebih sehat ini diyakini mampu mengembalikan kepercayaan pasar secara bertahap.
"Kepercayaan pasar hanya akan pulih jika BUMN Karya mampu menunjukkan konsistensi dalam menurunkan utang, menyehatkan arus kas, serta mencatatkan perolehan kontrak baru yang berkualitas," ujar Hendra.
Rekomendasi Saham BUMN Katya di Tengah Upaya Transformasi
Meskipun tantangan masih membayangi, potensi pemulihan tetap ada. Dalam jangka pendek, saham PTPP secara teknikal direkomendasikan ‘buy’ dengan target harga Rp 442. Sementara saham ADHI dinilai bersifat spekulatif dengan target Rp 306.
Ini mencerminkan masih adanya peluang bagi investor yang siap mengambil risiko berdasarkan potensi jangka menengah dan panjang dari transformasi sektor ini. Namun, investor tetap disarankan untuk mencermati dengan seksama aksi korporasi, progres merger, dan dukungan kebijakan pemerintah.
“Kepercayaan pasar hanya akan pulih jika BUMN Karya mampu menunjukkan konsistensi dalam menurunkan utang, menyehatkan arus kas, serta mencatatkan perolehan kontrak baru yang berkualitas,” tegas Hendra. Jika momentum reformasi ini dijaga dengan komitmen yang kuat, sektor BUMN Karya tidak hanya akan kembali sehat, tetapi juga mampu menjadi motor utama dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Liabilitas BUMN Karya pada Kuartal I 2025
Liabilitas ADHI sampai dengan 31 Maret 2025 tercatat sebesar Rp 24,82 triliun, turun dibandingkan liabilitas akhir tahun lalu yang tercatat sebesar Rp 25,37 triliun. Terdiri dari liabilitas jangka pendek senilai Rp 19,46 triliun dan liabilitas jangka panjang Rp 5,36 triliun.
Liabilitas WSKT turun menjadi Rp 68,14 triliun pada Maret 2025 dibandingkan Rp 69,28 triliun pada akhir 2024. Sebesar Rp 21,18 triliun tercatat sebagai liabilitas jangka pendek. Sisanya sekitar Rp 46,96 triliun tercatat sebagai liabilitas jangka panjang.
Liabilitas WIKA tercatat sebesar Rp 50,04 triliun, turun dibandingkan posisi akhir tahun lalu yang tercatat sebesar Rp 51,68 triliun. Terdiri dari liabilitas jangka pendek senilai Rp 18,34 triliun dan liabilitas jangka panjang Rp 31,7 triliun.
Liabilitas PTPP turun menjadi Rp 41,15 triliun pada akhir Maret 2025 dibanding akhir tahun lalu yang sebesar RP 41,33 triliun. Terdiri dari liabilitas jangka pendek senilai Rp 21,52 triliun. Sementara sisanya sekitar Rp 19,62 triliun tercatat sebagai liabilitas jangka panjang.