Buku Agenda Ramadan, Nostalgia 'Catatan Dosa' Anak 90-an

3 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Bagi anak 90an, Ramadan bukan cuma puasa. Banyak aktivitas seru yang biasa dilakukan, mulai dari sehabis sahur sampai bertemu sahur kembali. Apalagi di penghujung 90an, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur pernah menerapkan kebijakan libur sekolah satu bulan penuh selama Ramadan. Meski tujuannya memberikan kesempatan bagi siswa dan guru untuk lebih fokus beribadah, namun pada kenyataannya banyak waktu kosong bagi anak-anak untuk lebih banyak bermain, terlebih kala itu sebaran internet belum massif dan ponsel pintar belum banyak seperti sekarang ini.

Sehabis sahur dan salat subuh dipakai untuk pergi ke jalan raya bermain petasan. Saat itu petasan masih seperti kacang goreng, dijual bebas dengan beragam ukuran dan manuver. sebagian yang lain menutup jalur lambat untuk bermain bola dengan gawang ala kadarnya. Saat matahari muncul dan jalan raya mulai ramai kendaraan, kelompok-kelompok anak 90an itu satu per satu kembali ke dalam perumahan mereka. Bukan untuk pulang, tapi untuk melanjutkan main menghabiskan waktu. Biasanya berkumpul di suatu tempat atau rumah di antara mereka yang dijadikan semacam ‘basecamp’. Main monopoli, karambol, atau video game, sampai matahari mulai meninggi yang menandakan mereka harus pulang ke rumah masing-masing.

Menjelang magrib, aktivitas ngabuburit tak kalah seru. Dengan bersepeda motor mereka keliling kompleks perumahan, sekadar menghabiskan waktu sambil mencari takjil. Kemudian setelah tarawih, perang sarung telah menjadi tradisi. Tidak ada yang ‘baper’, semua bermain sesuai dengan porsinya, sehingga ‘perang’ yang dimaksud hanya sebatas keseruan saja, bukan untuk saling takluk dan melukai. Menjelang sahur, mengarak beduk keliling kampung membangunkan orang-orang menjadi aktivitas yang tidak boleh dilewatkan.

Lambat laun, beragam aktivitas seru itu mulai jarang dilakukan bahkan mungkin beberapa di antaranya sekarang telah punah, karena sudah tidak ada lagi yang melakukannya. Atau bahkan sudah bertransformasi ke arah negatif, sehingga dikenakan sanksi jika masih ada yang melakukannya. Perang sarung misalnya, jika dahulu dilakukan hanya untuk keseruan, saat ini sudah menjelma menjadi tindakan kriminal yang bisa memicu perang antarkampung.

Di antara begitu banyak nostalgia aktivitas seru selama Ramadan anak 90an, ada satu yang paling monumental dan sulit untuk dilupakan: buku agenda Ramadan. Buku berisi panduan aktivitas selama bulan puasa itu sudah menjadi momok bagi anak-anak 90an, menjadi ‘catatan dosa’ apakah selama bulan puasa kita sudah menjalankan ibadah dengan baik dan benar.

"Yang paling PR tuh nyatet isi ceramah salat Tarawih, terus minta tanda tangan ustaznya kan, jadi kita nungguin tuh sampai salat bener-bener selesai sambil bawa-bawa buku itu (agenda Ramadan) sama pulpen. Kocak sih kalau diinget-inget lagi," kata Ibrahim, anak milenial menceritakan pengalaman menjalankan Ramadan di tahun 90an.

Di momen itulah, sang ustaz penceramah menjadi layaknya selebritas kenamaan karena dikerubungi banyak anak-anak membawa buku meminta tanda tangan. Pemandangan itu yang mungkin sudah tidak ditemukan lagi saat ini, kalaupun ada tidak sebanyak pada era 90an.

Ibrahim juga blak-blakan, menurutnya, tidak semua siswa mengisi agenda Ramadan dengan jujur. Mengarang bebas kerap dilakukan untuk mengisi kolom isi ceramah, sampai memanipulasi isi laporan salat wajib dan memalsukan tanda tangan penceramah.

"Bahkan ada juga lho yang baru isi agenda Ramadan habis lebaran, baru diisi-isi tuh pas mau masuk sekolah lagi," katanya sambil tertawa.  

Namun tidak semua anak berlaku manipulatif terhadap agenda Ramadan. Ada juga yang bersungguh-sungguh mengisi agenda Ramadan dengan penuh tanggung jawab. Mengingat agenda Ramadan diberikan kepada siswa sebagai bagian dari upaya meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan pengalaman spiritual siswa, serta memeriahkan bulan Ramadan dengan kegiatan positif dan bermanfaat. Namun yang jadi pertanyaan sekarang, bagaimana keberadaan agenda Ramadan di zaman digital seperti saat ini? Apakah ada sekolah yang masih menggunakannya?

Dwi Nurcahyo, seorang guru SDIT di Jakarta kepada tim Regional Liputan6.com mengatakan, sekolah berlabel swasta sudah tidak ada lagi yang menggunakan buku agenda Ramadan. Namun sebagai gantinya diberikan buku Ramadan, yang diisi saat kegiatan pesantren kilat (sanlat) selama 2 hari 1 malam menginap di sekolah.

"Sanlat nginep di sekolah. Nah selama itu buku kegiatan ramadannya dikasih dan diisi berdasarkan semua kegiatan yang dilakukan 2 hari 1 malam itu," katanya.

Dwi sendiri mengaku masih melihat pemandangan anak-anak membawa-bawa agenda Ramadan saat salat Tarawih dan meminta tanda tangan penceramahnya, meski tidak seramai anak-anak zaman 90an dulu. Memang, sekolah negeri masih ada yang menggunakan buku agenda Ramadan, namun ada juga sekolah yang mulai melakukan inovasi lain, misal dengan menggunakan eformulir maupun aplikasi digital.

Bagi Dwi sekarang yang terpenting adalah bukan pilihan menggunakan agenda fisik atau digital, tapi lebih kepada melibatkan orangtua atau ‘’bounding’ dalam mengisi program-program Ramadan.

"Jadi ortu berperan untuk push dan jadi role model si anak. Misalnya bounding saat taraweh bareng sampe buka dan sahur bareng. Jadi ibadah Ramadan bukan cuma catatan-catatn kecil di buku itu, tapi pengalaman Ramadan secara kontekstual di lingkungan keluarga dan masjid," katanya.

Meski begitu, Dwi merekomendasikan anak-anak setingkat SD masih perlu menggunakan agenda Ramadan fisik, sementara untuk Tingkat SMP dan SMA sudah harusnya menggunakan gawai

Ridwan, pekerja percetakan buku di bilangan Pramuka mengatakan, sekarang order cetak buku agenda Ramadan memang tidak seramai di era tahun 90an. Di penghujung 90an saat dirinya mulai bekerja di percetakan, order copy agenda Ramadan bisa mencapai ribuan per hari, dan itu sudah dikerjakan beberapa bulan sebelum Ramadan.

"Sekarang gak seramai dulu, mungkin zaman sudah berubah, tapi ya ada, ada saja yang cetak, tapi gak sebanyak dulu," katanya.

Saat ditelusuri di e-commerse, penjual buku agenda Ramadan masih banyak ditemui, dengan beragam desain cover yang menarik dan harga yang terjangkau. Bahkan buku agenda Ramadan itu bisa dibeli satuan. Meski demikian, pamor buku agenda Ramadan sebagai benda yang paling identik dengan bulan puasa bisa dikatakan perlahan telah pudar. Perkembangan zaman yang serba digital menjadi salah satu faktor yang paling memengaruhinya.   

Meski pamornya telah pudar, namun kenangan agenda Ramadan di hati anak-anak 90an masih selalu ada. Selalu ada ruang membicarakan nostalgia agenda Ramadan saat membahas bulan puasa. Suasana keribetan berburu tanda tangan penceramah, nenteng-nenteng buku dan pulpen saat Tarawih, dan mencatat kata demi kata yang keluar dari penceramah, menjadi momen yang tidak bisa dilupakan anak-anak generasi 90an saat bulan puasa.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |