Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beri penjelasan mengenai ketentuan auto reject 15% yang diberlakukan belum lama ini. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon sekaligus Anggota Dewan Komisioner mengatakan, kebijakan tersebut merupakan hasil kajian yang mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan investor dan efisiensi pasar.
Sebelumnya, pelonggaran batas auto reject bawah sempat berlaku pada saat pandemi Covid-19. Namun berangsur kebijakan tersebut normal seiring redanya pandemi. menurut Inarno, situasi saat ini sudah jauh berbeda dibanding masa awal pandemi, ketika ketidakpastian ekonomi sangat tinggi dan likuiditas pasar terganggu. Saat itu, batas ARB sempat dipersempit menjadi hanya 7% untuk menahan kepanikan.
"Tidak seperti saat pandemi dimana terdapat pembatasan-pembatasan ekonomi, saat ini kami melihat pasar lebih stabil dan matang, sehingga diperlukan ruang yang lebih luas untuk menjaga stabilitas harga dan likuiditas," kata Inarno dalam jawaban tertulis konferensi pers RDKB Maret, Selasa (29/4/2025).
Belum Ada Tenggat Waktu Pasti
Meski begitu, Inarno menegaskan bahwa kebijakan ARB 15% bukan bersifat permanen. OJK bersama Self-Regulatory Organizations (SRO) seperti BEI, KSEI, dan KPEI serta asosiasi pasar modal akan terus mengevaluasi pelaksanaannya secara berkala.
Meski tak memberikan waktu spesifik kapan ARB akan normal, Inarno menyebutkan beberapa indikator utama yang menjadi pertimbangan. OJK, SRO, beserta asosiasi akan terus memantau secara berkala terhadap efektivitas pelaksanaan kebijakan ini.
"Dalam hal volatilitas dan tekanan di pasar saham sudah mulai berkurang dan didukung oleh data fundamental yang baik, tentunya OJK akan mempertimbangkan dengan seksama sebelum dilakukan penyesuaian terhadap kebijakan tersebut," ungkapnya.
Pemulihan Kondisi Pasar
Dengan kata lain, pemulihan kondisi pasar menjadi faktor kunci. Selama fluktuasi masih tinggi dan fundamental belum sepenuhnya membaik, maka kebijakan ARB 15% kemungkinan besar masih akan dipertahankan.
Kebijakan ini, menurut OJK, bukan semata-mata untuk menahan penurunan harga saham, melainkan juga untuk memastikan agar pasar tetap likuid dan mampu merefleksikan sentimen serta informasi secara efisien. Di sisi lain, langkah ini diharapkan mampu menjaga kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia.
Dengan terus memantau dinamika pasar dan melakukan evaluasi berkala, OJK membuka ruang untuk penyesuaian ke depan. Namun bagi investor, penting untuk memahami bahwa kebijakan ini adalah bagian dari strategi mitigasi risiko dan stabilisasi pasar yang lebih luas.
Respon BEI
Pasar modal Indonesia sempat mengalami gejolak signifikan pada awal April, tepat setelah kembali dibuka usai libur panjang. Saat itu, indeks langsung anjlok hingga lebih dari 9% dan memicu diterapkannya trading halt atau penghentian sementara perdagangan. Situasi tersebut mengingatkan banyak pihak pada masa pandemi, ketika kebijakan pelonggaran batasan seperti auto rejection dan circuit breaker diberlakukan untuk meredam volatilitas pasar.
Dalam merespons gejolak terbaru, Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama OJK dan Self Regulatory Organization (SRO) lain memutuskan untuk kembali menggunakan pendekatan serupa, yakni memperlebar batasan pergerakan harga melalui kebijakan auto rejection asimetris. Kebijakan ini memungkinkan harga saham turun hingga 15% dalam satu hari sebelum dihentikan, berbeda dari masa sebelumnya yang hanya memperbolehkan penurunan hingga 7%.
"Kita belum menentukan kapan akan kembalikan Auto Rejection menjadi simetris karena kita masih melihat perkembangan pasar ke depan. Kita akan selalu review dan analisa perkembangannya setiap minggu dan bulan," kata Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy dalam diskusi CUANOMIX Liputan6.
Penyesuaian Diambil Berdasarkan Koordinasi Intensif
Irvan menegaskan, keputusan ini bukan reaksi spontan, melainkan hasil dari koordinasi yang matang antara BEI, OJK, dan lembaga terkait lainnya. Selain ketentuan Auto Rejection, batasan untuk trading halt juga diperlebar.
Trading hal atau jeda 30 menit dilakukan jika IHSG turun lebih dari 8%. Kemudian Trading halt 30 menit lagi jika IHSG mengalami penurunan lanjutan lebih dari 15%. Lalu trading suspend jika IHSG turun lebih dari 20%.
"Kami telah berkoordinasi dengan OJK memutuskan untuk melakukan Auto Rejection asimetris, dengan angka yang lebih besar dibanding saat Covid. Saat Covid dulu, angka Auto Rejection bawah diset di 7%. Saat ini kami set di 15%," jelas Irvan.