Liputan6.com, Jakarta Seiring waktu, dunia investasi semakin menarik minat banyak orang, terutama mereka yang ingin meraih keuntungan lebih. Bagi sebagian investor pemula, memulai dengan jumlah kecil terasa lebih aman dan nyaman. Begitu pula dengan Nia (29), yang mulai berinvestasi pada tahun 2017 melalui Surat Berharga Negara (SBN) setelah diperkenalkan oleh temannya.
Ia mengenal SBN sebagai bentuk kontribusi terhadap pembangunan nasional, khususnya infrastruktur. “Dulu ngerasa pengen jadi warga yang baik dan punya kontribusi buat negara sendiri,” kata Nia kepada Liputan6.com, ditulis Rabu (14/5/2025).
Berbekal aplikasi investasi, Nia mulai mengeksplorasi instrumen lain seperti reksa dana. Ia mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk video Raditya Dika di YouTube yang sering membahas investasi. “Sering nonton Radit bicara soal investasi, akhirnya nyoba juga kan reksa dana dari yang risiko rendah. Ini berlangsung lama sih, 2-3 tahunan,” tuturnya.
Dari Reksa Dana ke Saham: Uji Mental dan Konsistensi
Setelah merasa cukup nyaman dengan reksa dana, Nia pun mencoba pasar saham lewat aplikasi IPOT. Ia memilih saham berlot kecil dari perusahaan yang dianggap solid, namun pendekatannya tetap konservatif.
“Tujuan invest saham yang pasti bukan kayak yang orang trading, tapi emang bener-bener buat nabung aja,” katanya.
Namun, kondisi pasar yang tidak stabil membuat Nia mundur dari saham. “Sekitar hampir dua tahun lalu itu aku stop juga saham karena IHSG jelek banget, ekonomi jelek juga,” jelasnya. Ia akhirnya kembali ke instrumen konvensional seperti koperasi atau tabungan bank demi kestabilan. Bagi Nia, tantangan utama dalam investasi adalah mindset.
“Kalau mindset-nya buat cari cuan tinggi, pasti tantangannya ya harus mantengin, tahu pattern, dll. Tapi kalau buat nabung aja sih tantangannya konsistensi aja,” ujarnya. Ia menyadari pentingnya penyesuaian strategi dengan tujuan dan gaya hidup pribadi.
Refleksi dan Pembelajaran dari Pengalaman Investasi
Pengalaman menjadi guru terbaik bagi Nia dalam menentukan pilihan investasi yang sesuai dengan dirinya. Ia menyimpulkan bahwa investasi berisiko rendah seperti reksa dana lebih cocok untuk karakter dan kondisi pribadinya.
“Saham itu banyak faktor eksternal yang mempengaruhi, ke mental itu ngaruh sih hehe, jadi aku lebih cocok ke investasi risiko rendah aja kayak reksadana,” kata Nia.
Meskipun berhenti dari saham, Nia tidak menyesali perjalanannya. Ia merasa bahwa langkah awalnya sudah memberi bekal pengetahuan yang cukup. Menurutnya, pengalaman tersebut justru memperkaya pemahamannya tentang berbagai instrumen keuangan.
“Kalau bisa ngulang sih sebenernya nggak ya, aku udah happy bisa tahu soal investasi… cuma mungkin mesti lebih banyak belajar tentang saham yang cocok buat diri sendiri aja, gak gampang tergiur cuan,” tutupnya.
Afif dan Pelajaran Mahal dari Saham untuk Tabungan Nikah
Berbeda dari Nia, Afif Faris Hudaifi (25), seorang pegawai BUMN, memilih saham sebagai instrumen utama dalam mempersiapkan dana pernikahan sejak 2023. Dengan semangat tinggi, ia belajar analisis, ikut forum, dan mengincar saham blue-chip yang dianggap stabil. Namun, keputusan membeli di harga tinggi tanpa memperhitungkan risiko justru menjadi awal kerugian.
"Mulai nyemplung ke saham sejak 2023. Awalnya, optimis banget. Baca-baca analisis, ikut forum, sampai akhirnya kepincut beli saham di harga tinggi. Eh, belakangan IHSG malah turun terus," kata Afif.
Portofolionya yang didominasi BBCA dan Telkom (TLKM) anjlok akibat kondisi pasar pasca pemilu dan perubahan presiden. "Kerugian kena sekitar Rp 5 jutaan, mayoritas di saham BBCA dan Telkom. Waktu itu, portofolio lebih condong ke sektor perbankan dan telekomunikasi.
Tadinya mikir saham blue-chip lebih aman, tapi ternyata tetap bisa kejedot kalau belinya di pucuk," jelas Afif. Ia mengakui terlalu FOMO dan kurang disiplin dalam cut loss, sehingga memaksanya mengubah strategi investasi secara menyeluruh.
Evaluasi dan Strategi Baru untuk Masa Depan
Mengambil pelajaran dari pengalaman pahit, Afif kini lebih fokus pada analisis fundamental dan tren pasar sebelum membeli saham. Ia tidak lagi terburu-buru mengambil keputusan hanya karena dorongan emosi atau tren sesaat.
“Evaluasi setelah rugi, sadar kalau terlalu FOMO dan kurang disiplin dalam cut loss. Jadi sekarang lebih fokus ke analisis fundamental, belajar baca trend market, dan lebih sabar nunggu harga bagus sebelum masuk,” kata Afif.
Afif juga menekankan pentingnya tidak panik saat pasar terkoreksi. Ia menyarankan untuk mengevaluasi fundamental saham sebelum menjual, dan mempertimbangkan diversifikasi sebagai bentuk perlindungan. Selain itu, menyediakan dana cadangan saat harga saham turun bisa menjadi langkah strategis.
“Buat yang baru mulai, santai aja. Rugi itu bagian dari belajar. Yang penting evaluasi dan jangan ulangi kesalahan yang sama,” tutur Afif. Ia percaya bahwa dengan kesabaran, pemahaman pasar, dan manajemen risiko yang baik, setiap investor punya peluang untuk sukses dan mencapai tujuan keuangan mereka.