Amira Ganis, Perempuan di Balik Kesuksesan Rumah Sakit Brawijaya

1 day ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Di balik kesuksesan Rumah Sakit Brawijaya atau Brawijaya Hospital, yang dikenal dengan pelayanan ramah dan homey bagi pasien, terdapat sosok perempuan luar biasa yang telah menjadi pilar utama dari keberhasilan tersebut.

Amira Ganis, seorang ibu dari empat orang anak, adalah figur yang memiliki peran besar dalam membawa perubahan signifikan di dunia kesehatan Indonesia. Namanya kini telah mendunia, terutama setelah ia meraih penghargaan Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women Asia-Pacific 2025, yang menempatkannya sejajar dengan tokoh-tokoh hebat dari Korea Selatan, Jepang, Cina, dan negara-negara lainnya.

Selain itu, Amira juga penah menjadi finalis Ernst & Young Entrepreneur Of The Year 2024 Award serta memperoleh CNBC Award dengan kategori Outstanding Technology Driven Services for Hospital Industry di tahun yang sama.

Amira Ganis lahir pada 23 Juni 1976, sebagai putri dari Ahmad Ganis, seorang pengusaha yang juga dikenal sebagai tokoh yang gigih memperjuangkan toleransi dan keberagaman. Keberhasilan Amira tidak datang begitu saja, melainkan melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan dan kerja keras.

Amira mendapatkan gelar sarjana jurusan Administrasi Niaga di Universitas Indonesia tahun 1998 dan Master of Business Administration dari Northeastern University, Boston tahun 2002.

Dalam percakapan eksklusif dengan Amira, ia bercerita tentang perjalanan hidupnya, bagaimana keluarga dan pengalaman hidup membentuk dirinya menjadi sosok yang luar biasa sehingga sejajar dengan tokoh-tokoh dunia.

“Saya menikmati pekerjaan saya, melakukannya dengan sepenuh hati. Penghargaan dan lain-lain itu menurut saya hanya bonus. Sebuah pekerjaan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, itulah tujuan utama sayaatas amanah yang saya terima,” kata Amira.

Saat ini Amira menjabat sebagai Presiden Direktur PT Brawijaya Investama / Brawijaya Healthcare Group yang menaungi jaringan Rumah Sakit Brawijaya / Brawijaya Hospital. Di saat yang sama dia juga menjabat Presiden Komirsaris PT Radiant Utama Interinsco, Tbk. / Radiant Group.  Selain itu, Amira juga aktif dalam kegiatan pendidikan, dengan ikut mendirikan sekolah Islam Cahaya Rancamaya.

Krisis 1998, Awal Mula Sebuah Ikatan  

Amira mengenang, berdirinya RS Brawijaya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, melainkan buah dari sebuah proses panjang. Pada masa krisis 1998, banyak pengusaha termasuk para dokter yang mengalami masalah keuangan besar, yang terjerat hutang dan harus menghadapi kenyataan bahwa aset berharga mereka terancam disita oleh bank.

Ketika banyak orang terjebak dalam kekhawatiran, ayah Amira, Dr. Ir. Ahmad Ganis, M.Si menjadi sosok yang banyak membantu mereka.

“Banyak dokter yang mengalami kredit macet. Mereka bingung karena aset berharga terancam disita,” ungkap Amira, mengenang masa itu.

Ayahnya dikenal sebagai pengusaha yang tidak memiliki masalah dengan bank. Padahal saat itu, ada banyak pengusaha yang sengaja tidak mau melunasi hutangnya agar dibantu oleh negara. Dengan sikap dan integritasnya itulah, hubungan Ahmad Ganis dengan pihak bank sangat baik, oleh sebab itu dia dipercaya sebagai mediator bagi bagi banyak dokter yang mengalami kredit macet.

“Ayah saya membantu mereka untuk menyelesaikan masalah hutang mereka dengan pihak bank. Ada sekitar 63 dokter yang asetnya bisa diselamatkan. Dari sinilah, hubungan kami dengan para dokter semakin dekat, bahkan seperti keluarga sendiri,” terang Amira.

Ikatan ini kemudian berkembang menjadi dorongan untuk mewujudkan cita-cita bersama: mendirikan rumah sakit yang tidak hanya mengutamakan kualitas pelayanan medis, tetapi juga memberikan pengalaman positif bagi pasien yang sering merasa trauma dengan suasana rumah sakit yang dingin dan menakutkan.

Mulai dari design bangunan, warna dinding, aroma disinfektan, hingga kualitas pelayanan yang dulu sering dicap sebagai instansi yang kaku dan berjarak dari orang banyak. Amira harus melakukan perombakan besar-besaran untuk melawan stigma tersebut.

“Dulu pasien harus ngantri lama sebelum mendapatkan pelayanan. Petugas rumah sakit seolah belum mengutamakan konsumen. Seolah pasien yang butuh rumah sakit, sedangkan rumah sakit tidak. Padahal keduanya saling membutuhkan,” kata Amira sambil tersenyum.

Kondisi itulah yang menimbulkan inspirasi bagi Amira saat dia menempatkan diri sebagai pasien. RS Brawijaya hadir dengan sangat memperhatikan kondisi pasien, tidak hanya fisik namun juga psikologisnya, seperti perasaan takut, bingung, emosinya gak stabil. Semua dimensi tentang pasien dipahami dan ditenangkan. Pasien harus mendapatkan pelayanan terbaik agar menambah besar peluangnya untuk sembuh.

Mendirikan Rumah Sakit yang Ramah Pasien

Bagi Amira, dunia kesehatan bukanlah hal yang baru. Dia banyak berinteraksi dengan dokter. Tapi saat itu memang belum ada niat untuk fokus di dunia pelayanan kesehatan. Bagi Amira waktu itu, kualitas pelayanan kesehatan kurang-lebih sama. Mungkin ada perbandingan baik-buruk, tapi tidak ada yang benar-benar kontras.

Namun pandangan ini berubah ketika dia berkunjung ke luar negeri. Semasa kuliah di Amerika, ia sempat melihat perbedaan besar antara kualitas pelayanan rumah sakit di Amerika dan di Indonesia.

Menurut Amira, pelayanan kesehatan di Amerika begitu profesional dan ramah, jauh dari kesan dingin dan menakutkan, seperti yang sering ditemui di rumah sakit Indonesia kala itu. Apalagi ketika Amira kembali ke Indonesia dan melahirkan anak kedua, ia merasakan perbedaan yang sangat mencolok.

“Tahun 2000, saat saya melahirkan anak pertama di Amerika, saya merasa bahwa pelayanan rumah sakit di sana sangat berbeda. Di Indonesia, rumah sakit masih terkesan menakutkan, bahkan saat itu masih banyak orang yang enggan datang ke rumah sakit karena citranya yang buruk,” ujar Amira.

Perasaan inilah yang mendorongnya untuk mewujudkan sebuah impian: menciptakan rumah sakit yang tidak hanya memberikan layanan kesehatan yang terbaik, tetapi juga mampu mengubah paradigma negatif masyarakat tentang rumah sakit.

“Saya ingin menciptakan tempat yang membuat pasien merasa nyaman, seperti di rumah sendiri,” tambahnya.

Namun, membangun rumah sakit bukanlah hal yang mudah. Amira mengakui, pada awalnya ia bingung harus memulai dari mana. Karena sebuah rumah sakit adalah suatu ekosistem kesehatan yang kompleks.

“Kami benar-benar blank waktu itu,” katanya sambil tersenyum.

Tapi tak lama setelah itu, sebuah kesempatan datang secara tak terduga. Dalam sebuah konsultasi dengan seorang dokter kandungan yang lama tak ditemui, Amira dan suaminya mengetahui bahwa di ruangan tersebut ada maket rumah sakit.

Setelah basa-basi karena ingin tahu tentang maket tersebut dan progres pembangunnya, ternyata maket itu belum terlaksana pembangunannya dan mungkin tidak akan bisa didirikan. Namun yang mengejutkan, tanpa ragu, sang dokter menawarkan mereka untuk mewujudkan proyek tersebut.

Proses dialog dengan banyak dokter terus berlanjut, sehingga tekad Amira makin bulat. Selain dengan ayahnya, Amira terus mendapat masukan dari dua tokoh besar yang sangat berjasa, yaitu Prof. Dr. dr. Nugoro Kampono. SpOG.Subsp. Onk dan Prof. dr. M. Farid Aziz. SpOG.Subsp. Onk.

Selain itu, ada dua belas orang dokter lain yang turut membantu dalam proses berdirinya rumah sakit. Dua belas orang itulah yang menjadi bagian dari pendiri rumah sakit Brawijaya, selain tiga tokoh utamanya.

Dengan tanah seluas 1.800 meter yang dimiliki oleh keluarga Amira, proses pembangunan rumah sakit dimulai. Semula tanah tersebut direncanakan untuk dibangun rumah atau ruko. Namun, berkat dorongan teman-teman ayahnya yang telah dianggap sebagai keluarga sendiri, akhirnya RS Brawijaya pertama dibangun dengan konsep yang sangat berbeda dari layanan kesehatan lainnya.

“Kami ingin membangun rumah sakit yang ramah pasien, dengan suasana yang hangat dan tidak menakutkan. Kami memperhatikan setiap detail, bahkan bau disinfektannya pun harus berbeda, tidak ada bau karbol yang khas rumah sakit, supaya pasien nyaman,” kenang Amira.

Keberhasilan rumah sakit ini juga tak terlepas dari upaya Amira untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan para dokter. Selama memimpin RS Brawijaya, tidak pernah ada konflik di dalamnya. Semua berjalan dengan harmonis dan saling mendukung. Mereka telah saling memahami, pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab sosial bersama.

“Kami membangun hubungan yang nyaman dengan para dokter. Tidak ada konflik. Kami bekerja bersama-sama dengan visi yang sama: memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi pasien,” ujar Amira.

Tidak hanya itu, rumah sakit ini juga mengadopsi pendekatan yang lebih patient-friendly. Untuk membuat pasien merasa nyaman, RS Brawijaya dilengkapi dengan fasilitas seperti cafe, tempat duduk yang nyaman, bahkan cafe terkenal yang bisa dinikmati di lobby area. Semua dirancang untuk menciptakan suasana yang berbeda, jauh dari citra rumah sakit yang menakutkan.

“Tujuan kami adalah mengubah persepsi masyarakat tentang rumah sakit. Kami ingin menjadi pilihan utama bagi mereka yang mencari pelayanan kesehatan dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan ramah,” jelas Amira.

Dedikasi Amira Ganis dalam membangun dan mengembangkan RS Brawijaya telah berbuah manis. Kini rumah sakit tersebut telah memiliki sembilan cabang. Corak kepemimpinan Amira yang humble dan menghargai rekan kerjanya membuat RS Brawijaya terus tumbuh menjadi salah satu pioner pelayanan kesehatan yang ramah pada pasien.

Amira bersyukur, dia memiliki rekan kerja yang kompak, keluarga yang harmonis dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan sosok ayah yang mengayomi, suami yang pengertian dan selalu memberikan support, cita-cita Amira untuk berjuang di jalan kemanusiaan telah berhasil diwujudkan. Sekarang dia terus menatap ke depan, dengan semangat meluap-luap untuk memberikan yang terbaik di jalan pengabdian.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |