Liputan6.com, Jakarta Di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump, pasar modal Indonesia menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat reli selama enam hari berturut-turut dan ditutup di level 6.898,34 pada Rabu, 6 Mei 2025.
Meskipun terjadi koreksi tipis dibanding hari sebelumnya (6.912,79), indeks telah menguat hampir 3,5% dalam sepekan terakhir dari posisi 6.662.
Fenomena ini terjadi di saat pasar keuangan dunia menantikan hasil pertemuan kebijakan The Federal Reserve (The Fed) pada 6–7 Mei 2025, yang menjadi pertemuan penting setelah Trump mengumumkan tarif timbal-balik (reciprocal tariffs) yang kontroversial.
Kendati peluang pemangkasan suku bunga hanya sekitar 2,7% menurut pasar berjangka, Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana mengatakan ekspektasi terhadap pelonggaran moneter pada paruh kedua tahun ini mulai terbentuk.
"Pelaku pasar saham mulai mengantisipasi adanya pelonggaran kebijakan moneter pada paruh kedua 2025, terutama jika inflasi mulai mereda," kata Hendra dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Kamis (7/5/2025).
Ketegangan Geopolitik
Ketegangan geopolitik juga meningkat usai Trump menyampaikan dua pernyataan mengejutkan. Yakni mengenai rencana mengenakan tarif 100% atas film asing tanpa penjelasan teknis dan keengganannya membuka dialog dagang dengan Presiden China Xi Jinping.
Namun demikian, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mencoba meredakan kekhawatiran dengan menegaskan bahwa kebijakan Trump tetap ditujukan untuk mendukung investasi jangka panjang. Ia menilai pasar keuangan masih mampu menyerap gejolak jangka pendek.
Faktor Pertumbuhan Ekonomi
Sementara itu, kinerja IHSG yang solid menjadi anomali tersendiri mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87% secara tahunan—level terendah sejak kuartal III-2021 dan jauh dari ekspektasi pasar. Pelaku pasar dinilai lebih fokus pada prospek ke depan ketimbang data historis.
“Katalis positif menguatnya nilai tukar rupiah, serta musim pembagian dividen menjadi faktor penopang utama. Selain itu, ekspektasi bahwa The Fed akan melonggarkan kebijakan moneternya pada paruh kedua tahun ini juga turut mendorong sentimen positif di pasar domestik,” kata Hendra.
Namun demikian, Hendra memperingatkan bahwa secara teknikal IHSG sudah berada di area rawan aksi ambil untung. Ia menjelaskan, resistance kuat berada di kisaran 6.900–7.000, dengan level psikologis 7.000 menjadi ujian penting yang hanya bisa ditembus jika didukung oleh aliran dana asing dan keberlanjutan penguatan rupiah. Meski indeks menguat, sentimen asing belum sepenuhnya solid.
“Arus dana asing masih terpantau belum sepenuhnya meyakinkan, tercermin dari lemahnya sektor perbankan yang selama ini menjadi pendorong utama saat pasar dalam tren bullish. Sektor perbankan tertekan oleh tingginya suku bunga acuan, penurunan margin bunga bersih (NIM), serta pemulihan kredit yang belum merata,” jelas Hendra.
Saham Pilihan
Dalam situasi ini, saham-saham tertentu dinilai layak dicermati sebagai penggerak IHSG. Menurut Hendra, saham-saham yang layak dicermati sebagai motor penggerak IHSG antara lain RAJA (Buy, TP Rp 2.360) yang mendapatkan sentimen positif dari ekspansi LNG dan energi bersih.
Kemudian BRMS (Buy, TP Rp 420) dan PSAB (Buy, TP Rp 330) yang terdorong oleh lonjakan harga emas dunia. Serta UNVR (Buy, TP Rp2.040) yang menarik dari sisi karakter defensifnya di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Fokus pada saham berfundamental kuat, serta pemantauan ketat terhadap arah kebijakan fiskal, moneter, dan politik domestik, maka peluang IHSG menembus dan bertahan di atas 7.000 bukan sekadar kemungkinan, melainkan keniscayaan apabila didukung oleh katalis makro yang tepat," pungkas Hendra.