13 Mei 1903: Mengenang Sosok Penyair Rustam Effendi

4 hours ago 2

Liputan6.com, Yogyakarta - Era awal kelahiran sastra Indonesia modern tak bisa dilepaskan dari sosok Rustam Effendi (Roestam Effendi). Penyair kelahiran 13 Mei 1903 ini menggebrak bentuk baru kesusastraan Indonesia dalam wujud syair.

Rustam Effendi memiliki nama samaran Alfaroes. Dua karya populernya berbentuk naskah drama Bebasari dan kumpulan syair berjudul Percikan Permenungan.

Mengutip dari laman Ensiklopedia Sastra Indonesia, masa pendidikan Rustam Effendi ditempuh di Sekolah Rendah (HIS) Padang, Sekolah Raja di Kweekschool Bukittinggi, dan dilanjutkan ke Hoogere Kweekschool (HKS) Bandung pada 1924. Tak hanya pada dunia sastra, Rustam juga tertarik pada dunia pergerakan dan politik.

Rustam Effendi terlibat dalam berbagai pergerakan kebudayaan dan politik. Pada 1924 hingga 1927, ia aktif dalam organisasi Jong Sumatranenbond, khususnya pergerakan di Minangkabau.

Ia menjadi guru dan kepala sekolah di Perguruan Tinggi Islam Adabiah II. Ia juga dipilih menjadi anggota termuda untuk Dewan Kotapraja, Padang.

Dalam dunia politik, Rustam Effendi menjalin hubungan dengan para anggota pentinggi Partai Komunis Indonesia. Saat huru-hara di Padang (1926-1927), Rustam Effendi berangkat ke Belanda dan melanjutkan pendidikan di sana.

Ia meraih ijazah pendidikan dasar di Den Haag, kemudian melanjutkan ke Middelbaar Onderwijs Economie (pendidikan menengah ekonomi). Masa kuliahnya masih berlanjut di Hoge Schule fur Journalistik di Berlin dan Lenin's Universitet di Moskow.

Selain melanjutkan pendidikan, Rustam Effendi juga aktif dalam dunia politik saat berada di Belanda. Ia pernah menjadi orang Indonesia pertama dan anggota dewan termuda pada Tweede Kamer der Staten General (1933-1946).

Menurut surat Rustam kepada Ajip Rosidi, keaktifannya dalam anggota dewan dilakukan untuk merealisasikan keinginannya dalam mempertahankan kemerdekaan. Hal ini tercermin dalam karyanya yang berjudul Bebasari.

Bebasari dan Percikan Permenungan

Bebasari dan Percikan Permenungan merupakan dua karya penting Rustam Effendi. Dalam Percikan Permenungan cetakan kedua, tertulis pada kata pengantar bahwa buku ini lahir di Padang pada Maret 1925, tak lama setelah Bebasari terbit.

Terbitnya Percikan Permenungan menyusul Bebasari yang sudah lebih dulu terbit. Buku kumpulan syair tersebut lahir sebagai reaksi terhadap sikap Pemerintah Hindia Belanda yang menghalangi peredaran Bebasari.

A Teeuw dalam buku Sastra Baru Indonesia berpendapat bahwa sebagai seorang penyair, Rustam Effendi amat mengagumkan. Bahasanya memiliki ciri khas tersendiri dan ia berusaha mencari bentuk-bentuk baru untuk menggantikan bentuk lama yang ia anggap sudah lapuk.

Karya-karya Rustam Effendi memiliki perbendaharaan kata yang menarik perhatian dan mengandung sejumlah kata yang bukan berbentuk Melayu biasa. Ada kalanya, kata-kata tersebut sama sekali tak tertulis dalam bahasa Melayu, melainkan bahasa daerah (seperti bahasa Minangkabau). Rustam Effendi juga kerap melakukan penyimpangan dan penukaran bentuk yang menghasilkan kata baru.

Tanggapan lain terhadap kepengarangan Rustam Effendi juga datang dari H.B. Jassin. Dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I, ia mengatakan bahwa drama bersajak Bebasari merupakan hasil usaha dalam percobaan bentuk baru kesusastraan Indonesia.

Rustam Effendi mengaplikasikan syair dalam bentuk baru melalui percakapan-percakapan suatu cerita berbentuk tonil. Selain itu, drama Bebasari juga memuat simbol-simbol yang mudah dilihat, terkait hasrat bangsa Indonesia yang hendak merdeka.

Ajip Rosidi pernah menulis buku tentang Rustam Effendi dan karya puisinya dalam buku berjudul Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan. Buku ini memuat peran Rustam Effendi dalam perkembangan kesusastraan Indonesia sekaligus mengeksplorasi puitika sang pengarang dalam penggunaan simbol, bahasa, dan tema.

Penulis: Resla

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |