Wanti-Wanti di Balik Ledakan Amunisi di Garut, Perlu Evaluasi Prosedur Pemusnahan?

5 hours ago 2

Liputan6.com, Garut - Duaaarrrr…!

Asap hitam membumbung tinggi di atas Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Senin pagi (12/5/2025). Beberapa personel TNI AD mengucap syukur sambil merekam proses pemusnahan amunisi tak layak pakai itu dari jarak jauh.

Di sisi lain, dari jarak ratusan meter saja, belasan orang bersepeda motor lengkap dengan ember besar di belakangnya langsung ngegas, mereka saling beradu cepat sampai ke lokasi dentuman. Nahas, saat mereka berkerumun bak semut mengerubungi gula, tiba-tiba ledakan besar kembali terjadi. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Belasan orang meninggal dunia di tempat, sebuah nilai yang tak sebanding dengan harga serpihan amunisi bekas yang mereka perebutkan. 

Selang berapa lama, ambulans berdatangan ke lokasi, seluruh korban dibawa ke RSUD Pameungpeuk, tempat pelayanan medis terdekat dari lokasi ledakan. 

Dede Ating, istri dari korban Endang, tampak lemas mendengar kabar suaminya meninggal dunia menjadi korban ledakan amunisi TNI AD. Sambil terisak, ibu dari tiga orang anak yang masih kecil itu menceritakan, sudah 38 hari suaminya belum pulang-pulang ke rumah demi mencari nafkah. 

"Lebaran tiga hari dia berangkat, itu terakhir ketemu, paling teleponan aja," katanya sambil menahan tangis. 

Kepadanya, sang suami mengatakan dirinya mau kerja angkut padi. Di telepon mengabarkan kalau belum bisa pulang ke rumah karena akan bekerja di peledakan. 

"Sampai sana diajak mau enggak kerja di peledakan, sebagai yang ambilin barang. Angkut barang-barang ke lokasi," katanya menceritakan. 

Sang suami bahkan berjanji kepadanya akan pulang setelah proyek ledakan amunisi selesai. 

"Ini ledakan terakhir, setelah ini mau pulang, katanya. Ternyata pulangnya selamanya. Lemes, seluruh tubuh," kata Dede Ating sambil bercucuran air mata. 

Kronologi Kejadian

Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Wahyu Yudhayana langsung merilis kabar dan membenarkan ada insiden yang memakan banyak korban jiwa saat proses pemusnahan amunisi tak layak pakai di Garut. 

Wahyu menjelaskan secara rinci kronologi peristiwa tersebut. Bermula pada Senin (12/5/2025), pukul 07.30 WIB, tim melakukan apel pengecekan personel, dilanjutkan dengan pengecekan pada lokasi peledakan. Saat itu, kondisi personel semua dalam keadaan sehat, aman, begitu juga dengan lokasi peledakan yang sudah dipastikan dalam kondisi aman.

Pukul 08.00 WIB, tim susun amunisi melakukan persiapan dengan memasukkan amunisi tak layak pakai ke dalam dua lubang sumur yang sebelumnya sudah disiapkan. 

Setelah semuanya siap, pukul 08.30 WIB, seluruh tim pengamanan masuk ke pos mereka masing-masing untuk melakukan pengamanan.

"Setelah tim pengamanan masuk ke pos masing-masing, dan dinyakatan aman baru dilakukan pemusnahan," katanya.

Selanjutnya pukul 09.00 WIB, setelah dinyatakan aman, dilakukan peledakan. Dua sumur peledakan tersebut meledak dengan sempurna dan dipastikan semua dalam kondisi aman. Sekitar 15 menit kemudian usai ledakan, selain dua lubang sumur ledakan yang sudah meledak dengan sempurna, juga telah disiapkan satu lubang sumur lainnya yang isinya semua detonator. Sebanyak dua drum dimasukkan ke dalam lubang sumur tersebut yang rencananya akan dimusnahkan. 

Sekitar pukul 09.30 WIB, saat tim susun amunisi kembali bekerja menyusun detonator di lubang, saat itulah secara tiba-tiba terjadi ledakan lagi. Ledakan inilah yang memakan banyak korban jiwa, baik dari personel TNI maupun dari warga sipil. 

"Korban meninggal 4 anggota TNI AD dan 9 warga sipil," katanya.

Data korban yang dirilis Kapuspen TNI sejalan dengan Polda Jabar. Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Hendra Rochmawan, saat dikonfirmasi membenarkan sebanyak 13 orang meninggal dunia dalam insiden ledakan amunisi bekas di Garut. Sebanyak 13 korban tersebut terdiri dari 4 personel TNI AD dan 9 warga sipil. 

Peristiwa tragis ini terjadi saat proses disposal amunisi yang dilakukan oleh Tim Gupusmu III Jakarta. Ledakan hebat yang terjadi secara tiba-tiba mengakibatkan empat anggota TNI Angkatan Darat (AD) dan sembilan warga sipil meninggal dunia di lokasi kejadian. Usai melakukan evakuasi dan pendataan, petugas berkoordinasi dengan RSUD Pameungpeuk untuk proses identifikasi korban.

"Kecelakaan disposal dari Gupusmu III Jakarta," kata Hendra saat dikonfirmasi.

Saat itu, Hendra mengimbau kepada masyarakat agar tidak mendekati area lokasi ledakan amunisi demi keamanan.

Berikut daftar identitas 13 korban meninggal dunia akibat ledakan pemusnahan amunisi di Garut:

Korban Anggota TNI AD:

1. Kolonel Cpl Antonius Hermawan, ST., MM, Tim Gupusmu III Jakarta.

2. Mayor Cpl Anda Rohanda, Tim Gupusmu III Jakarta.

3. Kopda Eri Dwi Priambodo, Tim Gupusmu III Jakarta.

4. Pratu April Setiawan, Tim Gupusmu III Jakarta.

Korban Warga Sipil:

1. Agus Bin Kasmin, warga Cimerak, Kecamatan Cibalong.

2. Ipan Bin Obar, warga Cimerak, Kecamatan Cibalong.

3. Anwar Bin Inon, warga Cidahon, Kecamatan Pameungpeuk.

4. Endang, warga Kecamatan Singajaya.

5. Iyus Ibing Bin Inon, warga Cidahon, Kecamatan Pameungpeuk.

6. Iyus Rijal, warga Cimerak, Kecamatan Cibalong.

7. Toto, warga Cimerak, Kecamatan Cibalong.

8. Dadang, warga Sakambangan, Kecamatan Cibalong.

9. Rustiawan, warga Cimerak, Kecamatan Cibalong.

Warga Desa Minta Tanggung Jawab Pemerintah

Usai tragedi ledakan tersebut, seluruh keluarga korban warga sipil dalam pemusnahan bahan peledak kedaluwarsa di Pantai Cijeruk-Cimerak, Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (12/5/2025) pagi, meminta pemerintah bertanggung jawab atas musibah yang menimpa mereka.

"Kami atas nama warga kami yang menjadi korban, meminta agar pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap jaminan hidup keluarga yang ditinggalkan," ujar Kepala Desa Sagara Alit Saripudin, saat dikonfirmasi tim Regional Liputan6.com, Senin (12/5/2025).

Alit memastikan sebagian besar korban meninggal dunia dalam proses pemusnahan bahan peledak kedaluwarsa itu merupakan warga desanya.

"Ada sekitar tujuh orang warga desa kami yang menjadi korban, sisanya dari kecamatan Pamengpeuk," katanya.

Sebagian besar korban merupakan pekerja yang dilibatkan dalam proses peledakan bahan peledak itu, sedangkan warga yang menonton dari jarak jauh tidak ada yang menjadi korban.

"Saya tegaskan yang menjadi korban itu pekerja bukan yang menonton, yang menonton dari jauh semuanya selamat tidak ada korban," katanya.

Ada dua permintaan yang ia sampaikan kepada pemerintah akibat dari musibah peledakan bahan peledak kedaluwarsa tersebut.

"Pertama, kami sudah resah, mohon alihkan lokasi peledakan jangan di sana lagi," ujarnya.

Kedua, pemerintah harus bertanggung jawab penuh terhadap jaminan hidup keluarga korban yang ditinggalkan seperi biasa pendidikan dan kesehatan.

"Tadi sudah ada beberapa korban meminta jaminan hidup sampai istri dan anak seumur hidup, kata Alit.

Ketiga, ia meminta kompensasi kerusakan lingkungan dari kegiatan peledakan bahan peledak.

"Bahasanya apa mungkin jaminan lingkungan, karena yang jelas ada dampak lingkungan dari peledakan itu," katanya.

Sementara itu, TNI Angkatan Darat (AD) langsung bergerak melakukan investigasi terkait ledakan saat pemusnahan amunisi kedaluwarsa yang menyebabkan 13 korban tewas.

"Penyebab dari kejadian tersebut masih dalam tahap penyidikan oleh tim TNI Angkatan Darat," tutur Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana kepada wartawan, Senin (12/5/2025).

Menurut Wahyu, peledakan amunisi kedaluwarsa awalnya berjalan lancar. Namun saat tengah menyusun detonator untuk peledakan selanjutnya, malah kembali terjadi ledakan di sumur amunisi yang telah diledakkan.

"Kami akan melaksanakan investigasi secara menyeluruh terkait dengan kejadian ini, dan akan kami sampaikan informasi selanjutnya berkaitan dengan perkembangan dari penyidikan atau investigasi yang dilaksanakan," kata Wahyu.

Terkait mengapa sampai ada warga sipil yang menjadi korban, Wahyu mengatakan proses peledakan amunisi kedaluwarsa yang dilakukan di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, telah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).

Lokasi yang dipakai pun jauh dari permukiman warga dan memang biasa digunakan sebagai titik disposal atau pemusnahan amunisi kedaluwarsa.

"Bahwa lahan yang digunakan untuk penghancuran amunisi afkir tersebut adalah lahan milik BKSDA Kabupaten Garut yang sudah rutin digunakan untuk memusnahkan amunisi afkir, dan lokasinya jauh dari permukiman warga," katanya. 

Namun Anjar, seorang warga yang kerabatnya menjadi korban ledakan tersebut mengakui, pihak TNI AD kerap melibatkan warga sipil dalam proses peledakan amunisi yang sudah kedaluwarsa. Proses rekrutmennya dilakukan hanya dari mulut ke mulut sehingga terkumpul beberapa orang secara spontan, yang ingin mengambil serpisahan-serpihan bekas amunisi yang telah dimusnahkan karena dianggap punya nilai ekonomis.

"Pak Iyus itu saudara saya, sudah paham di bidang (pembongkaran) amunisi, sudah sering ikut TNI, sudah lama, bukan setahun dua tahun," katanya.

"Satunya lagi Anwar, tugasnya membongkar amunisi, jarang, mungkin diajak karena lagi banyak," katanya lagi. 

Terkait adanya warga sipil yang menyelinap masuk ke dalam lokasi peledakan amunisi yang seharusnya steril --mulai dari sebelum, saat, dan sesudah peledakan-- sebenarnya bagaimana SOP yang berlaku di TNI?

Juklak Pemusnahan Amunisi

Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sebagai salah satu otoritas tertinggi yang bertanggung jawab langsung dengan peristiwa ledakan di Garut kemarin, sebenarnya punya aturan tertulis berupa Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) No 4 Tahun 2010, yang berisi tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Amunisi di Lingkungan Kemenhan dan TNI.

Dalam Bab III poin 12 tentang Pelaksanaan pada poin E di Juklak tersebut tertulis:

e) Kegiatan pemusnahan amunisi. Untuk amunisi-amunisi afkir/ kondisinya rusak tidak dapat diperbaiki dan membahayakan, harus dilaksanakan tindakan pemusnahan, baik oleh instalasi amunisi lapangan, daerah, maupun instalasi amunisi pusat, dibantu oleh tim pemusnahan yang ditunjuk. Kegiatan pemusnahan dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan dari pejabat yang berwenang, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak atau membahayakan agar dapat dihindari kemungkinan bahaya yang dapat merugikan personel maupun materiil. Pelaksanaan pemusnahan dapat dilaksanakan dengan cara pembakaran maupun penghancuran/ peledakan dengan memperhatikan sifat-sifat dasar amunisi  yang akan musnahkan serta syarat-syarat keamanan dan syarat-syarat teknis pemusnahan amunisi.

Selain kegiatan pemusnahan, JUKLAK/04/VI/2010 itu pun menjelaskan tentang pemeliharaan amunisi di lingkungan Kemenhan dan TNI. Pemeliharaan amunisi adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan meliputi pemeriksaan, inspeksi, pemeliharaan dan perbaikan serta penyingkiran dan pemusnahan amunisi dengan tujuan mempertahankan kondisi amunisi agar selalu baik dan selalu siap untuk digunakan.

Menurut sumber Liputan6.com di lapangan, terkait adanya aturan "persetujuan dari pejabat berwenang sebelum melakukan pemusnakan amunisi kedaluwarsa", itu sifatnya hanya pemberitahuan. TNI-Polri lembaga vertikal negara, sehingga sifatnya hanya koordinasi dengan Pemda sebelum melakukan pemusnahan, sehingga masuk dalam struktur Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan daerah).

Lalu bagaimana seharusnya syarat-syarat teknis pemusnahan amunisi kedaluwarsa ini agar tidak berdampak dan menimbulkan bahaya bagi orang-orang di sekitarnya? Al Araf, Pengamat Militer yang juga Ketua Centra Initiative dalam perbincangannya di Liputan6 SCTV mengatakan, apa yang terjadi di Garut kemarin perlu dilakukan pendalaman dan invetisgasi lebih lanjut, apakah ada kelalaian hingga jatuh korban jiwa sipil dan TNI.

"Hanya tim investigasi independen yang bersifat terbuka yang bisa memastikan proses ini berjalan secara objektif," katanya.

Tapi terlepas proses yang sedang berjalan, kata Al Araf, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam disposal amunisi, khusunya terkait dengan amunisi-amunisi yang kedaluwarsa. Pertama, yang perlu dicek SOP-nya. Kedua, adalah kebijakan pemberdayaan terkait pertahanan. Ketiga, terkait dengan SDM dan human errornya. Keempat, terkait sarana dan prasarana serta peralatan. Kelima, terkait mekanisme pangawasan. Dan keenam, terkait dengan anggaran dukungan dalam proses itu.

"Sebenarnya masalah tentang amunisi kedaluwarsa ini bukan hal baru. Sejak reformasi sudah beberapa kali ini jadi soal serius, terakhir terjadi pada 2024, ada peristiwa di Bogor. Waktu itu di wilayah Kodam Jaya terjadi kebakaran amunisi juga. Dan panglima TNI serta Kepala Staf TNI AD bersikap bahwa memang ada disposal amunisi yang panjang dan perlu dievaluasi," katanya. 

Dalam kaitan itu, secara normatif disposal amunisi perlu dijajaki ulang, apakah sudah layak dan kontekstual dengan situasi sekarang. Al Araf mengatakan, hanya Kemenham, internal TNI, dan DPR yang bisa mengecek lebih dalam, karena ini sifatnya SOP internal. Pesan yang ingin disampaikan kepala staf memang sejak 2024 ada soal terkait SOP yang panjang dan perlu dievaluasi.

"Nah jelang setahun, ada peristiwa di Garut ini, maka saya berharap DPR segera memanggil Kemenhan dan Panglima TNI untuk mengecek kembali SOP ini sepeti apa. Itu dalam tataran normatif, tapi dalam tataran implementatif, saya yakin SOP yang sudah dilakukan sekarang pasti memiliki aturan yang memastikan bahwa disposal amunisi ini harus steril dari warga sipil, karena ini upaya untuk memusnahkan amunisi yang dampaknya bisa terjadinya korban jiwa, sehingga warga sipil harus jauh dari lokasi. Dan saya percaya SOPnya sudah mengatur tentang hal itu," kata Al Araf. 

Al Araf menyayangkan, dalam proses pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Garut kemarin ada warga sipil yang turut menjadi korban tewas. Hal inilah, katanya, yang harus dicek lebih dalam, apakah ini soal implementasi manajemen keamanan yang tidak cukup maksimal, sehingga warga sipil bisa menyusup sehingga mereka menjadi kena dampak.

"Atau apakah warga sipil yang menonton, ataukah warga sipil dilibatkan dalam disposal amunisi ini. Inilah yang harus dicek," katanya.

Korban warga sipil yang meninggal 9 orang ini, perlu didalami situasi dan kondisinya seperti apa. Dalam konteks inilah, tim investigasi menjadi penting. Namun standar SOP disposal amunisi harusnya tidak memungkinkan warga sipil masuk ke area pemusnahan, baik sebelum, selama, dan pasca-disposal amunisi dilakukan.

"Menonton saja pun tidak diperbolehkan," katanya lagi.

Menpertanyakan Lagi Jarak Humaniter

Dalam hukum internasional, kata Al Araf menjelaskan, ada yang namanya jarak humaniter, yakni jarak antara tempat sarana militer dengan warga sipil. Ini untuk memastikan tidak terjadi collateral demage ketika terjadi peristiwa penyerangan misalnya atau disposal amunisi.

"Apakah kemudian SOP ini sudah membangun jarak aman yang baik? Itu hanya bisa dijawab tim investigasi nanti. Secara normatif akan dievaluasi, secara implementasi perlu dicek apakah ada prosedur yang dilanggar. Hanya tim ivestigasi yang bisa memastikan," katanya.

Al Araf kemudian menyebut, persoalan jarak humaniter ini perlu dicek oleh Kemenhan, DPR, atau bahkan Presiden sendiri. Dalam beberapa kasus, katanya, jarak humaniter ini objeknya seringkali di beberapa tempat jaraknya berdekatan dengan warga sipil.

"Misal pelatihan tempat tempur di Pasuruan itu 2007 kan menjadi konflik dan ada warga sipil jadi korban. Harus ada evaluasi ulang apakah wilayah-wilayah tersebut sudah layak?" katanya.

Al Araf berharap, ada transparansi tentang kebijakan wilayah-wilayah pertahanan, sehingga publik bisa mengantisipasi apakah suatu wilayah boleh dimasuki atau tidak oleh warga sipil.

"Syaratnya satu, wilayah pertahanan itu benar-benar untuk pertahanan bukan untuk kepentingan lain," katanya.

Al Araf juga menegaskan, sama sekali tidak dibenarkan warga sipil masuk ke wilayah disposal amunisi. Dirinya juga meyakini, SOP yang dimiliki TNI sendiri sudah menyaratkan hal itu. Artinya manajemen di sana tidak boleh membuka ruang pada warga sipil untuk masuk.

"Dan ketika mereka masuk pasca-peledakan harusnya manajemen keamanan TNI di sana tidak memperbolehkan masuk. Itu gak bisa sama sekali, karena proses ini benar-benar harus steril dan hanya mereka yang mengetahui, dalam hal ini TNI saja," katanya.

Al Araf tidak mau berandai-andai dengan spekulasi yang beredar di kalangan masyarakat, soal rongsokan bekas amunisi itu bisa diperjualbelikan lagi karena punya nilai ekonomis sehingga jadi rebutan warga. Dirinya hanya ingin menekankan, apa pun yang terjadi, manajemen keamanan seharusnya tidak boleh membuka ruang warga sipil masuk, sebelum, selama, dan sesudah peledakan dilakukan.

Yang menjadi perhatian Al Araf saat ini adalah bagaimana pemerintah melihat persoalan amunisi kedaluwarsa ini dilihat dari hulu sampai hilir. Mengingat persoalan ini menjadi sangat penting sehingga tidak boleh hanya dipandang sebelah mata, apalagi, katanya mewanti-wanti, jumlah amunisi di Indonesia sangat banyak. 

"Sehingga kalau ada yang kedaluwarsa harus dicek, mengapa hal itu terjadi, apakah karena tidak digunakan atau karena ada faktor lain. Amunisi-amunisi ini ditaro di mana, apakah sarananya layak, apakah SDMnya sudah layak. Ini pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Ini bukan persoalan sepele, ini serius, karena jika tidak dimenej dengan baik, maka peristiwa-peristiwa seperti yang terjadi di Garut bisa terjadi lagi," katanya.

Dalam pandangan Al Araf sendiri, sarana dan prasarana disposal amunisi ini belum maksimal. Harus diperbaiki secara lebih dalam, harus didukung DPR dan pemerintah, agar tentara yang melakukan disposal amunisi ini benar-benar melakukan SOP dengan perlindungan yang serius.

Kembalikan Militer ke Fungsi-Fungsi Pertahanan

Al Araf meyakini Tentara Nasional Indonesia dapat bekerja dengan profesional, pemerintah juga punya kapasitas untuk membangun tentara yang profesional. Al Araf hanya berpesan agar Presiden Prabowo untuk mau meletakan militer dalam bidang pertahanan saja. Mengingat banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan, salah satunya soal disposal amunisi ini. 

"Artinya banyak PR di pertahanan yang harus diperbaiki dan ditata, sehingga presiden harus meletakan militer pada fungsi-fungsi pertahanan. Di saat bersamaan, sebaiknya otorias sipil tidak perlu melibatkan militer terlalu jauh ke fungsi-fungsi nonpertahanan, seperti program cetak sawah pangan, tidak perlu mengawasi kejaksaan, kejari, itu menurut saya akan mengganggu konsentrasi mereka. kasihan mereka tugas pertahanan saja sudah berat, sekarang dilibatkan dalam tugas-tugas nonpertahanan. Kita berharap otoritas sipil mengembalikan mereka ke fungsi pertahanan," katanya.

Senada dengan Al Araf, Pengamat Militer Anton Aliabbas saat dihubungi tim Regional Liputan6.com, Selasa (13/5/2025), juga mengatakan, yang terpenting sekarang adalah bagaimana pengawasan dari pelaksanaan SOP itu sendiri. Sekaligus mengecek apakah semua hal-hal yang tercantum dalam SOP itu dilakukan atau tidak. 

"Jadi ada penguatan pengawasan," katanya.

Anton mengatakan, peristiwa ini harus menjadi momentum bagi TNI untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip keamanan yang berlaku di berbagai tempat. 

"Dalam konteks ini kita tidak bisa menerka-nerka menebak apakah ini ada faktor human error dan lain-lain, karena memang dinamika di lapangan terkait kegiatan pemusnahan amunisi ini memang sangat bervariasi, ada banyak tantangannya, karena memang di satu sisi ketika kita bicara tentang nilai ekonomis, ini kan ada. Jadi kadang-kadang memang susah gitu ya, masyarakat terutama mereka yang bermaksud mengumpulkan puing-puing itu, jadi ada dinamika di lapangan yang sangat tinggi. Karena itu investigasi dibutuhkan untuk mencari titik terang, mengapa korban jiwa bisa jatuh banyak dan kenapa ada warga sipil di sana," kata Anton.

Kementerian Pertahanan memastikan tim gabungan tengah melakukan proses investigasi untuk mengetahui penyebab ledakan hingga menimbulkan korban jiwa tersebut. Kemenhan memastikan kegiatan akan mengacu pada prosedur keamanan ketat agar kejadian yang menewaskan 13 orang ini tidak terulang kembali di kemudian hari.

"Saat ini, proses investigasi tengah dilakukan oleh tim gabungan untuk mengungkap penyebab pasti terjadinya musibah," kata Kepala Biro Infohan Kemenhan Brigjen TNI Frega F. Wenas Inkiriwang dikutip dari siaran persnya, Selasa (13/5/2025).

"Selama proses investigasi berlangsung, seluruh kegiatan akan tetap mengacu pada prosedur keamanan yang ketat guna mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang," sambungnya.

Sementara itu, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) III Siliwangi Mayjen TNI Dadang Arif Abdurahman menegaskan tim gabungan masih melakukan investigasi terkait dengan ledakan amunisi di lokasi peledakan kawasan pantai Desa Sagara, Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

"Masih investigasi, belum selesai," katanya, Selasa (13/5/2025).

Pangdam menuturkan, tim investigasi, termasuk dari pihaknya masih bekerja untuk mencari tahu penyebab ledakan hingga 13 orang meninggal dunia. Jenderal bintang dua itu menegaskan bahwa pihaknya masih terus mendalami lebih lanjut terkait dengan peristiwa itu.

"Nanti, timnya masih bekerja," katanya.

Begitu pula terkait dengan lokasi peledakan amunisi itu masih layak atau tidak, menurut dia, masih menunggu hasil investigasi dari tim.

"Yang jelas saat ini tempatnya sudah disterilkan," katanya.

Apakah ke depan akan melibatkan masyarakat setempat dalam pemusnahan amunisi itu, Mayjen TNI Dadang menjawab, "Nanti lihat ke depan karena 'kan aturannya bagaimana, yang jelas investigasi, nanti kita lihat."

Saat ini lokasi pemusnahan amunisi di kawasan pantai Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, memang sudah disterilkan dari warga sipil, dengan penjagaan ketat sejumlah personel TNI, polisi, dan dipasang rambu bahaya, pada Selasa (13/5/2025).

"Sudah steril," katanya.

Lokasi peledakan amunisi kedaluwarsa saat ini mendapatkan pengamanan dari sejumlah personel TNI dan Polri, terutama pengamanan di jalan utama masuk ke lokasi peledakan.

Lokasi peledakan amunisi yang menjadi tempat 13 orang meninggal dunia itu cukup jauh berada di pesisir pantai, beberapa kilometer dari Jalan Raya Lintas Selatan Jawa Barat.

Jika ingin menuju lokasi peledakan itu harus melewati area perkebunan yang cukup luas, yang akhirnya berujung ke tepi pantai wilayah Desa Sagara, Kecamatan Cibalong.

Terkait dengan tim investigasi yang dibentuk, DPR mewanti-wanti, tim yang bekerja harus netral dan transparan membeberkan fakta yang sebenarnya terjadi tanpa ditutup-tutupi.

Anggota Komisi III DPR RI Lola Nelria Oktavia meminta transparansi Kemenhan TNI-Polri dalam investigasi menjadi penting agar peristiwa serupa tidak terulang lagi di kemudian ahari.

"TNI dan Polri diharapkan dapat memberikan transparansi dalam penanganan kasus ini, sekaligus memperbaiki sistem keamanan dalam pengelolaan amunisi. Jangan sampai kejadian serupa terulang atau terjadi di tempat lain," katanya.

Legislator dari dapil Jawa Barat XI yang mencakup wilayah Garut, Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya, itu pun menyebut dirinya sudah berkoordinasi dengan jajaran kepolisian setempat.

Menurut dia, kegiatan pemusnahan amunisi sedianya bukan yang pertama kali dilaksanakan sehingga seharusnya sudah ada pertimbangan matang yang dilakukan sebelumnya.

"Jarak dengan Polres juga sekitar 3 jam. Jadi, seharusnya sudah ada pertimbangan yang matang termasuk dalam hal pengalaman penyelenggaraan kegiatan yang mempertimbangkan keamanan dan keselamatan masyarakat," tuturnya.

Dia juga mengimbau semua pihak untuk menunggu hasil investigasi resmi dan tak memunculkan spekulasi-spekulasi atas insiden nahas tersebut.

Tragedi memilukan yang terjadi dalam pemusnahan amunisi afkir alias tidak layak pakai di Garut, Jawa Barat. Sebanyak 13 orang, baik anggota TNI maupun warga sipil meninggal dunia.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |