Tari Ketuk Tilu, Warisan Budaya Sunda Penuh Makna dan Kehidupan

21 hours ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Tari Ketuk Tilu merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional yang sangat khas dari Jawa Barat, terutama dari kalangan masyarakat Sunda.

Tarian ini tidak hanya hadir sebagai bentuk hiburan semata, melainkan juga menyimpan nilai-nilai filosofis, sejarah, dan kebudayaan yang mendalam. Awalnya, Tari Ketuk Tilu berkembang dalam konteks kehidupan agraris masyarakat Sunda, di mana keberlangsungan hidup mereka sangat bergantung pada hasil bumi, terutama padi.

Dalam kepercayaan tradisional, masyarakat Sunda mempercayai adanya sosok dewi padi yang disebut Dewi Sri atau dalam beberapa versi disebut juga sebagai Dewi Sriwedari, yang dianggap sebagai pelindung tanaman padi dan pemberi kesuburan.

Sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah, masyarakat mengadakan ritual dan pertunjukan yang kemudian menjadi cikal bakal dari Tari Ketuk Tilu.

Nama Ketuk Tilu sendiri diambil dari nama alat musik pengiring yang menjadi unsur utama dalam pertunjukannya, yakni ketuk, sebuah alat musik tradisional berbentuk gong kecil yang dimainkan dalam pola ketukan tiga atau tilu dalam bahasa Sunda.

Pola ritmis ini menjadi ciri khas yang menciptakan atmosfer dinamis dan meriah dalam setiap pertunjukan tari tersebut. Dalam perjalanan sejarahnya, Tari Ketuk Tilu mengalami berbagai perkembangan, baik dalam bentuk penyajian, fungsi sosial, maupun nilai estetikanya.

Dahulu, tarian ini bersifat sakral dan hanya dipentaskan dalam konteks upacara adat, terutama dalam ritual panen sebagai bentuk komunikasi spiritual dengan Dewi Sri.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan struktur sosial masyarakat, tarian ini mengalami transformasi menjadi bentuk hiburan rakyat yang kerap ditampilkan dalam berbagai acara non-seremonial, seperti pernikahan, khitanan, pesta rakyat, hingga pertunjukan seni yang bersifat komersial.

Dalam pergeseran ini, fungsi Tari Ketuk Tilu tetap mempertahankan unsur kebersamaan dan kegembiraan, namun tidak lagi terbatas pada konteks keagamaan atau kepercayaan.

Upaya Pelestarian

Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang atau beberapa penari wanita yang mengenakan busana tradisional Sunda dengan sentuhan yang gemerlap dan mencolok, mencerminkan semangat perayaan dan kemeriahan.

Sementara itu, penari pria yang dikenal sebagai ronggeng atau dalam istilah modern disebut juga sebagai juru kawih, berinteraksi secara langsung dengan penonton dan menciptakan suasana yang lebih komunikatif dan hidup.

Ciri khas utama Tari Ketuk Tilu terletak pada musik pengiringnya yang menggunakan instrumen tradisional khas Sunda, seperti rebab, kendang, gong, dan tentu saja ketuk tilu itu sendiri. Alunan musiknya berirama cepat dan ritmis, menciptakan suasana yang enerjik namun tetap harmonis.

Lagu-lagu pengiring biasanya menggunakan bahasa Sunda dengan lirik yang sarat makna, baik berupa pujian kepada Dewi Sri, ajakan bergembira, maupun sindiran sosial. Gerakan dalam Tari Ketuk Tilu didominasi oleh goyangan pinggul dan gerakan tangan yang lembut namun tegas, mencerminkan perpaduan antara kelembutan dan kekuatan perempuan Sunda.

Gerakan tari ini secara estetis sangat memukau karena menampilkan keseimbangan antara irama tubuh penari dengan irama musik pengiring. Dalam konteks sosial, Tari Ketuk Tilu juga memainkan peran penting dalam mempererat hubungan antaranggota masyarakat karena tarian ini seringkali mengundang partisipasi langsung dari penonton, yang turut menari atau sekadar berinteraksi dengan para penari di tengah pertunjukan.

Tradisi ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan bukan sekadar tontonan pasif, melainkan juga ruang partisipatif yang memperkuat ikatan sosial dan memperkaya ekspresi budaya. Namun demikian, seperti halnya banyak kesenian tradisional lainnya, Tari Ketuk Tilu menghadapi tantangan besar di era modern ini.

Arus globalisasi dan dominasi budaya populer telah menyebabkan minat terhadap seni tradisional mulai menurun, terutama di kalangan generasi muda. Banyak anak muda yang tidak lagi mengenal asal-usul maupun makna di balik Tari Ketuk Tilu, sehingga dikhawatirkan warisan budaya ini akan semakin terpinggirkan.

Untuk itu, perlu adanya upaya pelestarian yang serius dan berkelanjutan, baik melalui pendidikan formal, pertunjukan seni yang terintegrasi dengan teknologi, maupun promosi di media sosial yang mampu menjangkau generasi digital.

Beberapa komunitas seni di Jawa Barat telah mulai melakukan langkah-langkah tersebut, seperti mengadakan workshop tari tradisional di sekolah-sekolah, menyelenggarakan festival budaya tahunan, hingga membuat dokumentasi digital mengenai Tari Ketuk Tilu untuk disebarluaskan ke khalayak luas.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |