Liputan6.com, Jakarta - Tradisi Tabuik adalah sebuah perayaan budaya dan keagamaan yang berlangsung setiap tahun di Kota Pariaman, Sumatera Barat, untuk memperingati Hari Asyura, yaitu hari kesepuluh dalam bulan Muharram menurut kalender Islam.
Festival ini bukan hanya sekadar hiburan tahunan, tetapi juga memiliki makna historis dan religius yang sangat mendalam. Tabuik adalah bentuk penghormatan kepada Imam Husain, cucu Nabi Muhammad, yang gugur dalam peristiwa tragis di Padang Karbala pada tahun 680 M.
Dalam peristiwa tersebut, Imam Husain dan para pengikutnya bertempur melawan pasukan Yazid bin Muawiyah dan mengalami penderitaan yang luar biasa sebelum akhirnya syahid. Peristiwa ini menjadi simbol perjuangan melawan kezaliman dan ketidakadilan, yang kemudian diabadikan dalam berbagai tradisi di berbagai belahan dunia, termasuk di Pariaman.
Tradisi Tabuik diyakini telah diperkenalkan oleh komunitas Muslim keturunan India yang datang ke wilayah ini pada abad ke-19. Mereka membawa serta budaya dan tradisi yang berkaitan dengan peringatan Asyura, yang kemudian berakulturasi dengan budaya lokal Minangkabau.
Kata Tabuik sendiri berasal dari bahasa Arab tabut, yang berarti peti atau tandu yang digunakan untuk membawa jenazah. Dalam konteks perayaan ini, tabuik merujuk pada replika kuda perang dengan struktur megah yang dihias dengan indah dan memiliki ornamen khas.
Replika ini dibuat dari bambu dan kertas warna-warni serta dihiasi dengan sayap dan kepala kuda, melambangkan kendaraan Imam Husain menuju surga. Persiapan perayaan Tabuik dimulai jauh sebelum hari puncaknya.
Biasanya, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang, yang masing-masing memiliki peran dalam pembuatan dan ritual tabuik. Proses pembuatan tabuik berlangsung selama beberapa hari dan melibatkan berbagai ritual yang sakral.
Salah satu tahap penting adalah maambiak tanah, yaitu prosesi pengambilan tanah dari dasar sungai yang dipercaya sebagai simbol kesucian dan awal dari seluruh rangkaian upacara. Ritual ini diiringi dengan pembacaan doa-doa khusus dan dihadiri oleh tokoh adat serta masyarakat setempat.
Simak Video Pilihan Ini:
Pertanian Terpadu ala Santri Pesantren Rubat Mbalong Ell Firdaus Cilacap
Warisan Leluhur
Setelah tabuik selesai dibuat, acara puncak festival melibatkan arak-arakan besar yang penuh semangat. Ribuan orang dari berbagai daerah berkumpul di jalan-jalan utama Kota Pariaman untuk menyaksikan prosesi yang megah ini.
Dengan iringan musik tradisional seperti gandang tasa dan seruan khas yang membakar semangat, tabuik diarak keliling kota sebelum akhirnya dibawa menuju pantai. Suasana menjadi semakin emosional ketika tabuik akhirnya diangkat tinggi-tinggi lalu dilemparkan ke laut sebagai simbol pelepasan roh Imam Husain ke surga.
Ritual ini mencerminkan kepercayaan masyarakat bahwa dengan membuang tabuik ke laut, mereka turut serta dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan Imam Husain. Di balik kemegahan perayaan Tabuik, ada nilai-nilai budaya dan sosial yang sangat kental.
Festival ini bukan hanya memperingati peristiwa Karbala, tetapi juga menjadi ajang mempererat persaudaraan dan kebersamaan masyarakat. Tabuik memperlihatkan bagaimana warisan budaya dari luar bisa berasimilasi dengan kearifan lokal Minangkabau, menciptakan sebuah tradisi unik yang terus hidup hingga kini.
Masyarakat Pariaman dari berbagai latar belakang bersatu dalam semangat gotong royong, bekerja sama membangun tabuik, menyiapkan acara, serta menjaga kelestarian tradisi ini agar tetap lestari dari generasi ke generasi. Selain aspek spiritual dan sosial, Tabuik juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi Kota Pariaman.
Setiap tahun, festival ini menarik ribuan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang ingin menyaksikan langsung kemeriahan perayaan ini. Kedatangan wisatawan memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, terutama bagi sektor pariwisata, perhotelan, kuliner, dan kerajinan tangan.
Banyak pedagang yang memanfaatkan momen ini untuk menjual makanan khas daerah, suvenir, serta berbagai produk kreatif lainnya yang mencerminkan identitas budaya Pariaman.
Namun, seperti banyak tradisi lainnya, Tabuik juga menghadapi berbagai tantangan di era modern. Globalisasi dan perubahan gaya hidup membuat generasi muda semakin jauh dari nilai-nilai tradisional.
Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk menjaga kelestarian tradisi ini, baik melalui pendidikan budaya, dokumentasi sejarah, maupun dukungan dari pemerintah dan masyarakat.
Berbagai inisiatif telah dilakukan, seperti memasukkan Tabuik dalam agenda pariwisata nasional dan mempromosikannya melalui media sosial serta festival budaya internasional.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Tradisi Tabuik dapat terus bertahan sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang unik dan bernilai tinggi. Dengan segala keunikan dan maknanya, Tabuik menjadi cerminan dari bagaimana tradisi bisa bertahan dan berkembang di tengah arus zaman.
Festival ini tidak hanya mengenang perjuangan Imam Husain, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai keteguhan, solidaritas, dan penghormatan terhadap warisan leluhur yang tak ternilai harganya.
Penulis: Belvana Fasya Saad