Liputan6.com, Toraja Utara Aktivitas penambangan galian C di Kelurahan Tikala, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel) terus mendapat sorotan sejumlah tokoh masyarakat Toraja Utara.
Selain wilayah usaha penambangan galian C tersebut dikabarkan merupakan kawasan wisata atau pariwisata, juga aktivitasnya dinilai sangat meresahkan masyarakat setempat.
Menanggapi hal tersebut, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar (UKI Paulus Makassar), Jermias Rarsina menjelaskan dari sisi pandangan hukum, pemberian izin tambang dan kegiatan penambangannya secara regulasi/ketentuan hukum, wajib memperhatikan aspek hak atas tanah, kesesuaian tata ruang wilayah dan analisis tentang dampak lingkungan.
Menurutnya, aspek hak atas tanah itu terintegrasi dengan adanya pengakuan hak atas tanah sekaitan dengan apakah lahan tanah tambang tersebut dikuasai, dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, dalam hal ini warga masyarakat Tikala yang terkena dampak kegiatan perusahaan yang akan memperoleh izin penambangan.
Dia menyebutkan, UU Pertambangan No.4 Tahun 2009 yang telah diubah dengan UU N0. 3 Tahun 2020 Tentang Minerba pada Pasal 136 ayat (1) dan (2) telah menegaskan bahwa setiap kegiatan penambangan bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan hak atas tanah sesuai ketentuan hukum, yang sudah tentunya terkait dengan pelepasan hak atas pemegang hak dan/atau pemilik lahan tanah.
"Tambang galian C adalah salah satu kegiatan tambang yang terintegrasi dengan jenis batuan yang regulasinya tunduk pada UU Pertambangan tersebut," ucap Jermias, Jumat (28/3/2025).
Terkait dengan itu, kata dia, maka secara hukum hubungan antara tanah, benda di atasnya dan penguasaan tanah itu sendiri, hukum perdata memisahkannya dengan mengenal istilah kedudukan berkuasa sebagai yang berhak dan pemilik (empunya) atau disebut eigenaar.
Kedua-duanya, lanjut Jermias, memberikan legitimasi hukum untuk memperoleh penyelesaian dalam kegiatan pelepasan hak atas tanah, sehubungan dengan kegiatan pertambangan.
Dia mengatakan, bila secara historikal/ sejarah lahan tanah yang warga masyarakat Tikala tempati tersebut benar adanya di tahun 1800 -an melalui leluhur mereka telah menguasai, mengelola dan memanfaatkannya dalam bentuk bercocok tanam bahkan memiliki rumah tongkonan adat oleh klan/kerabat keluarga mereka sekalipun itu tanah negara, maka mereka dipandang sebagai yang berhak karena penguasaan secara etikad baik bersifat turun-temurun. Kepentingan hukum mereka selaku warga masyarakat yang menguasai lahan tanah itu dilindungi.
"Secara hukum penguasaan tersebut menjadi terikat haknya atas tanah kepada mereka selaku pemenang hak / yang menguasai, dan berhak untuk memperoleh prioritas pemberian hak diatasnya (termasuk hak milik) bila memenuhi syarat sesuai ketentuan hukum yang berlaku," terang Jermias.
Praktek hukum semacam itu, kata dia, dalam berbagai sumber hukum dilindungi dan diperkenankan untuk memperoleh prioritas hak di atasnya kepada si pemegang hak atas tanah, yang sudah tentunya prioritasnya adalah orang yang menempati, mengelola dan memanfaatkan tanah terkait penguasaan tanah negara.
Secara realitas Hukum Tanah Nasional, sebut Jermias, mengakuinya sesuai tata cara tiap-tiap daerah/wilayah dalam negara RI berdasar hukum adat/kebiasaan, susunan masyarakat adat dan kehidupan sosial. Penguasaan tersebut dalam bentuk tanah- tanah yang dikuasai secara wilayah desa, suku/marga dan Individual.
"Hal itu berarti secara hukum negara mengakuinya sebagai bentuk pengakuan hak penguasaan atas tanah negara secara tradisional bagi susunan masyarakat adat Indonesia. Dikenal dengan istilah tenurial," tutur Jermias.
Menurut dia, ada atau terdapat proteksi negara dalam perspektif hak atas tanah. Lalu, kata Jermias, yang kemudian menjadi pertanyaan hukumnya bagaimana dengan kasus hukum warga masyarakat Tikala versus kegiatan izin penambangan oleh perusahaan inisial CV BD di atas tanah warga masyarakat Tikala?
Jermias mengatakan, jika melihat pada fakta hukum berupa sejarah penguasaan warga masyarakat Tikala di tahun 1800- an sebelum Indonesia merdeka dan didukung dengan bukti surat dari pemerintah di tingkat Kelurahan serta sesuai surat SK dari Bupati Toraja Utara bahwasannya tanah tempat di mana dilakukan kegiatan penambangan terdapat destinasi pariwisata berupa situs Arca Batu salah satu di atasnya yaitu Tongkonan Marimbunna.
Maka, tegas Jermias, secara hukum masyarakat pemilik Tongkonan tersebut memiliki kepentingan hukum yang kuat untuk dilindungi hak-hak mereka beserta masyarakat lain di sekitarnya sebagai yang berhak untuk mengklaim hak atas tanah terhadap pemberian izin penambangan kepada perusahaan inisial CV. BD.
Unsur Pemerintah Kabupaten Toraja Utara, DPRD Kabupaten Toraja Utara, Dinas Pariwisata dan instansi berwenang terkait lainnya, lanjut Jermias, harus melakukan evaluasi untuk meninjau kembali izin penambangan yang diberikan kepada CV BD dengan pertimbangan hukum tidak boleh menafikan hak penguasaan warga masyarakat Tikala atas tanah yang sudah/telah dikuasai leluhur mereka sebelum Indonesia merdeka (sekitar tahun 1800-an) yang dipergunakan untuk kepentingan penambangan galian C oleh CV BD.
"Tidak bisa dihindari bahwasanya kegiatan pemberian izin tambang atas penggunaan dan pemanfaatan tanah wajib hukumnya bersesuaian dengan konsep kesesuaian tata ruang wilayah yang tentunya akan berimplikasi pada kegiatan pelepasan hak atas tanah kepada pemegang hak atas tanah," ungkap Jermias.
Dia menyebutkan, bila sampai hari ini masyarakat Tikala masih ribut tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah mereka oleh CV BD, itu berarti masih terjadi konflik tentang hak di satu sisi yang belum terselesaikan kasus hukumnya.
"Hal itu berarti patut secara hukum untuk mempertanyakan kegiatan awal dalam bentuk tahapan sosialisasi, apakah berjalan sesuai prosedur dan ketentuan hukumnya sekaitan dengan pengakuan hak atas tanah dan pelepasannya dalam hubungan dengan pengelolaan tambang," ujar Jermias.
Di sisi lain jika merujuk pada SK Bupati Torut Nomor 393/XI/2012 Tentang Penetapan Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Toraja Utara yang intinya ada destinasi pariwisata berupa Arca Batu termasuk terdapat rumah Tongkonan Marimbunna milik klan/kerabat keluarga warga setempat dan kegiatan penambangan galian C dilakukan di atasnya (situs wisata), maka sudah tentunya kesesuaian tata ruang wilayah izin tambang CV BD harus ditinjau kembali.
Hal itu, kata Jermias, merupakan suatu pelanggaran hukum dari aspek perencanaan tata ruang wilayah tambang galian C (tambang berbatuan), terkecuali secara hukum telah dihilangkan/hapus status dari destinasi pariwisata tersebut untuk menjadi area peruntukan lainnya yaitu tambang galian C (tambang berbatuan).
Dia mengatakan, pengalihan penurunan status sebuah lokasi tidak mudah prosedurnya, melainkan harus memerlukan tahapan/fase regulasi sesuai syarat-syarat yang ditentukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku tentang penurunan status. Proses pengkajiannya pun sangat komprehensif dan memerlukan waktu yang relatif panjang, karena melibatkan lintas sektoral berwenang dan terkait lainnya.
"Bila benar fakta hukumnya sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka tidak ada alasan lain lagi selain APH ( Aparat Penegak Hukum) yang berwenang segera menelusuri izin penambangan yang berdiri diatas SK Bupati Torut Nomor 393/XI/2012 sebagai sebuah bentuk pelanggaran hukum dalam pemberian izin penambangan galian C di atas destinasi pariwisata situs Arca Batu.
Apalagi, kata dia, jika dalam kenyataannya kegiatan tambang dimaksud telah menimbulkan kerusakan situs Arca Batu tersebut, maka berpotensi dipandang sebagai dugaan kejahatan/tindak pidana berupa telah menimbulkan kerugian keuangan dan/atau ekonomi negara di bidang Investasi wisata kepada daerah dan pengrusakan situs wisata.
Keputusan pemberian ijin tambang di atas SK Bupati Torut yang bersifat tumpang tindih wewenang, kata Jermias, bukan berarti ada ambivalen keputusan yang sifatnya remeh teme ( hal biasa) begitu saja, tetapi wajib secara hukum ditelusuri prosesnya karena ada/terdapat prilaku/perbuatan pengambilan keputusan dalam dugaan penyalahgunaan wewenang yang dapat menimbulkan kerugian keuangan dan/atau ekonomi negara dan pelanggaran hukum pengrusakan situs Arca Batu.
Selebihnya pula, lanjut Jermias, berbicara aktifitas/ kegiatan penambangan dari segi kesesuaian tata ruang dan dampak lingkungannya, senantiasa dipikirkan sejak awal kegiatan salah satunya adalah penyediaan ( ketersediaan) jalan tambang (hauling) yang wajib dibuat oleh perusahaan penambang.
"Biasanya dari rencana tata ruang wilayah disiapkan di luar dari pengertian jalan umum atau jalan yang sudah dahulu ada untuk kepentingan jalan warga masyarakat," jelas Jermias.
Jika faktanya, kata dia, betul jalan umum warga masyarakat Tikala dipergunakan sebagai jalan aktifitas tambang (hauling) yang merupakan jalan utama ( sentral) tambang, maka sudah tentunya beralasan hukum untuk mempertanyakan kesesuaian tata ruang dari kegiatan tambang oleh CV. BD.
Apalagi, lanjut Jermias, bila dampaknya telah menimbulkan kerusakan jalan dan menjadi kemacetan lalu lintas bahkan dapat/ berpotensi membahayakan pengguna jalan lainnya dari keselamatan jiwa berlalu lintas, maka tentunya situasi tersebut tidak bisa didiamkan begitu saja.
"Perlu untuk segera dievaluasi dan ditinjau kembali guna dicari solusi atau jalan keluar penyelesaian masalahnya antara warga masyarakat Tikala dengan CV BD pada tingkat penyelesaian yang dianggap lebih arif, bijaksana dan obyektif untuk dapat memberi suatu penilaian yang tepat," ujar Jermias.
"Apakah izin tambang harus dicabut karena tidak memenuhi kesesuaian tata ruang wilayah ataukah diperbaiki/dibenahi sesuai ketentuan hukum yang berlaku," ucap Jermias menambahkan.
Dia berharap ada langkah kongkrit dari Pemkab Toraja Utara untuk menyelesaikan masalah ini.
"Kita tunggu saja apa langkah kongkrit selanjutnya dari pemerintah Kabupaten Torut untuk menyikapi tuntutan warga masyarakat Tikala yang lahannya terkena kegiatan penambangan galian C (tambang berbatuan), namun baiknya dengan berbesar hati Pemkab Torut segera memfasilitasi pertemuan antara warga masyarakat Tikala dengan pihak Perusahaan CV BD untuk mencari solusi penyelesaian konflik agraris yang timbul di antara mereka," Jermias menandaskan.