Liputan6.com, Jakarta - Hidup adalah pertarungan tiada akhir atas diri sendiri. Ya, diri sendiri bukan orang lain atau makhluk lain. Dalam setahun, kita dilatih sebulan di bulan Ramadan secara khusus untuk menghadapi sang diri. Sesungguhnya, sepanjang hayat, manusia berdialektika atau berdialog dengan diri sendiri untuk menghadapi dirinya.
Diri manusia selalu ada dua sisi yang selalu berdialektika atau berdialog, khususnya dalam momen eksistensial seperti menyepi atau sendirian atau dalam kondisi perasaan gelisah, lalu bertanya: Mengapa aku ‘Ada’ di-dalam-dunia ini?
Momen puasa adalah waktu khusus ketika manusia berdialektika atau berdialog untuk mendalami dirinya, mengerti dirinya, menyelami perubahan dirinya dan saling menyapa dalam kesadaran primordialnya.
Dengan kata lain, manusia bukanlah materi atau makhluk rasional yang mudah ditebak dan ditentukan dalam kerangka sebab akibat. Manusia adalah ambivalensi, ironis, kompleks, dan selalu misterius di dalamnya.
Yang tampak di luarnya, manusia memang suka random. Tiba-tiba mengambil keputusan atas apa yang berputar di dalam dirinya, entah pikirannya, entah emosinya, entah hatinya, entah spiritualnya, entah dorongan eksternalnya. Sesama manusia sulit mengesensialkan satu dengan yang lain, karena manusia bukanlah materi yang padat atau makhluk rasional.
Sesama manusia tak berdaya melihat (memahami) perbedaan satu dengan yang lain. Manusia sulit mempunyai pola seragam dalam dirinya. Oleh sebab itu, keunikannya membuat manusia mempunyai perjuangan hidupnya masing-masing.
Dalam konteks ini, puasa menjadi momen penting untuk membaca ulang ke-rendom-an diri kita masing-masing. Dalam aspek sosial dan kultural, manusia terus mengenal satu dengan yang lain (lita’arafu) terkutip di QS: Hujurat:13 karena ke-random-annya itu.
Ramadan sebentar lagi selesai. Bagi orang muslim yang tersiksa dalam latihan diri dalam puasa memang sangat lama rasanya. Sebaliknya, jika ada unsur kenikmatan spiritual dalam bulan Ramadan ini, maka seorang muslim merasakan puasa dalam waktu cepat.
Hidup manusia di dunia dalam kerangka, ‘penjara’, dimensi waktu (time) adalah relatif sama seperti manusia sendiri. Manusia memang makhluk ironi kata Richard Rorty, filsuf Amerika; manusia memang ambivalensi menurut Eugen Bleuler; makhluk yang mengalami keterlemparan di dalam dunia dengan beban tanggung jawab atas dirinya sendiri, menurut Heidegger.
Suci Diri
Selesainya Ramadan adalah kelahiran momen suci manusia yang disebut Idul Fitri. Pribadi mana yang suci? Suci atau tidak, seorang muslim ditentukan oleh momen dialog atau dialektika dalam dirinya, karena ‘kerja’ puasa di bulan Ramadan sifatnya sangatlah pribadi. Penamaan suci pun masih seragam, yakni suci dari dosa. Hal ini yang diidamkan bagi setiap umat muslim di seluruh dunia.
Namun, apakah suci dari dosa ini dihapus melalui ibadah yang dianjurkan dalam bulan Ramadan ini? Apa yang sesungguhnya disucikan dalam diri manusia utamanya adalah diri yang kafir, yakni ‘penyakit’ hati yang selama ini menghitam tertutupi kelamnya hidup manusia.
Istilahnya: iri dengki, sakit hati, dendam, emosi, dan kebencian. Jika semua itu terhapus melalui dialog atau dialektika diri, maka diri kita mencapai kesadaran tinggi lalu menjadi suci. Logika semacam ini sulit dipahami manusia pada umumnya. Kerangka ini membutuhkan pelatihan yang serius dalam bulan Ramadan.
Salah paham jika kita mengandalkan ritual puasa untuk sarana satu satunya penyucian diri. Ritual memang cenderung sakral dan regular tapi ritual yang dogmatis belum tentu suatu pergerakan eksistensial manusia dalam kesadaran profound, signifikan, untuk berubah menjadi lebih baik.
Momen kesadaran dibangun dari dialog diri atau dialektika diri bukan dari aktivitas ritual dogmatis semata. Jadi kesadaran tidak ujug-ujug jatuh dari langit. Titik sadar sangalah melelahkan bukan dari ritual misalnya sholat ‘jengkang jengking’ dari niat, qiyam, dan takbiratul ikhram sampai duduk tawarruk dan salam.
Apa yang penting untuk dicapai dalam sholat adalah dialektika atau dialog diri tiada henti. Hal inilah yang melelahkan dalam sholat sampai kadang kita sangat keras ‘bekerja’ lalu berkeringat. Momen ini hadir ketika kesadaran eksistensial manusia bangun dalam tidurnya melalui media sholat, misalnya.
Momen kesadaran (eksistensial) adalah rangkaian panjang dari proses pencucian diri yang difasilitasi di bulan Ramadan. Momen kebangkitan atau pembangkitan melalui pelatihan diri di bulan Ramadan adalah utama.
Bulan ini adalah momen penuh perjuangan dalam dialog atau dialektika diri dengan kerja mengikis kafir diri agar terbebas (liberate/proses liberalisasi) dari kegelapan seperti penyakit hati yang di atas sudah disinggung. Inilah momen kebangkitan.
Ramadan adalah momen dimana proses dialog atau dialektika diri manusia dalam memahami dirinya yang relatif, ironis, ambivalen, dan mengalami keterlemparan di dunia. Dengan demikian, manusia menjadi rendah hati, tidak sombong atas lemah dirinya.
Kesucian Eksistensial
Manusia adalah makhluk lemah sekaligus adiluhung sebagai ciptaan Tuhan. Manusia lebih unggul daripada makhluk lain seperti hewan, tumbuhan, iblis/setan dan malaikat.
Dialog atau dialektika manusia di bulan Ramadan adalah kondisi pencarian dirinya (to liberate) karena sudah sejak dari kandungan manusia melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan, Surat Al-A'raf ayat 172-173, Allah berfirman manusia bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Sesungguhnya ini adalah momen kembali ke Tuhan, menjadi suci.
Dialog atau dialektika diri dalam bulan ramadan untuk mencapai kesadaran diri eksistensial tingkat adiluhung yang suci hakikatnya untuk apa yang dikatakan al Arabi: know yourself, you will your God. Ungkapan dalam filsafat Jawa adalah Sangkan Paraning Dumadi yang dibahasakan dalam al Quran adalah Innalillahi wa innailahi roji’un. Kesadaran ini adalah momen “ohhh” atau momen “aha” atau momen eurika. Inilah kesucian.
Kesadaran manusia seperti itu suci sebab manusia ditelanjangi dirinya oleh diri sendiri dalam dialog atau dialektika itu. Manusia dengan ketransparannya, ketelanjangannya, kebeningannya sadar bahwa dirinya apa yang difirmankan Allah: manusia itu lemah (Q.S. Annisa; 28), tergesa-gesa (Al-Isra’ 11),lalai (Q.S At-takaatsur 1), penakut (Q.S Al-Baqarah 155), bersedih hati (Q.S Al Baqarah: 62), mudah terperdaya (Q.S Al-Infithar : 6), suka mengeluh dan putus asa (Q.S Al Ma’arij: 20; Al-Fushshilat: 20) berdebat, ngenyelan, mbantah (Q.S. an-Nahl 4), suka berlebih-lebihan (Q.S Yunus: 12), pelupa (Q.S Az-Zumar: 8 ), , kikir (Q.S. Al-Isra’: 100), lupa bersyukur (Q.S. Az-Zukhruf: 15; al-’Aadiyaat: 6), zalim dan bodoh (Q.S al-Ahzab: 72), suka berprasangka (Q.S Yunus 36), mengukur atas dasar dirinya (Q.S al Hadid 72).
Kesadaran penuh kerendahan diri untuk mengakui kelemahannya di hadapan Allah adalah suci. Harusnya, suci inilah yang manusia peroleh dalam perayaan Idul Fitri. Lima belas hal di atas memberi kemudahan bagi kita agar kita tahu betul, sadar betul tentang diri kita di-hadapan Allah. Dengan demikian, kita terus memelihara kesucian itu dalam kekuatan spiritualisme kita lalu dikunci agar tidak lepas sampai bulan Ramadan berikutnya.
‘Mesin’ dialektika atau dialog dalam diri terus bergerak agar kunci spiritual kita tidak melepaskan kelemahan kita. Bertahan dalam kesadaran suci begitu melelahkan dan sulit sehingga sebelum menghadapi bulan Ramadan berikutnya, manusia seringkali lepas kendali dan membuka diri yang lemahnya dengan kunci itu.
Usaha menjaga kunci spiritual itulah yang disebut jihad besar yang berbeda dengan jihad kecil. Jihad besar disebutkan 44 kali dan hanya 10 kali yang ada dalam konteks perang sebagai jihad kecil (eksternal) disebut dalam al Quran. Jihad besar inilah yang menjaga kesadaran suci agar kunci spiritual kita tidak membuka kelemahan kita. Hal itulah yang dilatih selama Ramadan.
Dari jihad besar inilah Allah menunjukkan kesempurnaan manusia sehingga Allah menyerahkan semesta ini kepada manusia (khalifatul fil ardh) yang difirmankan di al Quran at Tin:4, Al Isra 70, dan al Baqarah 30.
Penulis: Musa Maliki, pengajar dan pegiat sosial