Liputan6.com, Samarinda - Kasus yang melibatkan Irma Suryani dan Nur Fadiah Hasanuddin, istri dari Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, kembali mencuat setelah penetapan Irma sebagai tersangka oleh Polda Kaltim. Penetapan tersebut mendapat perhatian serius dari tim kuasa hukum Irma, yang menganggap ada kejanggalan dalam proses hukum yang berlangsung.
Menurut kuasa hukum Irma, Jumintar Napitupulu, masalah ini bermula pada tahun 2016 ketika Irma bertemu dengan Nur Fadiah. Keduanya sudah saling mengenal sejak 2010, namun pada 2016, Nur Fadiah meminta bantuan dana dari Irma untuk menjalankan bisnis Solar Laut.
“Sebagai kesepakatan, Irma mengeluarkan dana sebesar Rp 2,7 miliar untuk mendukung bisnis tersebut, dengan pembagian keuntungan 40 persen untuk Irma dan 60 persen untuk Nur Fadiah,” ucap Jumitar dalam keterangannya kepada awak media.
Pembagian yang lebih besar diberikan kepada Nur Fadiah karena faktor-faktor seperti kepemilikan perusahaan, tenaga kerja, pengamanan, serta jaringan bisnis yang dimilikinya. Pembayaran tersebut disepakati dilakukan dalam empat bulan, dimulai pada Agustus hingga Oktober 2016, di luar uang pokok yang sudah ditanamkan oleh Irma.
Namun, setelah beberapa bulan berjalan, Irma merasa dirugikan karena Nur Fadiah tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan awal. Sebagai bentuk protes dan untuk menuntut haknya, Irma mulai menagih keuntungan yang dijanjikan oleh Nur Fadiah. Pada Desember 2016, Nur Fadiah memberikan cek sebesar Rp 2,7 miliar sebagai bukti pembayaran utang, yang ditandatangani bersama suaminya, Hasanuddin Mas’ud.
Namun, ketika Irma mencoba mencairkan cek tersebut pada Maret 2017, saldo rekening yang tercatat tidak mencukupi untuk mencairkan uang tersebut. Irma yang merasa ditipu kemudian terus menuntut agar dana yang telah disepakati dapat dikembalikan. Meskipun Nur Fadiah menjanjikan pelunasan, hanya ada beberapa transaksi kecil yang tidak sesuai dengan perjanjian awal, yakni pembayaran sebesar Rp 195 juta yang dicatat sebagai “fee” yang belum cukup untuk melunasi seluruh dana yang terutang.
“Karena tidak ada penyelesaian yang memadai, Irma akhirnya meminta agar dana awal sebesar Rp 2,7 miliar dikembalikan. Sebagai jaminan, pada awal 2018, Nur Fadiah menyerahkan lima BPKB mobil dan enam sertifikat tanah sebagai jaminan kepada Irma. Semua barang tersebut diserahkan langsung, dan tidak diambil paksa, menurut keterangan dari kuasa hukum Irma,” bebernya.
Namun, meski sudah menyerahkan jaminan, Irma merasa haknya belum dipenuhi, dan merasa bahwa dirinya telah menjadi korban penipuan. Akibatnya, pada April 2020, Irma melaporkan kasus ini ke Polresta Samarinda. Laporan tersebut dihentikan dengan status SP3 pada Desember 2021.
Setelah laporan tersebut di SP3, Nur Fadiah kemudian melapor balik pada Juli 2020, dengan tuduhan pemerasan dan pengancaman terhadap Irma. Proses hukum atas laporan Nur Fadiah pun kemudian dilanjutkan, dan kini Irma telah ditetapkan sebagai tersangka.
Jumintar Napitupulu menilai bahwa SP3 yang dikeluarkan oleh Polresta Samarinda cacat hukum, mengingat penyidik yang menangani laporan Irma sebelumnya diketahui telah melanggar kode etik. Ia pun menganggap bahwa ada pengaruh politik yang turut campur dalam proses hukum ini, mengingat kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga Nur Fadiah.
Selanjutnya, ia menegaskan bahwa laporan dari kuasa hukum Nur Fadiah yang menyebutkan bahwa perampasan barang-barang berharga oleh Irma terjadi antara 2013 hingga 2016 tidak sesuai dengan kenyataan. Ia juga menjelaskan bahwa ceklis sertifikat baru dilakukan pada 2018, yang membantah klaim dari pihak Nur Fadiah.
Kasus ini kini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Kaltim untuk diproses lebih lanjut. Jumintar menyatakan pihaknya akan menunggu keputusan dari Kejati untuk mengetahui apakah perkara ini akan dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan.
“Kami akan menunggu keputusan Kejaksaan, apakah kasus ini layak dilanjutkan atau tidak,” ujar Jumintar.