Liputan6.com, Samarinda - Wacana penutupan sementara alur Sungai Mahakam pasca insiden tabrakan kapal tongkang yang merusak bagian bawah Jembatan Mahakam mendapat tanggapan serius dari DPRD Kalimantan Timur. Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Akhmed Reza Fachlevi, mengingatkan agar setiap keputusan menyangkut jalur strategis ini harus mempertimbangkan secara cermat aspek keselamatan sekaligus dampak sosial dan ekonomi.
Menurutnya, Sungai Mahakam bukan sekadar alur sungai biasa. Sungai di provinsi yang sebagian wilayahnya akan menjadi Ibu Kota Nusantara ini merupakan urat nadi ekonomi dan memiliki dampak luas.
“Keselamatan warga tentu prioritas, tetapi kita juga harus memikirkan konsekuensi dari penutupan alur sungai ini,” ujar Reza saat ditemui di Samarinda, Selasa (30/4/2025).
Reza menegaskan otoritas pengelolaan Mahakam tidak berada di tingkat daerah. Sehingga kewenangan daerah hanya sebatas memberi usulan atau bahkan hanya rekomendasi.
“Sisi darat merupakan kewenangan Kementerian PUPR, sementara sisi perairan di bawah Kementerian Perhubungan. DPRD hanya bisa memberi usulan dan rekomendasi, bukan pengambil keputusan,” jelasnya.
Insiden yang memicu perdebatan ini terjadi pada Minggu (28/4/2025) lalu, saat sebuah kapal tongkang bermuatan batu bara menabrak tiang penyangga Jembatan Mahakam di Samarinda.
Peristiwa itu menyebabkan kerusakan struktur jembatan dan sempat mengganggu lalu lintas kendaraan serta pelayaran di sekitar lokasi. Tabrakan ini juga memicu kekhawatiran akan keselamatan pengguna jembatan dan pelaku pelayaran sungai.
Kaji Penutupan Alur Sungai Mahakam
Menanggapi usulan penutupan sementara alur sungai, Reza menilai langkah tersebut perlu dikaji secara menyeluruh. Ia menyampaikan bahwa potensi kerugian dari penutupan Mahakam sangat besar.
“Jika sungai Mahakam ditutup total, dampaknya bisa sangat luas. Distribusi batu bara akan terganggu, jetty dan ponton yang tidak terpakai bisa rusak, bahkan terbakar karena penumpukan. Ini tidak hanya akan memukul industri energi, tapi juga berimbas langsung ke ribuan pekerja di sektor pelayaran, logistik, hingga masyarakat sekitar yang bergantung pada aktivitas sungai,” papar Reza.
Tak hanya itu, dampaknya juga akan berimbas pada penerimaan negara. Sebab sektor batu bara menjadi penyumbang besar pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Kalau distribusi terganggu, pendapatan negara akan turun. Ini bukan hanya soal Kaltim, tapi bisa berdampak ke neraca nasional,” sambungnya.
Selain kerugian ekonomi, Reza juga menilai ada dampak reputasi yang perlu diperhitungkan.
“Jika jalur pelayaran strategis seperti Mahakam ditutup tanpa solusi yang tepat, bisa muncul anggapan bahwa negara tidak mampu menjamin keselamatan dan kelancaran jalur logistiknya sendiri. Ini bisa berdampak ke investasi dan kepercayaan internasional,” ujarnya.
Meski demikian, Reza tidak menutup mata terhadap perlunya tindakan serius terhadap insiden tersebut. Ia mendorong aparat penegak hukum untuk menindak tegas pihak yang bertanggung jawab.
“Proses hukum harus berjalan. Kejar pelaku tabrakan, selidiki nakhoda, ABK, bahkan pemilik perusahaan. Bila perlu cabut izin operasional dan sita kapal. Penegakan hukum harus tegas agar ada efek jera,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa yang harus diberi sanksi adalah pelaku, bukan masyarakat atau sektor ekonomi secara keseluruhan.
“Jangan sampai karena ulah satu pihak, masyarakat luas yang tidak tahu-menahu justru ikut menanggung akibatnya,” tutup Reza.
Sejauh ini, proses investigasi terhadap insiden masih berlangsung. Belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Perhubungan terkait usulan penutupan sungai maupun tindakan terhadap perusahaan pemilik tongkang.