Diduga karena Meliput Aktivitas Tambang Emas Ilegal Pohuwato, Jurnalis di Gorontalo Diteror Serangan Digital

1 month ago 48

Liputan6.com, Gorontalo - Sarjan Lahay, jurnalis dan editor salah satu media lokal di Gorontalo, mengalami serangan digital berupa penyebaran informasi palsu atau fitnah melalui media sosial diduga setelah dirinya membuat pemberitaan secara masif mengenai praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Serangan ini dimulai dengan penyebaran informasi palsu yang menuduh Sarjan Lahay meminta sejumlah uang dari para pelaku penambang melalui aplikasi WhatsApp dengan menggunakan nomor pribadinya.

Potongan chat editan yang tidak jelas asal-usulnya pertama kali disebar oleh akun Facebook @Latabu Aidi sekitar pukul 19.00 Wita, Rabu (5/2/2025).

Serangan ini diduga ini terjadi setelah Sarjan Lahay melakukan peliputan secara intensif mengenai praktik PETI di beberapa lokasi di Pohuwato.

Beberapa artikelnya yang dianggap sebagai pemicu utama serangan ini adalah artikel dengan judul: “Kapolsek Marisa Diduga Peras Pelaku PETI Hulawa: Gunakan Oca, Orang Dekatnya?”

Dari artikel tersebut, muncul berbagai pemberitaan terkait isu yang sama, seperti “Kapolsek Marisa Diperiksa Propam Soal Dugaan Pemerasan Pelaku PETI Hulawa”.

Ada juga artikel dengan judul “Rp 50 Juta Peralat, Ajudan Kapolda Gorontalo Diduga Atur Setoran di PETI Hulawa”, dan “Dugaan PETI Hulawa Libatkan Kapolsek dan Ajudan Kapolda: Preseden Buruk untuk Institusi”.

Selain itu, terdapat juga berita lain terkait isu serupa, seperti “Rp 50 Juta Peralat, Kapolda Gorontalo Tanggapi Dugaan Ajudannya Atur Setoran di PETI Hulawa”, “Diduga Peras Pelaku PETI Hulawa, Umar Karim Minta Kapolsek Marisa Diproses Hukum”, hingga “Kapolda Gorontalo Didesak Lakukan Investigasi Forensik Terkait Dugaan Ajudannya yang Peras Pelaku PETI Hulawa”.

Semua berita tersebut dipublikasikan secara berurutan, mengikuti perkembangan isu yang ada. Sejak berita-berita itu dipublikasikan, beberapa orang yang dekat dengan pelaku penambang menghubunginya untuk mengajak bertemu dengan tujuan meredam pemberitaan tersebut. Namun, Sarjan tetap teguh pada sikapnya dan menolak seluruh ajakan tersebut.

Karena gagal meredam pemberitaan, serangan digital terhadap Sarjan semakin masif. Informasi palsu yang menyudutkan Sarjan terus disebarkan melalui Facebook oleh akun yang baru memiliki sekitar 13 teman.

Informasi yang disebarkan berupa potongan chat WhatsApp saya yang telah diedit, seolah-olah Sarjan meminta uang dari pelaku penambangan.

Serangan digital semacam ini dirancang dengan membuat akun media sosial yang identik atau serupa dengan akun korban yang menjadi sasaran.

Dalam kasus yang dialami arjan, para pelaku berusaha memanipulasi percakapan dengan membuat chat yang seolah-olah berasal darinya, lengkap dengan mencantumkan nomor pribadi dalam obrolan WhatsApp.

“Saya pastikan seluruh potongan percakapan tersebut adalah hasil editan. Saya siap untuk menjalani audit forensik guna menelusuri percakapan ini, baik yang terjadi selama saya menggunakan WhatsApp,” kata Sarjan Lahay.

Serangan ini diduga merupakan bagian dari strategi pelaku untuk meredam pemberitaan terkait aktivitas PETI yang dipublikasikan Sarjan.

Perlu dicatat bahwa website dan akun yang pertama kali menyebarkan informasi palsu tersebut merupakan akun-akun palsu yang sengaja dibuat agar identitas mereka tetap anonim dan tidak dapat dilacak. Saat ini, akun tersebut sudah hilang.

Redaksi tempat Sarjan bekerja melalui pernyataan resmi mengutuk serangan digital ini yang mereka sebut sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan pers dan keamanan individu.

Mereka menegaskan bahwa penulis tersebut hanya menjalankan tugas jurnalistik untuk mengungkap fakta yang terjadi di lapangan.

Dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, serangan digital terhadap Sarjan termasuk dalam Pasal 18 juncto KUHP UU ITE. Pasal 18 Ayat (1) UU Pers menyebutkan, siapa pun yang menghalangi kegiatan jurnalistik dapat diancam pidana hingga dua tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Selain itu, kekerasan tersebut bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2), yang menegaskan bahwa pers nasional tidak boleh disensor, dibredel, atau dilarang untuk disiarkan. Pasal 30 Ayat (3) UU ITE mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengakses komputer dan/atau sistem elektronik tanpa izin dapat dihukum penjara hingga delapan tahun dan denda maksimal Rp800 juta.

Sementara itu, Pasal 31, 32, dan 48 UU ITE juga mengatur hukuman bagi pihak yang melakukan penyadapan atau menyebarkan informasi pribadi tanpa dasar yang sah. Dalam konteks ini, kegiatan investigasi jurnalistik untuk kepentingan publik tidak dapat dikenakan hukuman.

Pimpinan Redaksi media tersebut, Andi Jamaluddin AM Pannyame mengatakan, praktik ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan pihaknya berhak untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai isu-isu yang relevan.

Ia juga meminta masyarakat tidak langsung percaya terhadap informasi yang beredar dan memastikan secara langsung informasi yang diterima dengan baik dan benar terkait kerja-kerja jurnalis.

“Kami akan terus mendukung jurnalis kami dalam melakukan pekerjaannya dan berusaha agar kejadian ini tidak menghalangi kami dalam memberikan informasi yang bermanfaat bagi publik,” pungkasnya.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |