Kilas Balik, Kisah Tatkala Anak Rohingya Bertemu Paus Fransiscus

4 hours ago 2

Liputan6.com, Aceh - "Ya, saya bertemu dengan Paus Fransiskus, dan berdiskusi tentang pengungsi Rohingya dengannya," Fayruz menjawab pesan yang saya kirim melalui WhatsApp. Dalam hati saya membatin, setelah sekian purnama berlalu, "akhirnya."

Fayruz adalah salah seorang pemuda Rohingya yang sempat tinggal di Aceh sebelum bertolak ke Makassar, menggapai mimpinya untuk kuliah. Semua itu berkat beasiswa afirmasi untuk pengungsi yang disokong oleh beberapa lembaga kemanusiaan.

Saya tertarik untuk mengetahui isi pembicaraan Fayruz dengan Paus Fransiskus. Paus Gereja Katolik ke-266 itu sempat melawat ke Indonesia pada September tahun lalu, sebuah anjangsana untuk ketiga kalinya sebelum ia wafat pada April 2025. 

Pemuda itu berkesempatan bertemu dengan Paus Fransiskus bersama 39 orang lainnya dari komunitas-komunitas yang terpinggirkan. Pertemuan tersebut berlangsung di Kedutaan Besar Vatikan (Nunciature) di Jakarta Pusat.

Fayruz sebelumnya adalah seorang pemuda memiliki mimpi setinggi langit yang mengungsi di kamp pengungsi Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh sejak 2017. Itu sebuah kantong pengungsian terbesar sekaligus paling menyesakkan di dunia. 

Cox's Bazar dihuni oleh etnis Rohingya yang terpaksa kabur dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar karena "pembersihan etnis". Dengan kekuatan militernya, Myanmar memborbardir desa-desa serta membunuh orang-orang.

Etnis Rohingya sejatinya telah menghuni Myanmar selama berabad-abad. Apa lacur, mereka mulai diberlakukan secara tidak manusiawi sejak Myanmar merdeka dari Inggris pada 1940-an.

Dari hulu ke hilir, pelbagai beleid yang menempatkan etnis Rohingya secara tidak setara di Myanmar mulai diberlakukan. Kebijakan-kebijakan nan apartheid telah berlangsung menjadi kekerasan sistematis.

Operasi militer untuk mengusir etnis Rohingya dilangsungkan berulang kali. Pada 2017, sebuah proyek pembersihan yang melahirkan gelombang pengungsian besar-besaran ke Bangladesh, negara tetangga Myanmar dilangsungkan.

Fayruz dan keluarganya adalah di antara yang turut serta melarikan diri. Tanggal 25 tahun 2017 kelak direkognisi sebagai Hari Genosida terhadap Rohingya. 

Berdasarkan data Komisi Bantuan dan Repatriasi Pengungsi Bangladesh tahun 2020, kamp Kutupalong terdiri dari sejumlah kamp, yaitu Kamp 1E, 1W, 2E, 2W, 3, 4, 4 Extension, 5, 6, 7, 8E, 8W, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 20 Extension.

Membludaknya jumlah pelarian secara signifikan pada 2017 menjadikan kamp tersebut ditempati oleh hampir satu juta pengungsi dengan luas areal lahan mencapai 13 kilometer persegi.

Kehidupan di tempat itu tak meyakinkan: para pengungsi hidup di atas lahan deforestasi yang padat berdebu. Pemandangan di tempat itu terdiri dari rumah-rumah anyaman bambu serta terpal di atas tanah liat yang bergelombang dengan tingkat kecuraman yang ekstrem: tubir.

Tempat itu menampung hal-hal seperti kebakaran, banjir, hingga perang antargeng. Ini mengakibatkan keselamatan nyawa tidak dapat diterka, seakan sebuah pertaruhan yang tidak adil.

Simak Video Pilihan Ini:

Berbagi Takjil dengan Cara Unik , Polisi Cosplay Wayang Orang

Malam yang Membawa Ayahnya Pergi

Malam yang begah telah menjadi malam jahanam bagi Fayruz dan keluarganya. Sekelompok orang mendobrak masuk ke rumah dengan memangku senjata api bukan untuk bertamu.

"Mereka datang ke kamp sekitar tengah malam," cerita Fayruz beberapa waktu lalu.

Orang-orang itu mencari Jamil Ahmed, ayah Fayruz. Mereka mengikatnya dan mulai menganiaya laki-laki tua tak berdaya tersebut.

Menurut Fayruz, ayahnya ditinggalkan dalam keadaan terkulai lemas bersimbah darah. Sebilah pisau menancap di tubuhnya.

Ayah Fayruz sempat digotong ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong. Fayruz dan keluarganya amat terpukul.

Fayruz yakin bahwa penyekapan tersebut erat kaitannya dengan aktivitas sang ayah yang selama ini banyak terlibat dengan kegiatan kemanusiaan dalam membela hak kaum Rohingya. Selain itu, Jamil Ahmed juga seorang pebisnis.

Di kamp menurut Fayruz, orang-orang atas nama gerakan kemerdekaan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok militansi mulai mengutip uang secara membabi-buta. Kamp bersulih jadi wilayah perebutan kekuasaan dan jadi arena pertempuran antarkelompok militansi.

Kelompok-kelompok ini merupakan perpanjangan tangan dari kelompok yang lebih besar di Myanmar yang lahir untuk melawan junta militer di Myanmar. 

Myanmar nyatanya dihiasi oleh sejumlah kelompok pembebasan berbasiskan etnis. Beberapa nama yang muncul seperti Rohingya Independence Force, Rohingya Solidarity Organisation (RSO), Arakan Rohingya Islamic Front, Rohingya Solidarity Alliance, dan Rohingya Patriotic Front, dan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). 

Selain itu, juga terdapat AA atau Arakan Army yang telah berganti nama menjadi Arakha Army, bagian dari sayap militer United League of Arakan (ULA) yang didirikan oleh mantan pejabat pemerintah Myanmar bernama Twan Mrat Naing pada 2009 bertujuan melawan militer Myanmar.

AA atau Arakha Army secara etnis dimotori oleh orang-orang dari kalangan Buddha, tetapi mengeklaim eksklusifisme. Kamp menjadi salah satu lumbung kader selain juga sebagai ajang unjuk untuk kekuatan. 

Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) pernah berusaha merekrut Fayruz. Lantas, apa jawaban pemuda tersebut?

"Saya menolak dan saya mengabaikan permintaan mereka," tutur Fayruz, mengutip cerita yang sebelumnya telah tayang di Liputan6.com.     

Fayruz tidak yakin. Terlalu banyak kekerasan yang dipertontonkan oleh kelompok-kelompok ini di kamp sehingga perjuangan mereka terkesan penuh pemaksaan.

"Secara politik mereka tidak melakukan apa pun untuk Rohingya. Mereka hanya ingin menghancurkan kami," tegas Fayruz.

Dengan pelbagai pertimbangan tersebut, akhirnya Fayruz memilih keluar dari kamp. Para penyelundup manusia dapat dengan mudah menemukan orang-orang putus asa seperti dirinya.

Hidup kamp seperti hidup di dalam ghetto. Ada tempat bagi kehidupan yang diimpikan setiap orang di luar sana, Fayruz pun tergoda.

Menambatkan Harapan Kepada Paus

Dengan membayar uang sekitar Rp 11 juta jika dikonversikan ke dalam mata uang rupiah, ia pun berangkat. Desember 2022, pemuda ini naik sebuah kapal bersama 185 orang lainnya, melewati perjalanan yang penuh pertaruhan antara hidup dan mati.

Dia melewati sebuah perjalanan seperti yang dilewati oleh banyak pengungsi Rohingya yang berusaha untuk hidup lebih baik. Perjalanan tersebut memakan waktu hampir satu bulan.

Ini merupakan sebuah perjalanan yang masygul. Hari kesembilan, para penumpang itu menderita, seorang anak kecil bahkan harus dilarung ke laut karena kapal kekurangan logistik.

Ada lima puluh orang lebih anak-anak di atas kapal itu. Semua orang mulai menangis ketakutan.

“Namun, kami tidak punya pilihan lain. Tidak ada yang datang menolong kami. Seandainya kapal kami berada dekat dengan pantai atau pedesaan maka kami memiliki harapan bahwa setidaknya kami selamat. 

Kami juga berharap bahwa mungkin suatu hari akan ada yang melihat kapal kami dan mereka akan datang menyelamatkan kami,” kenang Fayruz.

Di tengah rasa putus asa, dari kejauhan sana mulai terlihat sebuah daratan asing. Orang-orang pun mulai bersorak kegirangan karena secercah harapan baru saja muncul. 

Itu adalah Aceh! Fayruz bersama 180 lebih penumpang dari Bangladesh itu mendarat di pantai Kuala Gigieng, Desa Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar pada 8 Januari 2023.

Fayruz mengiba kepada salah seorang warga agar dipinjamkan telepon genggam. Ia harus segera memberitahu ibunya bahwa dirinya baik-baik saja.

Sebulan yang lalu, Fayruz berbohong kepada Modina Ul-Shajida dengan cara mengaku pergi ke kota untuk sebuah pekerjaan. Padahal, ia pergi menyeberang lautan dengan kapal penyelundup.

Fayruz dan pengungsi lainnya kelak diungsikan ke sebuah bangunan bekas Yayasan Mina Raya, di Pidie. Di tempat itulah Fayruz berusaha mati-matian mengubah hidup.

Dengan kemampuan berbahasa Inggris yang baik, Fayruz kerap diminta tolong oleh organisasi kemanusiaan di kamp sebagai penerjemah.

Ia digaji. Uang gaji inilah yang kemudian oleh bantuan seseorang dari organisasi kemanusiaan dikirim ke Bangladesh untuk mengobati ibunya yang telah menenteng tumor sejak dari Myanmar.

Fayruz termasuk beruntung. Cita-cita untuk melanjutkan pendidikan yang selama ini ia idam-idamkan akhirnya tercapai.

Ia kini mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Bosowa, Makassar. Dia mulai kuliah pada 16 April 2024 setelah diberi izin oleh pihak keimigrasian pada 23 Maret 2024. 

Dalam sebuah acara yang diinisiasi oleh KontraS Aceh pada Maret 2024 lalu Fayruz sempat mengatakan bahwa kelak ia ingin bertanya sendiri mengapa pemerintah Myanmar berniat membinasakan kaumnya. 

Selain itu, Fayruz ingin mendorong sebuah upaya agar apa yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar dipertanggungjawabkan di muka Pengadilan Kejahatan Internasional dan Mahkamah Internasional.

Kesempatan bertemu dengan Paus Fransiskus dimanfaatkan oleh Fayruz untuk menceritakan apa yang dialami kaumnya di Myanmar. 

"Saya datang ke sini untuk menyambut anda dan berbagi dengan anda sesuatu tentang pengungsi Rohingya. Bukan hanya Rohingya. Saya ingin berbagi dengan anda tentang semua pengungsi di dunia ini, dan dia berkata, oke," begitu tutur Fayruz sewaktu bertemu dengan Paus Fransiskus.

Fayruz mulai bercerita soal situasi terkini yang menimpa etnis Rohingya di Maungdaw, Myanmar. Fayruz secara khusus berharap Paus Fransiskus ikut mengamplifikasi apa yang dialami oleh etnis Rohingya kepada seluruh pemimpin di dunia.

"Dan mengatakan kepada mereka untuk menghentikan genosida karena di dunia ini banyak sekali orang yang menderita dan menghadapi banyak sekali masalah serta situasi sulit diakibatkan oleh genosida dan diskriminasi," kata Fayruz.

Fayruz juga menambahkan tentang hak fundamental yang dimiliki setiap orang, hak untuk hidup dengan merdeka dan damai. Ia dan kaumnya ingin kembali ke Myanmar, tanah air kaum Rohingya.

"Paus Fransiskus berkata kepada saya, 'baiklah, mari kita lihat dan semoga saja semuanya baik-baik saja di masa mendatang'," tutur Fayruz.

Menurut Fayruz ia tidak dapat banyak bercerita karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh Paus Fransiskus. Ia akan mengingat momen-momen pertemuannya tersebut.

Setelah Paus Fransiskus wafat, Paus dengan nama lahir Jorge Mario Bergoglio, itu digantikan oleh Robert Prevost sekarang dikenal sebagai Paus Leo XIV. Paus baru ini terpilih usai konklaf tertutup yang berlangsung selama tiga putaran.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |