Liputan6.com, Kutai Timur - Suara deru mesin tambang batu bara terdengar jelas, baik di sisi kiri maupun kanan, jalan poros Bengalon – Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Hanya ada sedikit rimbun pepohonan yang menyamarkan aktivitas di kawasan itu.
Sepekan jelang Ramadan 2025, Liputan6.com mencoba menelusuri jalan itu dan berhenti saat melihat dahan sebuah pohon bergerak tak biasa. Ada aktivitas berbeda karena pohon bergerak bukan karena tiupan angin.
Saat mendekat, tiba-tiba muncul orang utan betina yang berusaha menjauh. Primata itu menggendong anaknya dan berusaha berpindah ke pohon lain menjauh dari manusia yang terus mendekat.
Dua individu orang utan ini hanya berjarak lima meter dari tepi jalan. Aktivitas lalu lintas yang cukup padat tak mengganggu kesibukan orang utan mencari pakan. Bahkan suara deru mesin dari area tambang batu bara tak mengganggu satwa dengan nama latin Pongo pygmaeus morio ini.
Jalan ini menghubungkan Kabupaten Kutai Timur dengan Kabupaten Berau. Secara lebih luas, jalan ini menjadi penghubung Provinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan Utara. Masyarakat setempat menyebut jalur sibuk ini dengan sebutan Perdau.
Kedatangan Liputan6.com bersama jurnalis media nasional lainnya bukan tanpa sebab. Kemunculan orang utan di tambang, areal perkebunan, bahkan pemukiman penduduk yang kemudian viral di media sosial kebanyakan muncul dari kawasan ini.
“Kita ingin membuktikan apakah kawasan ini memang padat dengan orang utan sehingga kemunculannya sangat sering di tambang batu bara,” kata Bakri, jurnalis televisi nasional yang ikut dalam rombongan bersama Liputan6.com.
Setelah menemukan dua individu orang utan, Liputan6.com coba menelusuri sisi jalan dengan jalan kaki. Tak disangka, hanya sekitar 20 meter dari lokasi penemuan dua orang utan pertama, terlihat lagi satu individu orang utan lainnya yang tiba-tiba bergerak berpindah dahan.
Penelusuran pada sore itu tak hanya menemukan tiga individu orang utan, tetapi juga banyak sarang. Kepadatan orang utan di sebuah kawasan memang bisa dilihat dari sebaran sarang, namun untuk jumlah pastinya belum ada yang bisa menentukan secara pasti.
“Susuri saja jalan ini sampai ke dekat Muara Wahau, pasti ketemu orang utan,” kata Ahmad, seorang pedagang bakso yang tiba-tiba berhenti saat melihat para jurnalis berusaha memotret orang utan dari tepi jalan.
Ahmad bahkan memberikan petunjuk waktu yang tepat, yaitu pagi dan sore hari. Kalau beruntung, saat siang hari juga bisa menyaksikan orang utan mencari pakan.
Upaya membuktikan kepadatan orang utan yang sering viral karena interaksi negatif dengan akivitas manusia memang mengundang beberapa jurnalis media nasional untuk datang ke kawasan Perdau. Penelusuran di mulai dari sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan Simpang Perdau, hingga ke dekat perbatasan Kecamatan Muara Wahau.
Penelusuran dilakukan selama empat hari, setiap pagi dan sore. Seluruh upaya penelusuran itu nyaris menemukan orang utan.
Terbiasa Melihat Orang Utan
Video orang utan yang viral di media sosial terakhir terjadi di sebuah kawasan pertambangan batu bara tak jauh dari Simpang Perdau pada 5 Februari 2025 silam. Saat Liputan6.com mengunjungi tempat itu, pihak perusahaan menutup akses menuju lokasi tersebut.
Lokasi ini memang terjangkau karena ada akses jalan lama yang kini tiba-tiba berubah jadi pertambangan batu bara. Rute itu berubah seiring pengembangan areal pertambangan yang kini banyak beraktivitas di kawasan Perdau.
Aktivitas orang utan yang sering muncul di kawasan Perdau menjadi hal yang wajar disaksikan warga setiap hari. Mereka bahkan seolah membiarkan koeksistensi itu.
Lina, seorang pemilik warung di Simpang Perdau mengaku, sejak belum ada aktivitas perusahaan, orang utan sudah menjadi “tetangga” yang baik bagi warga. Interaksi yang terjadi pun seperti punya kehidupan masing-masing.
“Kalau ada orang utan biasanya kita biarkan. Karena tidak rakus, kalau makan cenderung diam, tenang. Kalau menyeberang juga kami yang mengalah membiarkan dulu lewat,” kata Lina.
Di saat sekarang pun, ketika tambang batu bara dan kelapa sawit menjepit habitat primata ini, warga sering melihat orang utan memakan pucuk kelapa sawit mereka. Warga tanpa mengeluh membiarkan dan tak mengganggu orang utan.
Hanya saja, kata Lina, dia merasa kasihan karena orang utan terlihat semakin kesulitan mencari pakan. Di belakang warung Lina, suara aktivitas pertambangan batu bara kian nyaring terdengar.
“Bahkan dulu ada yang sampai minta makan di pinggir jalan. Tapi sudah dipindah oleh petugas,” kata Lina yang mengindikasikan ada upaya translokasi orang utan dan tentu saja dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim.
Interaksi negatif, kata yang dipilih Kementerian Kehutanan menggantikan konflik manusia-orang utan, memang seperti tak melibatkan perebutan kawasan dengan komunitas warga di beberapa tempat. Konflik terjadi karena kawasan hutan yang kian terbuka dan habitat yang terfragmentasi.
Di sepanjang jalan di Kawasan Perdau, sejauh pengamatan Liputan6.com, melihat sarang orang utan adalah hal yang paling mudah. Paling sederhana, lihat saja pucuk pohon sawit yang selalu hilang.
Siap Ambil Langkah Tegas
Kapolres Kutai Timur AKBP Chandra Hermawan menyebut belum pernah ada laporan soal konflik orang utan dengan warga. Pihaknya belum pernah menerima laporan kekerasan terhadap satwa ini, baik penembakan maupun pemukulan.
Warga juga semakin teredukasi dan berusaha mencegah interaksi langsung dengan orang utan. Apalagi pihak kepolisian juga rutin berpatroli di titik-titik sering kemunculan orang utan.
“Alhamdulillah, selama kurang lebih saya tujuh bulan menjabat sebagai Kapolres Kutai Timur, tidak pernah ada laporan terkait pelanggaran atau hal-hal apapun itu juga terkait dengan satwa yang dilindungi sampai dengan saat ini, terkhusus seperti orang utan,” kata Chandra, Selasa (25/2/2025).
Kepolisian sendiri akan bersikap tegas jika menemukan pelanggaran itu. Setiap laporan soal satwa dilindungi, tegas Chandra, akan menjadi atensi khusus.
“Karena satwa yang dilindungi ini bukan main-main, menjadi sorotan di Indonesia maupun di dunia. Apalagi terkait masalah orang utan, itu sudah memang menjadi atensi dunia untuk kita lindungi. Apabila memang ada laporan, saya pastikan akan ditindak tegas pelakunya,” katanya.
Pernyataan ini tentu mengindikasikan keberadaan orang utan sejak lama telah diterima oleh warga. Apalagi semakin banyak warga yang mengetahui satwa ini dilindungi sehingga akan berdampak hukum jika mengganggu.
Habitat Semakin Parah
Muhammad Rusli, Ketua RT 2 Desa Sepaso Barat, mengakui memang hutan di kawasan Perdau tergerus oleh aktivitas pertambangan dan perkebunan. Di sisi kiri tempat tinggalnya saja, beberapa hektar kebun kelapa sawit, telah diakuisisi oleh perusahaan pertambangan batu bara.
“Kalau kita lewat di tepi jalan, memang kanan kirinya pepohonan. Tapi itu cuma beberapa meter dari tepi jalan, selebihnya sudah ditambang,” kata Rusli.
Kondisi itu membuat orang utan kesulitan mencari pakan. Rusli sering menerima laporan, bahkan melihat langsung, orang utan masuk ke pemukiman, berjalan di antara rumah, untuk mencari makan.
Dia pun meyakini, seringnya orang utan masuk ke perkampungan karena di situ pakan yang banyak tersedia. Ada perubahan sikap dari orang utan sehingga tak lagi menghindari jika ada manusia
“Orang utan sekarang sudah tidak takut kalau ketemu warga. Mungkin karena kelaparan jadi sudah berani bertaruh nyawa. Sama seperti kami, merantau ke sini cuma cari makan. Berani mati untuk makan,” kata Rusli.
Puluhan tahun tinggal di kawasan Perdau membuat Rusli memahami posisi orang utan. Habitat satwa itu kian terjepit. Hutan yang tersisa untuk mencari makan benar-benar terbatas.
“Di sini sudah terjepit. Sebelah sana sawit, sebelah sini tambang. Kehadiran orang utan kadang dibenci karena dianggap menggaggu, otomatis ada usaha untuk mengusir. Kalau (orang utan) diusir di sana, diusir di sini, mau ke mana lagi?” cerita Rusli.
Satwa lain juga mulai terlihat kasihan. Rusli menyebut kawanan monyet dan beruk yang semakin ganas memasuki perkampungan warga.
Beberapa monyet yang dilihatnya dalam kondisi mengenaskan. Meski terkadang mengganggu, rasa kasihan warga juga muncul melihat kawanan primata itu.
“Dulu kita susah cari monyet yang kempes perutnya. Sekarang, kempes-kempes kasihan perutnya. Berdiri (ke kami) seakan-akan kalau itu manusia mau bilang, kasih makanlah aku,” ujarnya.
Satwa, terutama orang utan, yang semakin mudah dilihat warga, mengindikasikan tak ada lagi hutan untuk mencari sumber makan. Hal ini ternyata dipahami oleh warga namun tidak bisa berbuat banyak.
“Dulu, saat masih banyak hutan, mereka jarang muncul. Sekarang, kalau tidak datang ke sini (pinggir jalan), ke tambang, ke kampung, tidak dapat makanan orang utan itu,” kata Rusli dengan nada prihatin.
Rusli pun mendukung upaya penyelamatan orang utan melihat habitatnya yang semakin sulit mencari pakan. Sebab warganya kadang merasa kasihan melihat kondisi orang utan yang kurus dan kekurangan makanan.
Di tengah deru mesin tambang, hamparan sawit, dan industri lainnya yang terus merenggut hutan, nasib orang utan Morio di kawasan Perdau menjadi cerminan perjuangan satwa di ambang kepunahan—bertahan hidup bersama manusia, namun tanpa kepastian masa depan.