Liputan6.com, Jakarta - Di antara beragam kekayaan kuliner nusantara yang menyimpan kisah budaya dan nilai historis yang dalam, jajanan pasar tradisional selalu menjadi simbol dari kehangatan lokalitas yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat.
Salah satunya adalah kacimuih, sebuah makanan sederhana namun penuh makna dari ranah Minangkabau. Kacimuih bukanlah sekadar penganan biasa yang bisa dilupakan begitu saja, sebab jajanan yang terbuat dari bahan dasar tepung beras dan gula aren ini menyimpan rasa nostalgia yang kuat bagi siapa saja yang pernah mencicipinya di masa kecil.
Ia menjadi pengingat akan kedekatan keluarga, kebersahajaan masa lalu, dan keindahan tradisi yang lestari melalui cita rasa yang tak lekang oleh waktu. Dalam dunia yang kian modern dan serba cepat ini, kuliner khas Minang seperti jendela yang terbuka menuju kehidupan kampung halaman.
Membawa kita menyusuri lorong-lorong waktu di mana dapur-dapur rumah masih ramai oleh aroma manis yang mengepul dari kukusan bambu, dan tangan-tangan ibu serta nenek menyajikannya dengan cinta tulus yang tak tergantikan.
Kacimuih adalah representasi kuliner Minang yang menunjukkan betapa luar biasanya masyarakat Minangkabau dalam mengolah bahan-bahan sederhana menjadi hidangan yang memikat.
Tepung beras yang digunakan memberikan tekstur lembut dan bersahaja, sedangkan gula aren menghadirkan rasa manis yang khas, dalam, dan membumi. Tidak seperti gula pasir yang terasa tajam dan cepat hilang, gula aren memberikan kedalaman rasa yang menghangatkan hati.
Biasanya, kacimuih dimasak dengan cara dikukus dan disajikan dalam bentuk yang sederhana hanya dibungkus daun pisang atau disajikan dalam piring kecil. Namun dalam kesederhanaannya itu, tersembunyi filosofi hidup masyarakat Minang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersahajaan, gotong royong, dan rasa syukur atas rezeki yang tersedia.
Banyak orang yang mengenang kacimuih sebagai makanan masa kecil yang hanya muncul di pagi hari atau saat perayaan-perayaan kecil di surau, pengajian, atau acara keluarga. Keberadaannya yang semakin jarang di tengah dominasi makanan modern menjadikannya harta kuliner yang patut dilestarikan, bukan hanya karena kelezatannya, tetapi karena ia membawa serta identitas dan kebijaksanaan lokal yang begitu berharga.
Simak Video Pilihan Ini:
Update Operasi SAR Hari 3 Penambang Terjebak di Sumur Tambang Emas di Banyumas
Kuliner Tradisional
Proses pembuatan kacimuih pun tidak hanya tentang mencampur bahan dan mengukusnya. Ia adalah proses yang sarat akan sentuhan budaya dan nilai emosional.
Tepung beras yang digunakan biasanya berasal dari hasil tumbukan sendiri dan digiling di lesung kayu besar dengan alat tumbuk tradisional. Gula aren diparut dan dicampur sedemikian rupa agar manisnya meresap sempurna.
Terkadang, kelapa parut segar ditambahkan di atasnya untuk memperkaya rasa dan menambahkan tekstur. Ketika semua bahan ini bersatu dalam kukusan, aroma harum khas gula aren dan tepung beras akan memenuhi ruangan, seolah mengundang seluruh penghuni rumah untuk duduk bersama dan menikmati waktu tanpa tergesa.
Lebih dari sekadar camilan, kacimuih menjadi momen - momen pertemuan, momen cerita, momen tenang di antara kesibukan hidup. Tak heran bila generasi terdahulu menyebut makanan seperti ini sebagai pangambek hati atau penghibur hati.
Ia bukan hanya mengenyangkan perut, tapi juga mengisi ruang-ruang rindu akan rumah, akan orang tua, akan kampung halaman yang kini mungkin hanya bisa dikunjungi dalam kenangan.
Kini, dalam upaya melestarikan warisan kuliner tradisional, kacimuih mulai kembali hadir di berbagai festival makanan, bazar budaya, dan rumah-rumah makan yang mengusung konsep etnik dan lokal.
Para pelaku UMKM dan pecinta kuliner tradisi mulai menyadari pentingnya mengangkat kembali makanan-makanan seperti kacimuih ke permukaan agar tidak tergerus oleh zaman. Mereka tidak hanya menjual makanan, tetapi juga menjual kisah kisah tentang bagaimana sebuah makanan sederhana bisa memiliki makna mendalam dalam membentuk karakter dan memori kolektif suatu masyarakat.
Lebih dari itu, kacimuih juga menjadi simbol perlawanan terhadap homogenisasi rasa global yang kerap kali mengabaikan kekayaan lokal. Dengan memproduksi dan mengkonsumsi kacimuih, masyarakat sebenarnya sedang menjaga identitas, menghormati leluhur, dan memberikan ruang bagi generasi mendatang untuk mengenal akar budayanya sendiri melalui lidah dan rasa.
Karena sejatinya, setiap suapan kacimuih adalah perjalanan kembali ke masa ketika nilai kekeluargaan, kesederhanaan, dan rasa syukur menjadi inti dari kehidupan sehari-hari. Jika Anda berkunjung ke Sumatera Barat atau menemui kacimuih di sudut pasar tradisional, jangan ragu untuk mencicipinya.
Rasakan teksturnya yang lembut, manisnya yang alami, dan kenangannya yang begitu hidup. Dalam dunia yang terus berubah, kacimuih adalah pengingat bahwa hal-hal terbaik dalam hidup sering kali berasal dari kesederhanaan yang tulus. Sebuah warisan kuliner yang tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menghangatkan jiwa.
Penulis: Belvana Fasya Saad