Banjir Bandang Sumatera Utara: 154 Orang Masih Hilang

1 day ago 12

Liputan6.com, Medan - Setidaknya masih ada 154 orang yang masih dinyatakan hilang akibat bencana banjir dan longsor yang melanda wilayah Sumatera Utara. Hal itu berdasarkan data korban banjir Sumut terbaru yang dirillis Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB).

Berdasarkan laporan yang diterima di Medan, Selasa (2/12/2025), menyebut 154 orang yang hilang tercatat di lima dari 17 kabupaten/kota yang terlanda.

Pusdalops mendata lima kabupaten/kota tersebut yakni Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 17 orang. Kabupaten Tapanuli Tengah 85 orang, Kabupaten Tapanuli Selatan 38 orang, Kota Sibolga 12 orang dan Kabupaten Humbang Hasundutan 2 orang.

Kepala Bidang Penanganan Darurat, Peralatan, dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut Sri Wahyuni Pancasilawati mengatakan, laporan tersebut merupakan data sementara yang diterima Pusdalops PB Sumut

"Data merupakan update tanggal 1 Desember pukul 21.00 WIB," ujar Sri Wahyuni.

Sri Wahyuni juga mengatakan berbagai upaya penanganan atas kejadian bencana tersebut telah dilakukan masing-masing wilayah dan sejumlah pemangku kebijakan terkait.

"Untuk perkembangan atas bencana itu akan terus diinformasikan termasuk data-datanya," katanya.

Pusdalops mendata 17 kabupaten/kota yang terlanda bencana alam yakni Kota Medan, Kota Tebingtinggi, Kota Binjai, Kota Padangsidimpuan dan Kota Sibolga.

Selain itu, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Pakpak Bharat. Lalu Kabupaten Nias, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Asahan Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Mandailing Natal, serta Kabupaten Batubara.

Bupati Tapanuli Selatan Angkat Bicara

Sementara itu, Tapanuli Selatan (Tapsel), Gus Irawan Pasaribu, mendesak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) meninjau ulang lokasi terdampak banjir bandang. 

Desakan ini muncul menyusul bantahan tegas Bupati terhadap pernyataan Kemenhut yang menyebut tumpukan gelondongan kayu pembawa bencana adalah "kayu busuk" atau "pohon tumbang akibat cuaca ekstrem".

Bupati Gus Irawan menyatakan bahwa temuan di lapangan menunjukkan kondisi kayu-kayu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kayu lama atau busuk.

"Saya enggak ada tuh lihat yang ada daunnya, dahan, enggak ada. Makanya pernyataan dari Kementerian Kehutanan bahwa itu adalah kayu-kayu yang sudah busuk, lalu kemudian karena cuaca kayu tumbang, itu perlu dicek ulang," tegas Gus Irawan kepada wartawan Sabtu (29/11/2025).

Kemenhut sebelumnya menyebut kayu-kayu besar itu bukan hasil pembalakan liar, melainkan berasal dari izin legal melalui skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT). 

Namun, menurut Gus Irawan, izin ini justru menjadi pangkal masalah, sebab:

1. Tidak Ada Koordinasi: Pemerintah Daerah Tapsel tidak pernah dilibatkan dalam pemberian atau publikasi izin PHAT tersebut.

2. Dampak Ditanggung Warga: Masyarakat Tapsel kini justru menanggung dampak bencana terbesarnya akibat kayu-kayu yang diduga berasal dari aktivitas berizin tersebut.

3. Dugaan Penyelewengan: Bupati menduga kuat bahwa izin PHAT telah diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu, bahkan menudingnya sebagai 'pembalakan berizin'.

Usut Tuntas

Bupati Tapsel mendesak Gakkum Kemenhut untuk segera turun ke lokasi dan siap menunjukkan temuan-temuan di lapangan yang memperkuat dugaan penyalahgunaan izin tersebut.

Senada dengan Bupati, Kepala Desa Garoga, Risman Rambe, menyampaikan bahwa kayu-kayu berukuran besar seperti yang terbawa banjir bandang belum pernah muncul selama ratusan tahun di wilayahnya.

Ia menuturkan, munculnya gelondongan kayu dalam jumlah besar ini diyakini terkait dengan keberadaan perusahaan yang membuka lahan sawit di hulu sungai.

"Memang kami sangat terkejut. Selama beratus tahun kampung kami ini, namun kami belum pernah melihat kayu sebesar ini. Dan kami tahu kabar dari masyarakat bahwa ada perusahaan yang membuka lahan sawit di hulu sungai," ujar Risman.

Risman menambahkan, seluruh rumah dan lahan persawahan warga di desanya kini hancur total dan bergantung pada bantuan. Ia berharap pemerintah mengusut tuntas asal-usul kayu-kayu tersebut.

Sebelumnya, Ditjen Gakkum Kemenhut Dwi Januanto Nugroho mengakui bahwa kayu bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk penebangan legal. Kemenhut menegaskan dugaan sementara mengarah pada area PHAT di Areal Penggunaan Lain (APL).

Kemenhut juga membenarkan bahwa skema PHAT sering disalahgunakan untuk "mencuci" kayu ilegal dengan memalsukan dokumen atau meminjamkannya. 

Untuk mengatasi praktik ini, Kemenhut telah menerapkan moratorium layanan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPuHH) pada PHAT di APL.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |