Liputan6.com, Makassar - Pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar Pertemuan Tahunan Unit Pengelola Perikanan (UPP) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713, 714, dan 715, yang berlangsung pada 16–18 Juli 2025 di Gedung Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEKS), Universitas Hasanuddin, Kota Makassar.
Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) demi menciptakan sistem pengelolaan perikanan nasional yang berkelanjutan, adil, dan berbasis data. Kegiatan ini didukung oleh Indonesia Tuna Consortium dan program GEF 6 CFI Indonesia.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Syahril Abd Raup, dalam sambutannya menyampaikan pentingnya peran Lembaga Pengelola Perikanan (LPP) sebagai forum koordinatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya ikan. LPP dibentuk untuk melaksanakan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) dan menyusun rekomendasi kebijakan berbasis sains.
"LPP bukan sekadar pelaksana teknis, tapi juga lembaga yang memiliki fungsi strategis dalam menjembatani pusat dan daerah. Tujuannya adalah agar pengelolaan sumber daya ikan di setiap WPPNRI dilakukan secara adaptif dan terukur," kata Syahril.
Dalam konteks kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, LPP memiliki tiga peran penting. pertama, sebagai forum koordinasi lintas sektor, lalu kedua, sebagai pelaksana distribusi kuota sumber daya ikan sesuai regulasi (Permen KP No. 28 Tahun 2023), dan ketiga, sebagai penyusun rekomendasi kebijakan berbasis data ilmiah dan kondisi lapangan.
Syahril juga menegaskan bahwa UPP di masing-masing WPPNRI dibentuk untuk memberikan masukan dalam penyusunan dan pelaksanaan RPP serta menyampaikan rekomendasi kebijakan yang mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan. UPP didukung oleh Komisi Pengelola Perikanan yang terdiri dari Panel Ilmiah dan Panel Konsultatif.
Pertemuan di Makassar ini juga menjadi ajang penyusunan rencana kerja tahunan, reviu rencana aksi, serta pembahasan kuota perikanan tangkap, khususnya untuk komoditas utama seperti tuna, cakalang, dan gurita. Ketiga WPPNRI yang dibahas—713, 714, dan 715—merupakan wilayah perairan dengan kontribusi besar terhadap produksi ikan nasional.
"Melalui forum ini, kita ingin memastikan bahwa pembagian kuota ikan dilakukan secara transparan, inklusif, dan berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan," tambah Syahril.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten maupun kota dalam pelaksanaan kebijakan PIT. Kolaborasi setiap level stakeholder akan menjadi kunci kesuksesan setiap program yang telah disusun.
"Kita tidak bisa bekerja sendiri. Kunci dari keberhasilan adalah kolaborasi semua pihak dan komitmen bersama menjaga laut Indonesia," ucapnya.
KKP Bakal Berlakukan Jeda Tangkap Ikan Untuk Nelayan
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Komjen Pol (Purn) Lotharia Latif, menyoroti aspek fiskal dan ketertiban dalam pengelolaan hasil laut, terutama terkait kontribusi nelayan terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurutnya, dari total nelayan di Indonesia, sekitar 65 persen tergolong nelayan kecil yang tidak dikenakan PNBP.
"Nelayan kecil malah kami bantu dengan pelatihan, pembekalan, dan akses fasilitas. Justru yang kami dorong untuk menyumbang lewat PNBP adalah kelompok nelayan besar yang punya daya saing ekonomi tinggi," ujar Lotharia dalam sesi wawancara.
Menurutnya, keadilan fiskal menjadi penting untuk mendukung sistem subsidi silang. Nantinya, PNBP dari nelayan besar bisa digunakan untuk program pemberdayaan nelayan kecil.
"Tapi itu hanya bisa dilakukan kalau pencatatan kita rapi dan tidak ada kebocoran," tegasnya.
Eks Kapolda Maluku itu juga mengkritisi praktik illegal fishing dan transhipment yang selama ini menjadi sumber kerugian besar bagi negara. Ia menyebut bahwa integritas data, pengawasan laut, dan koordinasi antardaerah perlu diperkuat untuk mencegah praktik-praktik tersebut.
Terkait pembagian kuota perikanan, Lotharia menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada angka final, khususnya untuk wilayah Sulawesi Selatan yang berada dalam cakupan WPP 713 dan 714.
"Kita masih dalam tahap pembahasan teknis. Penetapan kuota harus mempertimbangkan stok ikan riil di laut," ungkapnya.
Ia pun menyinggung wacana jeda tangkap sebagai bagian dari strategi pengelolaan sumber daya perikanan. Menurut dia, jika ikan ditangkap secara terus menerus tanpa memberikan kesempatan untuk berkembang biak maka itu bisa menjadi bom waktu.
"Ikan juga makhluk hidup. Mereka perlu waktu untuk kawin dan bertelur. Jangan kita habiskan terus-menerus," ucapnya berseloroh.
Meski belum ditetapkan secara nasional, praktik jeda tangkap menurutnya sudah terjadi secara alamiah, misalnya saat cuaca buruk. Namun, ia berharap praktik ini bisa dilembagakan dan diperkuat melalui kebijakan nasional.
Selain itu, Lotharia menyoroti konflik perbatasan wilayah tangkap yang sering kali muncul akibat perbedaan regulasi antara provinsi. Menurutnya, pengelolaan laut seharusnya bersifat nasional, bukan terfragmentasi.
"Kita harus ingat, laut adalah milik bersama. Kalau setiap daerah buat aturan sendiri-sendiri, bisa terjadi ketimpangan, terutama di daerah yang minim potensi ikan," tutupnya.
Sulsel Dorong Sistem Buka-Tutup dan Budidaya Alternatif untuk Jaga Stok
Terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, M. Ilyas, memberikan pandangan bahwa pengelolaan WPP 713 harus dilihat sebagai tanggung jawab bersama. Ia menegaskan bahwa WPP ini mencakup tujuh provinsi, termasuk NTT, NTB, Kaltim, Kalsel, Sulbar, dan Sulsel.
"Ini bukan milik Sulsel saja. Kita hanya salah satu provinsi pengguna. Jadi pembagian kuota harus mempertimbangkan semua pihak yang terlibat di WPP tersebut," ujar Ilyas.
Ilyas menyampaikan bahwa potensi ikan di WPP 713 mencapai sekitar 1 juta ton, namun yang boleh ditangkap hanya 75 persen demi menjaga keberlanjutan stok. Saat ini, nelayan Sulsel tercatat menangkap sekitar 500 hingga 511 ribu ton per tahun.
Ia juga menyoroti tingginya penangkapan gurita di wilayah Sulsel, terutama karena harganya yang tinggi di pasar ekspor. "Gurita sedang naik daun. Tapi kita harus waspada, jangan sampai terjadi eksploitasi berlebihan," katanya.
Sebagai langkah mitigasi, Sulsel telah menerapkan sistem buka-tutup penangkapan gurita di Pulau Langkai, Kota Makassar. Menurutnya, pendekatan ini terbukti efektif dan dapat menjadi model untuk komoditas lain seperti ikan karang dan pelagis kecil.
"Ini bisa direplikasi di pulau-pulau lain yang punya karakter penangkapan spesifik,” jelas Ilyas.
Terkait masa jeda tangkap, Ilyas mengapresiasi gagasan tersebut, namun ia mengingatkan perlunya menyiapkan aktivitas ekonomi alternatif bagi nelayan. Pasalnya tak sedikit nelayan di Sulsel yang betul-betul hanya mengandalak hasil tangkapan ikan di laut untuk hidup.
"Kalau tidak disiapkan alternatif, nelayan bisa kehilangan penghasilan dan itu berisiko secara sosial," bebernya.
Beberapa alternatif yang disebutnya antara lain pengolahan hasil laut saat musim melimpah, budidaya berbasis darat seperti bioflok, dan pengembangan tambak atau rumput laut.
"Ini bukan hanya solusi jangka pendek, tapi juga investasi keberlanjutan," tegasnya.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Perubahan iklim berdampak besar pada nelayan tradisional dengan menurunnya hasil tangkapan hingga 30%, pendapatan merosot, dan meningkatnya risiko keselamatan akibat cuaca ekstrem. Kondisi ini memicu krisis ekonomi dan sosial di komunitas pesisir, ya...